Adelia berdiri dalam keheningan di pinggir salah satu jalan di Subiaco. Matanya mulai sembab dan mengerluarkan air mata. Dadanya sesak dan ia merasa kedinginan. Ia beruntung karena bulan November, udara tidak sedingin ketika ia baru pertama kali datang ke Perth. Tapi entah kenapa angin malam itu menusuk seakan menembus jaket kulitnya yang selutut. Jalanan itu bising oleh mobil yang lalu lalang bermalam minggu. Beberapa orang berjalan mondar-mandir memasuki club atau restoran yang terletak di sepanjang jalan itu. Beberapa pasangan tambah saling berpelukan, berbicara dengan mesra di balik kaca-kaca restoran atau cafe.
Saat ini Adelia merasa takut. Baru beberapa jam yang lalu ia merasa sangat nyaman, bahagia dan terlindungi. Ia datang ke tempat ini dengan harapan bisa bersenang-senang sebelum ujian, menghabiskan waktu dengan pacarnya dan memiliki teman-teman baru dari negara lain. Alih-alih, ia di tinggalkan begitu saja, di daerah yang cukup asing baginya. Subiaco di malam hari pada pukul 10 malam. Beberapa cowok iseng memandang dan mencoba mengganggunya. Ia bersembunyi di balik petugas Valet. Tapi ketika petugas itu harus bertugas dan meninggalkannya, Adelia kembali menangis.
Sebuah mobil sedan berhenti di depan Adelia. Sang supir buru-buru turun dan menghampiri Adelia yang sedang meringis dan memeluk dirinya sendiri. "Justin....", katanya lirih. Cowok itu langsung memeluk Adelia yang kemudian menangis di dadanya. Justin menuntun Adelia untuk memasuki mobilnya dan melaju secepat mungkin keluar dari area Subiaco.
Sepanjang perjalanan, Justin membiarkan Adelia menangis dan mengeluarkan seluruh amarah dan ketakutannya. Justin masih belum tahu apa yang terjadi. Ia hanya menerima pesan singkat dari Adelia. "Justin help, aku di Club Mercy Subiaco. Sendirian, ga tau caranya pulang dari sini". Justin terkejut, karena selama ini ia belum pernah berkirim pesan kepada Adelia. Walaupun setiap minggu mereka bertemu bersama Malik dan Lisa, namun Adelia cukup tertutup dengan kehidupan lainnya. Mereka hanya berkomunikasi di group WA saja, dan itu pun hanya sekedar bercanda atau janjian bila mereka akan ngumpul.
Justin memberhentikan mobilnya di salah parkiran asrama KV. Justin menuntun Adelia menaiki tangga menuju flat 27. Ia merogoh tas Adelia untuk mengambil kunci flatnya, membuka pintu itu dan menuntun Adelia memasuki kamarnya.
"Aku bikinin teh sebentar ya", Justin berkata sambil membelai kepala Adelia dengan lembut, dan menutup pintu kamar gadis itu. Justin kemudian memasuki common room flat yang dalam keadaan gelap gulita. Sepertinya seluruh penghuni flat itu sedang pergi. Ia menghidupkan lampu dapurnya dan membiarkan lampu bagian ruang tivi tetap mati. Ia sudah tau dimana penyimpanan bahan makanan Adelia, dan menemukan tempat aneka teh berada bersama gula merah. Ia pernah beberapa kali di jamu teh oleh Adelia di ruangan ini. Ia salah satu penggemar teh gadis itu. Ia merebusnya sebentar dan mencari biskuit yang biasa distok Adelia.
Justin menata teko teh, 2 cangkir dan biskuit-biskuit itu dengan rapi di atas meja depan sofa. Ia membiarkan lampu di bagian tivi tetap mati. Bila Adelia keluar nanti, tentu ia tidak ingin mata sembabnya terlihat. Justin ingin membiarkan Adelia tenang dulu. Ia menghidupkan tivi dan mencari siaran yang paling menenangkan.
Setelah beberapa saat, Adelia keluar dengan setelan piyama katun bergambar beruang. Kepalanya masih ia bungkus dengan handuk tipis, sepertinya ia baru saja keramas. Mukanya polos dan matanya masih sembab. Ia mencoba tersenyum ke arah Justin. Cowok itu membalas senyumnya dan menempuk bagian sofa yang terletak persis disampingnya.
"Duduk sini Adelle...", katanya lembut. Justin menuangkan teh ke cangkir-cengkir itu. Wangi daun teh bercampur vanilla menyeruak di hidung mereka. Justin menyodorkannya ke arah Adelia. Gadis itu menarik nafasnya dengan panjang, dan menghebuskannya pelan-pelan. Ia tersenyum dengan lebih iklas, dan akhirnya menurut untuk duduk di samping Justin. Ia menerima gelas dari tangan Justin. Mereka duduk dalam kegelapan, hanya cahaya dari dapur dan tivi yang menerangi mereka.
