Waktu begitu cepat berpacu seiring dengan hari yang cepat berlalu. Pagi menjemput malam untuk menyambut sang rembulan menerangi setiap langkah makhluk yang hidup dibumi. Dan malam menunggu pagi untuk menanti matahari yang bersinar memberi harapan baru bagi setiap mereka yang melewati hidup dengan peristiwa yang mereka hadapi dengan suka ataupun tidak.
Begitupun denganku yang merangkak dan tertatih melewati pergantian hari yang kelam.
Aku duduk ditepi jendela kamarku menikmati hujan yang masih dengan setia menemani hari-hari ku 3 bulan ini, hujan adalah teman terbaikku sekarang. Aku memandangi langit yang tidak pernah lagi menampakkan matahari dengan sinarnya sejak hatiku ikut mati kala itu.
Anganku kembali melayang disaat pertemuan keluarga tiga jam yang lalu, aku mengingat bagaimana kerasnya aku menolak apa yang mereka perintahkan dan dengan keras pula mereka menolak keinginan ku, bahkan kedua kakak yang aku anggap malaikat pelindungku juga sama sekali tidak membantu, mereka hanya diam dengan tatapan iba, tatapan yang sangat aku BENCI.
Aku tidak ingin berdebat untuk apa yang aku sudah tau hasilnya, hidupku bukan lagi milikku. Sampai hari ini aku tidak mengerti apa yang difikirkan Fateh ketika dia menulis surat wasiat seperti itu.
Jika yang ia takutkan aku tidak bisa hidup tanpanya itu adalah benar, tapi memintaku untuk menikah dengan pria pilihannya itu adalah lelucun yang tak pernah ingin aku dengar dalam hidupku.
Bagaimana mungkin seorang suami meninggalkan amanah seperti itu? Aku sungguh berharap ini hanya mimpi buruk yang panjang dan segera berakhir.
Ironis itu lah hidup yang aku jalani sekarang, aku terikat akan amanah yang tidak bisa aku hindari karena ini berkaitan dengan kehendak Tuhan.
ku tau keluargaku tidak sepenuhnya salah tapi amarah dan kekecewaanku lebih besar dari pada logikaku untuk memahami ini semua dan memaafkan mereka.
Dalam malam-malam yang aku lalui aku pernah berfikir apakah ini harga yang harus aku bayar karena telah merasakan bahagia yang lebih banyak dari pada wanita lain selama 30 tahun aku hidup? Atau ini memang sudah Takdir yang digariskan untukku sebelum aku lahir kedunia.
Aku tidak tau lagi caranya tersenyum, tertawa atau hanya sekedar menyunggingkan bibirku. Mengabaikan perhatian semua keluarga adalah caraku untuk bertahan.
Aku tau mereka sedih dan terluka dengan apa yang aku lakukan, tapi bisakah mereka juga melihat perasaan dan luka ku yang menganga lebar ini? Tidak! Mereka tidak akan bisa melihat dan mengerti.
Aku lelah untuk teriak menyuarakan isi hati dan keinginanku, aku lelah memohon seperti pengemis yang berharap diberi makanan agar dapat melanjutkan hidup.
Bahkan aku sudah lelah menangis untuk menumpahkan semua beban dan rasa sakit dihatiku, aku benar-benar lelah. Lelah menjalani hidup. Jika bunuh diri tidaklah dosa mungkin sudah aku lakukan dihari kematian suamiku agar aku bisa turut serta bersamanya.
Aku diharuskan menikah dengan pria yang tidak aku kenal bahkan wajahnya saja aku tidak tau dan sejujurnya aku tidak peduli semua tentang dia.
Tapi satu hal yang aku tau didalam tubuhnya berdetak jantung milik suamiku. Dan sampai mati pun aku tidak akan pernah mengikhlaskannya, karena apa yang ada pada tubuh suamiku adalah milikku tidak satupun orang yang bisa mengambilnya dariku bahkan jika suamiku sendiri yang menginginkan itu.
Egois? Ya! Katakan saja aku egois dan aku dengan bangganya akan mengatakan aku egois dengan segala apa yang menyangkut dengan suamiku.
Tapi surat wasiat itu menamparku dengan keras, jangankan mempertahankan jantungnya, Bahkan mempertahankan diriku saja aku tidak mampu, aku benci dengan diriku sendiri yang tidak bisa mempertahankan apa yang harusnya aku pertahankan.
Semua orang bisa saja bilang kalau Fateh lah yang menginginkan itu, semua bisa bilang dia sudah ribuan kali menolak tawaran Fateh, semua bisa bilang dia juga terikat amanah yang sama denganku, semua bisa bilang apapun untuk pembenaran dari sudut pandang mereka.
Tapi yang jelas bagiku ia sama seperti pembunuh yang merampok hidup orang lain untuk kesenangannya. MENJIJIKKAN!
