Pagi ini, kembali Bastian menyesap kopinya dengan 2 lembar roti gandung bakar Microwave di hadapannya. Waktu sudah menunjukkan pukul 8.15, tapi Adelia belum kunjung lewat. Biasanya gadis itu akan lari terpogoh-pogoh pukul 7.50 pagi, karena memang waktu yang dibutuhkan dari asrama mereka ke gedung program bridging itu tidak sampai 10 menit biar berlari ala Adelia. Apa gadis itu berangkat pukul 7? Ataukah ia telat bangun? Bastian sudah duduk manis disitu dengan laptop di tangannya sejak pukul 7.15 pagi sambil menghadap ke pintu balkonnya.
"It's been 5 days Bastian. You've been stalking your Indonesian girlfriend for 5 mornings!", ejek Ravi sambil duduk menghadap Bastian. Di tangannya ada segelas kopi, setangkup sandwich telur dan keju, serta buah apel. Cowok terlalu iseng itu juga memiliki pagi-pagi yang santai seperti Bastian. Hanya saja agak siang, ia memiliki kuliah dan pratikum khusus dengan grupnya. Ia juga bekerja sambilan di perpustakaan dan menjadi guru les bagi mahasiswa-mahasiswa baru di jurusannya.
"I'm not stalking ANYONE", jelas Bastian mantap sambil mengusap wajahnya, kemudian menyisir rambut lembatnya dengan jari-jarinya. Seluruh permukaan wajahnya terlihat jelas. Alisnya lebat dan tegas, mata elangnya berwarna sangat gelap. Hidungnya bangir.
Ravi tertawa mengejek. "You've been sitting in this place for 4 days in a row, and when she passed by, 5 minutes later you walked into your room. As if your mission had completed", ejeknya lagi sambil memainkan bagian tengah kaca matanya dan melirik Bastian dengan senyum nakal. Bastian menganga tak percaya. Bagaimana bisa... bagaimana bisa cowok ini menganalisa seperti itu. Benarkah? Benarkah Bastian seperti itu? Bahkan Bastian tidak menyadarinya...
"She doesn't have a class today. Most bridging classes only from Monday to Thursyday. Four subjects only. Usually bridging students will go to the city or work. I bet she'll be in Maya Masala the whole day today", Ravi berhipotesa.
"If you want, you can borrow my car and take her home like the last time", usul Ravi. Bastian memikirkan dengan seksama.
"No need, I have a 4 PM class today", Bastian menjelaskan.
---
Bastian mengamati catatan-catatan yang ia ambil selama perkuliahan yang dimulai pukul 4 ini. Hanya sekitar belasan menit tersisa hingga kuliah akan berakhir. Ia mengamati kelas yang berbentuk teater itu. Seorang dosen bule cowok sedang menjelaskan pengantar Finance dengan cara yang paling simpel dengan power point slide di belakangnya. Ia memberikan referensi buku dan link dimana tugas dapat di akses di forum. Para mahasiswa mulai mengecek di laptop mereka dan menulis catatan-catatan.
Mata Bastian bertubrukan dengan tatapan seorang cewek yang berada sekitar 5 meter darinya. Bastian menyadari, gadis itu berada hampir di semua mata kuliah yang diambilnya. Sepertinya ia juga mahasiswa baru, dan sepertinya ia juga dari Indonesia. Bastian dapat melihat dari wajahnya, cara berpakaiannya, dan cara gadis itu menatap Bastian. Gadis itu sedang mencari teman. Seperti halnya Bastian, ia belum memiliki teman sekelas yang bisa ia katakan akrab. Masih mencari-cari.
Begitu kuliah selesai, cewek itu langsung mendatangi Bastian tanpa malu-malu. Ia memakai jeans biru yang agak belel, dan sepatu flat shoes berwarna biru tua. Ia memakai kemeja putih casual dan memakai coat yang warnanya persis dengan sepatunya. Rambutnya sebahu dan sangat halus dan lembut berwarna hitam kecoklatan. Sepertinya warna rambut asli. Fitur wajahnya seperti orang Indonesia asli yang sangat ayu, seperti wajah-wajah pemenang putri Indonesia. Tubuhnya proporsional dengan tinggi 170. Sekilas ia mirip Dian Sastro.