Tivi sedang menayangkan sebuah film jadul berbahasa inggris. Suaranya tidak begitu kencang, karena Justin memang sengaja ingin mengajak gadis itu berbicara. Ia menyodorkan biskuit langsung ke mulut gadis itu. Adelia mengikik dan menggeleng. Namun Justin tidak berhenti. Ia terus saja memaksa Adelia, sampai gadis itu tertawa dan akhirnya menggigit biskuit itu dan mengunyahnya.
Ketika akhirnya teh itu masuk ke rongga mulutnya, ada perasaan hangat dan lembut meledak di situ. Ketika ia menelannya, tenggorokan dan perutnya hangat. Ia hirup lagi wangi teh itu, agar aroma menentramkan itu benar-benar terserap ke otaknya. Ketika ia sudah puas, ia hirup lagi dan menelan satu tegukan lagi. Kali ini, sepertinya hormon "penenang" dari otaknya telah meluncur ke seluruh saraf-saraf tegang Adelia. Seakan-akan kerjasama antara biskuit dan teh itu berhasil membuat gadis itu lebih waras. Ia merebahkan punggungnya dengan lebih santai ke sandaran sofa.
"Kalo kamu belon mau cerita, ga usah cerita", kata Justin. Tapi sebenarnya arti dari kata-kata itu adalah, aku ingin penjelasan, cerita aja, siapa tau aku bisa bantu. Adelia paham. Ia meneguk tehnya untuk keempat kali, dan berusaha untuk lebih tenang. Ia memang butuh "shoulder to cry on" saat ini. Tidak disangka kalau Justin ternyata mau dan siap untuknya.
"Maaf uda ngerepotin ya Justin. Sumpah, aku ga tau harus ngomong ke siapa, mau minta tolong ke siapa. Kalo tadi aku hubungi Malik, anak itu pasti super panik, yang akan bikin Lisa tambah panik. Akhirnya heboh semua. Padahal aku tuh belon tau masalahnya apa dengan Hisyam. Sekarang aku cuma lagi takut, dan bingung ama situasinya. Jadi aku pikir, bang Justin pasti lebih paham dan lebih tenang ngadepin kayak begini. Bener kan?", tanya Adelia sambil menatap lekat mata cowok itu.
Justin menganguk dan tersenyum paham. Ia menatap Adelia lekat-lekat. Belum pernah ia melihat sisi Adelia yang ini. Sisi rapuh, sisi lembut dan kebingungan. Selama ini memang Adelia cenderung lebih pendiam bila ia dekat dengan Justin. Seperti menghindari, tapi tidak begitu kentara. Berbicara seperlunya, namun tetap tersenyum ramah. Menghindari duduk dekatnya, namun tidak merasa risih atau takut bila kebetulan mereka berdekatan. Seperti sungkan, walau mereka sudah bersama-sama selama berminggu-minggu. Akrab tapi asing, gimana coba?
Selama ini Justin hanya mendapat cerita tentang Adelia melalui Malik. Tapi itu juga tidak banyak. Adelia hampir tidak pernah menceritakan hubungannya dengan Hisyam. Mereka hanya pernah bertegur sapa sebentar dengan cowok itu, bila kebetulan mereka bertemu di kampus. Tidak pernah ngumpul secara sengaja. Tapi yang Justin tau, cowok itu sangat posesif. Setiap kali mereka bertemu, cowok itu terkesan akan menggenggam tangan Adelia lebih kencang, atau refleks memeluk pundak cewek itu. Tindakan-tindakan yang seakan ingin mengatakan "jangan ganggu Adeliaku". Tapi kenapa sekarang Adelia malah di tinggalkan di pinggir jalan seperti ini?
"Dia gak nyakitin kamu kan?", tanya Justin lembut. Adelia menggeleng kuat. Handuk yang tadinya melilit kepalanya sontak oleng dan terlepas tidak seimbang. Padahal saat ini tangan Adelia sedang penuh dengan biskuit dan gelas teh yang hangat. Justin dengan sigap menangkap handuk itu dan melepaskannya dari kepala Adelia. Ia melipatnya dan menyampirkannya ke tangan sofa, kemudian ia balik menatap keadaan Adelia.
