Chereads / Kawin Paksa (My Flatmate Husband) / Chapter 37 - BAB 37: Masa Depan Denganmu

Chapter 37 - BAB 37: Masa Depan Denganmu

Hari ini adalah hari terakhir Maretha dan Bastian bekerja di kebun anggur. Tidak seperti beberapa karyawan part-time lainnya yang akan bekerja sampai akhir Januari, Bastian dan Maretha memutuskan mereka ingin beristirahat sampai menyongsong awal semester yang tinggal 2 hari lagi. Bastian tidak ingin terlalu lelah. Toh saat ini mereka sudah mengumpulkan uang yang cukup banyak dan beberapa botol wine. Apalagi untuk 2 hari ke depan, mereka tetap harus bekerja di perpustakaan. untuk menyambut semester yang baru.

Mereka menuju taman luas dengan pemandangan perumahan-perumahan di Mill point. Sebuah area perumahan terhits dan termahal di kota Perth. Maretha menggelar sebuah kain piknik, menata sandwich subway, beberapa biskuit coklat, dan sebotol wine hadiah dari sang bos ketika mereka keluar tadi sore. Mereka akan mengadakan acara makan malam romantis dengan berpiknik, seperti yang mereka lakukan pada malam pergantian tahun beberapa minggu yang lalu.

Saat itu mereka membeli seloyang pizza, membuka sebuah wine, dan biskuit coklat yang lembut kesukaan Bastian. Beralaskan kain yang sama, mereka dan beberapa pasangan yang lain duduk dan menatap swan river, dan menghadap ke angkasa tepat pukul 12 malam. Semburan kembang api yang silih berganti dengan indahnya membuat hati Bastian menghangat.

Baru kali ini ia merasakan malam pergantian tahun yang begitu sederhana, namun indah dan penuh kesan. Biasanya orangtuanya akan mengajaknya ke hotel-hotel, atau merayakan pergantian tahun di luar negeri. Hanya langit luas, sebotol wine, dentuman kembang api, dan seorang wanita di pelukannya. Ketika semburan kembang api itu berakhir, mereka saling berpelukan dan berciuman, sama seperti pasangan-pasangan lain di taman itu. Sangat romantis.

Dan malam ini, hanya mereka berdua di taman itu. Suasana malah lebih romantis dengan alunan lagu-lagu jazz yang mengalun dari HP milik Bastian. Setelah sandwich habis dan 2 gelas wine mereka teguk, mereka merasa dunia milik mereka berdua saja. Mereka mulai sedikit mabuk, masih sambil bergelayut manja, berciuman tipis-tipis sambil menggigiti biskuit coklat dari subway. Tidak henti-hentinya mereka menertawakan kejadian-kejadian lucu yang mereka alami di kebun anggur itu.

Tiba-tiba Maretha berdiri dan merentangkan kedua tangannya selebar mungkin. "Perth! Aku akan menaklukkan mu! Liat aja nanti! Aku akan membeli salah satu rumah di mill point itu!", teriaknya sambil menunjuk-nunjuk rumah yang terlihat di seberang swan river. Rumah-rumah indah yang sepertinya mahal sekali. Bastian hanya tertawa kekeh menatap pacarnya yang super halu itu.

"Ya kan Bastian. Kamu akan mewujudkan mimpi aku untuk tinggal disitu kan? Bukan, bukan menyewa rumah disitu. Kita akan membeli rumah disitu Bastian. Kita akan membesarkan anak-anak kita di lingkungan elit itu, setelah kita mendapat pekerjaan hebat di kota ini. Ya kan Bastian?", tanya Maretha dengan mimik menggemaskan. Gadis itu memang super rusuh bila mabuk.

"Hemm... tinggal di daerah lain juga gak apa-apa kali...", jawab Bastian asal. Mendengar itu, Maretha berhenti berputar-putar seperti pesawat hilang dan berjalan pelan ke arah Bastian yang masih duduk di karpet piknik itu.

"Benarkah? Tinggal di daerah lain? Kamu mau membesarkan anak-anak kita di kota ini? Benarkah Bastian?", tanya Maretha tak percaya. Bastian menggoyangkan kepalanya, seakan-akan kegiatan itu bisa membawa kembali kewarasannya. "Emang tadi barusan aku ngomong apaan?", tanyanya dalam hati.

Seketika itu juga Maretha melompat dan duduk di pangkuan Bastian berhadap-hadapan. Bastian tidak siap. Maretha belum pernah seagresif ini. Ia bisa merasakan bagian pinggulnya terhimpit oleh pinggul Maretha. Dada gadis itu menempel sempurna di dadanya, ketika Maretha memeluk punggungnya dengan erat.

"Bastian, aku ingin bersamamu. Aku ingin menjadi teman hidupmu. Biarkan aku menjadi teman tidurmu, teman membangun mimpi dan karirmu, dan melahirkan anak-anakmu", tutur Maretha dengan bibir kecilnya. Bibir yang jaraknya hanya satu centi dari bibir Bastian,setelah ia menempelkan dahinya ke dahi Bastian. Saat ini, untuk bernafas saja sulit bagi Bastian. Entah itu karena pengaruh alkohol, jarak wajah Maretha yang terlalu dekat atau himpitan di bagian pinggulnya. Ada gejolak aneh disana. Bagaimanapun, Bastian adalah cowok normal di awal 20an.