"Anna," panggil seseorang. Ia masuk kekamarku tanpa mengetuk pintu dan mendekat kearahku.
Aku menyadari ia menatap ku sayang bercampur sedih, tatapan yang dulu membuatku langsung berhambur kepelukannya dan bermanja-manja sayang dengannya. Tapi untuk sekarang menatap matanya saja aku enggan.
"Maafkan kakak yang tidak mampu menolong mu," lirih Ammar. Ia menatap adiknya dengan harapan adiknya kembali menatapnya dengan tatapan yang ia rindukan, tapi ia tidak mendapatkannya, adiknya bahkan tidak membalas tatapan dan ucapannya.
"Dalam hidup ada hal yang tidak bisa diubah oleh manusia sekuat apapun dia tidak akan mampu untuk mengubahnya, kamu tau apa itu Anna?" tanyanya lagi. Tapi lagi-lagi Anna tidak menjawab ataupun menoleh kearahnya, tapi ia tau adiknya mendengar dengan baik. "TAKDIR," ucapnya pelan namun pasti.
Ia mengikuti arah pandang Anna sambil memikirkan apa yang terjadi pada adiknya ini, hal yang juga tidak bisa ia hadapi jika ia yang mengalami, tapi ia yakin Anna mampu melewatinya karena ia yang dipilih untuk melewati cobaan ini.
"Kamu tau seberapa banyak ibu kita menangis sepanjang malam karena memikirkan mu?, kamu tau sebanyak apa bapak menghela nafas lelah di usia senjanya ini bahkan ia tidak dapat tidur, dan menangis sendiri diruang kerjanya, Alya yang juga selalu risau memikirkanmu, kakak tomboy mu itu bahkan menangis diam-diam dikamar dengan seluruh tubuh ditutupi selimut agar suaranya tidak sampai ibu atau bapak dengar, tapi kakak tau, karena kalian tidak bisa menyembunyikan apapun dari kakak Ann," ucapnya setelah itu.
Ammar menoleh kearah Anna dan berkata, "tidak berbeda jauh kakak iparmu juga selalu menangis dalam diam saat keponakan kembarmu menanyakan kabar bibi Ann nya, karena ia sendiri juga terluka atas apa yang menimpa dirimu tapi ia tidak bisa mengatakan apapun pada sikembar, dan kamu tau apa yang terjadi dengan kakak? Kakak merasa menjadi manusia yang paling tidak berguna di dunia karena tidak bisa melakukan apapun untuk menghentikan semua ini, yang hanya mampu kakak lakukan adalah tetap berdiri tegak menjadi pelindung kalian." Dengan air mata yang sudah mengalir lalu tanpa seizin Anna ia membawa Anna kedalam pelukannya dalam memeluk erat Anna untuk mencurahkan rasa sayang pada adiknya ini.
"Kita semua terikat erat dengan amanah itu, jika kita mengingkari itu sama saja kita melawan kehendak Tuhan. Fateh pasti memiliki alasan kenapa ia meninggalkan mu dengan amanah itu Ann, cobalah untuk jalani dan menerima." Sambil mengeratkan pelukan ia mengelus sayang kepala adiknya, tidak ada jawaban tapi ia mendengar isakan pilu itu kembali terdengar.
"Karena hukum semakin kita menolak kehendak-Nya, semakin kita merasakan sakitnya," lirih Ammar.
"Jangan pernah takut, kami akan selalu bersamamu, jangan kamu membenci kami semua terlalu banyak Ann, karena kami yakin apa yang Fateh pilihkan untuk mu itu adalah yang terbaik untukmu."
Ammar meraskan tubuh adiknya melemas, saat ia mengurai pelukan itu ia melihat mata Anna yang terpejam, Anna tertidur dipelukannya dengan posisi berdiri, pelukannya yang begitu kuat mampu menahan tubuh mungil adik cantiknya ini.
Ia menggendong tubuh Anna dan membaringkannya di ranjang lalu memposisiskan tubuh Anna agar nyaman, setelah itu ia menyelimuti tubuh Anna agar tetap hangat. Ia tau seberapa lelahnya Anna saat ini.
'Cuppp'
Kecupnya sayang dikening Anna, Ammar dapat melihat guratan kesedihan yang kentara diwajah lelah Anna, seolah yang ia lihat bukan lah adiknya yang 3 bulan lalu masih terlihat ceria dan riang, yang masih dengan senang bermanja-manja dengannya yang 5 tahun lebih tua dari Anna, Anna tetaplah gadis kecil kesayangannya.
"Mendung tidak selamanya kelam Ann."
Bisiknya ditelinga Anna, lalu ia bangkit dan menutup jendela dengan rapat agar hawa dingin tidak masuk mengganggu tidur Anna. Dengan langkah perlahan ia meninggalkan kamar Anna yang hening dengan sesekali terdengar isakan dari sisa tangis Anna.