Rambutnya basah dan berantakan. Justin dengan ragu-ragu dan tangan setengah bergetar, memperbaiki susunan-susunan rambut Adelia. Hanya, agar rambut-rambut itu jatuh natural. Ia mengaturnya agar semua rambut itu bisa jatuh ke belakang punggung Adelia sehingga tindak masuk ke dalam gelas teh itu, menusuk matanya, atau bergumpal di bagian atas. Gagal! Ok, sekarang ia berusaha membuat beberapa rambut terdepan agar terselip di belakang telinga Adelia. Satu sisi berhasil, tinggal 1 sisi lagi. Justin memiringkan wajahnya agar bisa melihat sisi wajah Adelia yang lain, dan ia selipkan rambut terdepan ke balik telinga yang satu lagi. wajah mereka hanya berjarak beberapa centi sekarang. Berhasil. Ia belum puas, sepertinya masih ada rambut yang berantakan.
Rambut itu begitu halus, lembut dan luar biasa wangi. Belum pernah Justin mencium wangi rambut seperti itu. Ada beberapa mantan pacarnya, tapi ia belum pernah terfikir bahwa rambut seorang perempuan bisa memancarkan wangi seperti itu. Wangi yang memabukkan, padahal tidak ada alkohol yang tadi ia minum. Ia masih terus menerus memperbaiki susunan rambut itu, sampai ia tidak sadar, ia sekarang malah membelai-belainya.
Yang justru tidak diketahui Justin adalah, tiap belaian cowok itu di setiap helai rambutnya, telah memporak-porandakan hati Adelia. Saraf-saraf yang tadinya sudah tenang, sekarang justru meronta-ronta. Mereka aktif kembali, dan seakan-akan meminta penjelasan Adelia, apa yang sedang terjadi? Adelia juga gak tau apa yang sedang terjadi para dirinya, apalagi tentang APA YANG SEDANG dilakukan oleh Justin. Ia hanya bisa diam. Ia kuatir bila ia melakukan reaksi yang salah, akan ada hasil yang salah juga. Seperti sebuah api unggung yang mulai padam, Justin menyiramkan lebih banyak aseton agar ia berkobar lagi. Ini sunggu salah dan tidak adil.
Selama 5 menit berikutnya, mata Adelia melotot seakan sedang berkonsentrasi memperhatikan film yang ada di tivi. Ia berusaha mendengar kata demi kata yang meluncur dari mulut sang aktor. Saat ini, bahkan bibir sang aktor itu saja bisa ia perhatikan dengan seksama, baik bentuknya, baik warnanya, baik apa yang sedang ia katanya. Matanya menjadi terlalu fokus. Jantungnya mulai berdetak lebih kencang, dan ia hanya bisa bernafas pendek-pendek.Genggaman jarinya di gelas semakin kencang. Untung saja biskuit di tangannya sudah habis. Mungkin kalau masih ada, sudah hancur lebur berantakan karena ia genggam dengan grogi.
Sedangkan Justin? Ia tidak terlalu terganggu dengan kekikukkan Adelia, ataupun suara dari tivi itu. Saat ini tangannya seperti terlem oleh rambut-rambut gadis itu. Mungkin bila10 menit lagi ia tetap melakukan kegiatan belai-belai itu, rambut Adelia akan kering total, atau bahkan rontok berderai-derai. Justin bukan lagi mencoba menata rambut gadis itu, melainkan menata hatinya. Perasaan apakah ini?
Selama ini, memendamnya sendiri. Ia menyukai Adelia sejak pertama ia melihatnya. Gadis pendiam yang selalu menghindari tatapannya, justru membuatnya penasaran. Kenapa gadis itu selalu memancarkan aura dan kesan bahwa ia tertarik kepada Justin, namun tidak kunjung membuka hatinya? Kenapa Adelia justru jatuh ke pelukan cowok yang... yang ia kira "just an ordinary guy", namun justru saat ini mungkin telah menyaikit Adelia.
"Adelia, mungkinkah ini sebuah tanda?", tanya Justin pelan. Adelia tidak berani bertanya. Memangnya tanda apa? Justin memegang dagu kecil gadis itu, dan memutarnya agar Adelia bisa menatap wajah Justin.
"Ke.. ke.. kenapa bang?", tanya Adelia kelu.
"I'm sorry if I realized it a bit too late. But better late than never. Aku mungkin lebih dari kamu, tapi aku salut dengan keberanian Hisyam. Tapi saat ini, aku sedih kalo kamu sedih. Dan entah kenapa, saat ini aku cuma pengen kamu bahagia. Aku pengen bikin kamu bahagia Adel...", katanya pelan.
Adelia terkejut dan memegang gelas teh itu dengan kedua tangannya. Ia takut oleh dan malah menumpahkan teh yang baru ia minum setengah itu. Justin memegang wajah kecil Adelia dengan kedua tangannya yang besar dan kokoh.