"Hai, dari Indonesia juga kan? Sama donk. Aku dari Bandung. Aku Maretha Ayu, nama kamu siapa?", tanyanya ramah sambil menyodorkan tangannya yang lentik. Senyumnya sangat manis dan tulus.
"Bastian. Dari Jakarta", jawabnya singkat. Ia menyampirkan ranselnya yang sudah ia isi buku dan laptop. Siap untuk meninggalkan kelas. Ia masi menimbang-nimbang apakah ia ingin meneruskan percakapan dengan gadis ini.
"Sial banget ya ada kuliah Jum'at malam. Padahal ini weekend loh. Ada rencana apa habis ini?", tanya gadis itu kepada Bastian. Ia tersenyum manis dan memandang mata cowok itu tanpa malu-malu, tapi jauh dari kesan agresif. Cowok itu menggeleng. Maretha menuntun Bastian untuk keluar dari kelas dan menuju pintu keluar gedung. Beberapa mahasiswa pasca sarjana ada yang keluar dari kelasnya, dan digantikan oleh mahasiswa yang mengambil mata kuliah pukul 7.
"Liat deh, beberapa mahasiswa tuh khusus dandan cantik pas kuliah, biar mereka bisa langsung weekend deh", kata gadis itu sambil menunjuk para mahasiswa perempuan yang dijemput oleh mungkin pacar mereka. Suasana kampus lebih meriah, karena itu weekend. Beberapa mahasiswa perempuan saling berpelukan dan berdadah-dadah, "Happy weekend everyone".
"Ada restoran Indonesia loh di kampus. Kayaknya Jum'at malam masih buka sampe jam 9. Kesana yuk!, ajaknya. Bastian menilik. Apakah cewek ini baru aja mengajaknya berkencan? Kenapa ia begitu ramah dan terbuka, walaupun mereka baru pertama kali ngobrol. Iya memang gadis ini ada di setiap mata kuliahnya, bahkan mungkin mereka akan bersama-sama terus sampai mereka lulus dari kampus ini. Haruskah ia berakrab ria? Tanpa sadar, Bastian mengangguk.
Mereka menyusuri lorong-lorong kampus yang sudah mulai gelap menuju restoran Indonesia yang masih berada di dalam kampus. Selama perjalanan singkat dengan langkap kecil-kecil itu, gadis itu mengajak Bastian berbicara. Bukan, bukan ia terus berceloteh tanpa henti. Gadis itu seperti seorang wartawan unggul. Ia mengorek dengan pertanyaan-pertanyaan ringan, menunggu jawaban-jawaban singkat Bastian, kemudian menimpali atau membahasnya. Gadis itu mudah tertawa. Tawanya renyah tapi dia menguing di telinga.
Begitu terus, sampai mereka mengambil makanan ala buffet itu. Mereka kemudian duduk di salah satu sudut restoran yang sudah dipenuhi oleh mahasiswa Asia. Maretha terus mengajak Bastian mengobrol dengan aktifnya. Take and give. Sepertinya gadis itu menguasai tehnik wawancara yang baik, sehingga Bastian yang sebenarnya tidak mudah akrab dengan orang lain, menjadi lebih terbuka dan bisa ngobrol nyaman dengan gadis itu. Obroalan mereka sudah melebar ke banyak hal.
"Aku kesini pake beasiswa, Tian. Kalo sendiri mah, gak mampu kali. Beasiswa dari pemerintah Australia, tapi gak full. Cuma uang kuliah, dan sedikit uang saku yang cukup buat sewa kamar doank. Aku tuh tinggal di Victoria Park bareng beberapa temen. Lumayan gak terlalu mahal. Disitu juga banyak kerjaan, aku kerja jadi waitress di salah satu restoran Thailand di deket rumahku", jelasnya. Bastian langsung teringat pada Adelia yang melayaninya di restoran India.
"Aku tuh bercita-cita banget setelah ini, mau ngambil CPA, trus mau ngejer jadi permanent residence disini. Gaji akuntan disini lumayan banget! Aku gak mau pulang ke Indo. Mau kerja sampe mati disini aja hahahaha", katanya menerawang sambil tertawa. Gadis itu sepertinya menyimpan begitu banyak ambisi dalam matanya. Ia seperti melihat sebuah masa depan yang lebih cerah di benua ini. Gadis yang ambisius dan realistis.