"Say yes Bastian, say yes...",pinta Maretha. Bastian tidak menjawab, melainkan mencoba menarik nafas dalam-dalam. Ketika Maretha melihat keraguan di mata cowok itu, ia langsung menyambar bibir cowok itu dan memagutnya dengan posesif. Bastian tidak siap, dan terdiam terpaku. Ia masih mencoba untuk bernafas, setelah ia masih gagal memproses apapun perkataan Maretha sebelumnya.

Ketika mata, pikiran dan bibir Bastian tak mampu mengiyakan apapun kata Maretha, namun tubuhnya tak bisa berbohong. Ada gairah yang terbakar disana. Ia merasakan jantungnya berdetak lebih cepat dan paru-parunya mengembang dan mengempis terlalu cepat. Keringatnya bercucuran di dahinya. Maretha memindahkan ciumannya ke leher Bastian! Cowok itu melenguh pelan. Ia tidak pernah dicium seperti itu sebelumnya oleh Maretha. Sial! Cewek itu membakar gairahnya!

"Maretha stop! Ini di tempat umum. Kita ugggh.... kita... bisa ditangkap polisi kalau.... ugghh begini...", Bastian mencoba berbicara di sela-sela menahan gejolaknya. Ia tidak pernah menyangka Maretha sangat ahli dalam memanaskan bara api gejolak. Ia yakin Maretha dapat merasakan sesuatu dibawah sana, karena posisi mereka sangat-sangat menempel. Otaknya ingin menyingkirkan Maretha dari pangkuannya, namun tubuhnya berkata sebaliknya. Bastian justru membalas dengan memeluk punggung Maretha agar pelukan mereka semakin erat.

"Bastian, cium aku Bastian... cium leherku. Jilat leherku Bastiaaannn", pinta Maretha sambil melenguh. Salah satu tangannya menuntun kepala Bastian agak menyasar ke leher gadis itu. Namun saat itu juga Bastian berhenti, dan matanya membelakak kaget. Seakan-akan kata-kata gadis itu menghentikan gairahnya. "Cium lehernya katanya?", Bastian menggumam dalam hati. Saat itu juga ia teringat akan leher Adelia, dan itu membuat pikirannya menghitam.

"Sialan Adelia! Kamu ngancurin suasana aja!", gumam Bastian dalam hati. Ia menyingkirkan Maretha dari pangkuannya dan mengambil sebotol air mineral dan meminumnya banyak-banyak. Maretha yang kaget, tidak percaya Bastian menghancurkan momen romantis erotis mereka.

"Ayo pulang Maretha", pinta Bastian.

"Tapi kita masih mabuk Bastian. Nanti kalo nyupir dalam keadaan begini, di tangkap polisi", jawab Maretha sambil kembali merangkak ke tubuh Bastian.

"Telfon aja supir pengganti", perintah Bastian. Ia mengambil HP miliknya dan mencari jasa supir pengganti yang pernah ia gunakan sebelumnya.

"Pulang kerumah aku aja, dan... kita lanjutkan dirumah?", tanya Maretha penuh goda. Bastian tidak mau menatap Maretha. Ia mengusap-usap wajahnya berkali-kali dan kembali meminum air mineral botolan dengan brutal.

"Bastian…kamu sayang aku kan?", Maretha masih saja mencoba membahas.

"Kamu mabuk beb",

"Tell me that I'm the only one (katakana bahwa hanya aku satu-satunya)",

"Maretha, aku capek…ayo kita pulang", Bastian menjawab. Syukurlah supir pengganti sudah dijalan menuju arah mereka.

Ketika supir pengganti itu datang, ia memasukkan Maretha dan barang-barangnya ke mobilnya. Ia memberi alamat dan instruksi kepada sang supir. Alamat Maretha. Gadis itu tersenyum penuh arti. Ketika mobil itu akan berangkat, sebuah taksi merapat ke belakang mobil Bastian. Bastian memberikan kode kepada supir taksi untuk menunggunya. Bastian membuka kaca jendela dan menutup pintu mobil tanpa ia ada di dalamnya. Maretha bingung.

"Maretha, kamu pulang aja dengan mobilku. Besok aku dateng buat mobil ambil ini lagi. Aku mau istirahat. Taksi aku uda dateng. Ok? Sir, please take her to the address (Pak, silahkan bawa dia ke alamat tadi)", perintahnya sambil memberi kode agar sang supir segera berjalan. Maretha panik namun ia tak kunjung bisa membuka pintu mobil. Sepertinya koordinasi berkat alkohol menghambatnya. Mobil kemudian melaju, sementara Maretha masih menyembul-nyembulkan kepalanya dari jendela. Bastian tidak terlalu peduli, dan terus menuju taksi yang sudah ia pesan.