"I will wipe away those tears and make sure that this lips will always smile", katanya sambil meraba bibir Adelia dengan salah satu jempolnya dengan lembut. Satu sapuan... dua sapuan... tiga sapuan... hati Adelia bergejolak. Perutnya seperti sedang di tonjok oleh sesuatu yang besar.
"HAAAPPPPPP", Justin dengan mendadak mencium bibir Adelia dengan agresif dan tanpa jeda. Adelia tidak bisa menghindarinya. Tangannya masih menggenggam gelas teh itu dan mencengkeramnya semakin kuat, alih-alih mendorong Justin. Ia pasrah namun tidak membalas. Ia biarkan Justin melepaskan kerinduannya, melepaskan rasa penasarannya. Sedetik Adelia tidak ingin memikirkan apa yang akan terjadi ketika ciuman ini berhenti. Tapi entah kenapa, ia merasa tidak ingin ciuman ini berhenti. Bukankah ia pernah memimpikannya? Ia sungguh pernah menyukai cowok ini berminggu-minggu namun ia tau harus ia kandaskan. Ia tidak sampai hati kepada Lisa.
Oh iya Lisa! Ketika akhirnya Justin berhenti, ia masih belum ingin menjauhkan wajahnya dari Adelia. Ia membelai-belai lagi rambut Adelia dengan kedua tangannya dan ia tersenyum. Bibirnya memerah. Karena memang awalnya merah, dan juga karena...
"Bang Justin, Lisa gimana...", tanya Adelia parau. "Aku masih pacar Hisyam kak. Malam ini aku gak tau keadaan dia. Mungkin aja dia memang sengaja ninggalin aku, atau... atau... atau mungkin sekarang dia sedang di culik, atau gimana. Aku... aku gak pengen ada salah paham dengan Lisa dan Hisyam kak... aku... aku...", belum selesai Adelia berkata, Justin langsung menciumnya lagi. Seakan-akan ingin membuat Adelia terdiam, ataupun karena ia masih penasaran. Biar, biarkanlah dulu keadaannya seperti ini. Adelia kembali pasrah, dan kali ini, ia justru ikut membalasnya dengan lembut.
-----
Justin menuruni tangga dari Flat Adelia tepat pukul 11.45. Ia sudah berpesan agar gadis itu langsung tidur dan mengunci pintunya. Ia sudah merasa aman ketika Diva sudah pulang dan langsung masuk ke dalam kamarnya, artinya Adelia tidak sendirian di flat. Perasaannya sedang diatas awan. Ia mungkin sedang berbahagia diatas kesalahpahaman orang-orang. Tapi ia tidak perduli. Ia juga berhak untuk bahagia bukan?
Ketika ia sampai pada 2 anak tangga terakhir, pandangan Justin terhenti oleh sosok yang keluar dari flat 26 sambil memegang 2 plastik sampah Sepertinya ia akan membuang sampah itu ke tong sampah yang lebih besar dbawah tangga. Cowok itu… ia seperti melihat sebuah cermin berukuran 2 meter, seperti sedang melihat hantu, atau ya mungkin sosok dirinya yang menatapnya kembali. Cowok itu mengenakan outfit yang mirip dengan yang ia kenakan sekarang. Jeans, jaket bertudung, kaos putih dan rambut dengan poni panjang menutupi dahi dan mata mereka. Justin memerlukan waktu 3 detik sampai akhirnya ia berkedip dan mengacuhkan bayangan di depannya itu. Ia berjalan menuju mobilnya dan melesat pulang.
Bastian cukup terkejut ketika berpapasan dengan Justin. Ia belum pernah melihat cowok itu berkeliaran di asrama ini sebelumnya. Siapa dia? Penghuni baru flat 27? Ravi tidak pernah mengatakan apa-apa kepadanya, terlebih lagi ia terlihat seperti orang Indo. Dan kenapa ia keluar dari flat 27 selarut ini? Setau Bastian, Adelia tidak pernah berjalan dengan cowok ini dalam rombongan bridging programnya. Bastian pernah beberapa kali berpapasan dengan tim 8 itu. Jadi siapa cowok itu?
Ingin rasanya Bastian menggedor flat 27 dan memastikan Adelia baik-baik saja. Bagaimana kalo cowok itu adalah salah satu orang yang ditemui Adelia di Waterford dan menyakitinya? Sial banget kalau sampai hari ini pun, Bastian belum memiliki nomor HP cewek itu! Perlukah ia bertanya kepada om Adnan dan tante Cecilia? Ah pasti mereka akan marah sekali karena Bastian tidak memiliki nomor cewek itu. Yah semoga aja semua baik-baik aja, batinnya.