"Hemm good for you. Semoga berhasil", jawab Bastian santai. Seperti Adelia, ia tidak berani bermimpi untuk kabur dan tinggal di negeri ini. Begitu ia wisuda, sudah ada meja dengan papan namanya di kantor akuntan publik Adnan & Abraham. Begitu juga dengan Adelia, ia akan secara resmi menjadi Partner tante Cecilia di perusahaan Marketing Communication milik mamanya. Bahkan mungkin sebuah rumah mini sedang dicicil kedua orang tua mereka, tempat mereka berdua akan tinggal ketika mereka sudah menikah nanti. Sebuah kodrat yang sudah di gariskan.
"Kalau kamu ada rencana apa Tian?", tanya Maretha. Mereka telah selesai makan, dan Maretha membelikan mereka 2 cangkir kopi. Saat ini Maretha sedang menopangkan wajahnya pada salah satu tangannya, sedangkan tangan yang satu lagi menggenggam cangkir kopi yang masih mengepul. Matanya berbinar menatap Bastian, seperti ia baru saja menemukan harta karun,dan ia sedang menunggu jawaban harta karun itu berbicara…
Bastian agak risih ditatap begitu dalam. Baru kali ini ia merasa dapat berbicara dengan seseorang dengan nyaman, tapi tatapan mata itu membuatnya sesak seperti di dorong kesuatu sudut. Tatapan yang meminta sesuatu. Gadis itu pintar memainkan ekspresi wajahnya, seakan-akan matanya, bibirnya, pipinya bergerak untuk satu tujuan: mendominasi. Walau bagaimanapun, ini kan baru pertemuan mereka yang pertama.
"Yang penting cari kerja aja sih, tapi belum tau dimana. Mungkin disini, mungkin di Jakarta, mungkin aja di negara lain. Karena untungnya Finance itu ya gitu ya. Kalo kita uda nguasai angka, kita kuasai bahasa Inggris, kita mungkin bisa kerja dimana aja. Karena pada dasarnya temen-temen kita itu angka!", jawabnya berhipotesa. Maretha tergelak!
"Bener banget Tian! Aku juga ngerasa gitu. Orang-orang marketing ngerasa mereka itu paling berkuasa, karena mereka bisa menjual sesuatu, they can close a deal, make a business. Tapi menurutku adalah, kalau sebuah perusahaan itu gak mengerti posisi keuangan mereka, gak paham bagaimana memaksimalkan potensi uang mereka, it's nothing!", katanya sambil merentangkan tangannya dengan mimik serius. Bastian tertawa setuju.
Tanpa terasa, mereka menghabiskan waktu 2 jam hanya berbicara tentang keadaan finance dunia, dan betapa dunia keuangan Indonesia harus banyak-banyak di perbaiki. Gadis itu benarlah seorang yang sangat cerdas, baik secara IQ, EQ dan mungkin SQ. Baru kali ini Bastian menemukan seorang cewek yang simpel ga ribet, pinter, namun tidak kutu buku. Ia bisa membayangkan Maretha memegang puncak kepemimpinan sebuah perusahaan jasa keuangan atau menjadi Finance Director di perusahaan-perusahaan besar di Indonesia, dengan usahanya sendiri. Kali ini Bastian merasa agak malu. Kenapa ia tidak bisa membuat kondratnya sendiri?
---
Bastian mengantarkan Maretha ke halte bus mahasiswa. Ada belasan jalur bus yang akan berhenti di halte yang lebih mirip terminal itu, dan salah satunya nomor 77 menuju Victoria park. Sukurnya, masih banyak orang yang akan menaiki bus itu, sehingga Maretha tidak akan merasa tertekan sendirian di Bus. Sejenak Bastian berfikir, ia harus berjalan sejauh hampir 3km untuk sampai di asramanya sendiri. Kenapa ia begitu repot mengantarkan gadis itu ke halte?
"Bastian, thank you for tonight ya. I had lots of fun. I really enjoyed this date. Happy weekend. Bye", Maretha pamit dan cepat-cepat lari menuju bus nomor 77 itu. Ia duduk di dekat jendela dan melambai kearah Bastian, dan beberapa detik kemudian bus itu melaju. Bastian balik melambai gadis itu sampai bus itu benar-benar pergi.
"Was it a date?", pikirnya.