Ener Alsaki lalu meloncat dan membungkuk sedikit, memberi salam pada Kazo. Diikuti anak bernama Jupiter itu yang terlihat acuh dan malas melakukan apa yang baru saja dilakukan pemimpinnya.
"Apakah Ayah kami akan baik-baik saja?" tanya Kazo sambil menatap Ayahnya yang saat itu sedang diobati oleh wanita bernama Starla.
"Kau tidak perlu khawatir, Starla adalah salah satu anggota Tim Medis terbaik kami. Tapi sebaiknya kalian harus segera pergi, serahkan saja mereka pada kami," jawab pria itu sambil menatap pada lima Penjelajah Arya yang terlihat marah karena merasa diabaikan sejak tadi.
"Tapi tidak mungkin kami meninggalkan kalian. Lagipula Ayah belum sadar dan tidak mungkin kami melanjutkan perjalanan dalam keadaan seperti itu."
"Berisik sekali kau ini!" Bentak anak berambut merah sambil melipat dua tangannya di dada. "Daripada mengkhawatirkan kami lebih baik kau mengkhawatirkan dirimu sendiri. Jadi cepat pergi sana!"
"Apa kau bilang? kau mengusirku? Dasar anak kecil!" sahut Kazo kesal.
"Siapa yang kau bilang anak kecil, aku ini masih lebih tua darimu ya."
"Tapi kau lebih pendek dariku!"
"APAAA?"
Dua anak yang masih sama-sama kecil itu malah saling bertengkar dan tidak mau mengalah satu sama lain. Arga menepuk dahinya dengan frustasi melihat mereka bertingkah konyol di saat yang tidak tepat.
WUSH
Anak berambut merah itu seketika langsung membelalakan mata waspada saat mendengar sesuatu yang tajam melayang tepat di atas kepalanya. Dia menangkap kapak besar itu dengan tangan kirinya, lalu melirik tajam pada Bangsa Arya yang berdiri dua ratus meter dari tempatnya.
"Jupiter!" seru Kazo yang ikut terkejut karena kapak milik pria bertubuh gempal itu hampir mengenai mereka berdua.
"Panggil aku Bam!" tukasnya sambil melempar kembali kapak itu pada pemiliknya. Ia langsung mengambil posisi waspada dan menarik dua pistol yang ada di pinggangnya. "Sebaiknya kau cepat pergi. Aku akan menahan mereka disini."
"Tapi..."
"Tidak ada waktu lagi nak. Bersiaplah!"
Kazo tidak berpikir aneh saat tiba-tiba Ener Alsaki sudah berdiri di hadapannya. Pria itu lalu meletakkan telapak tangannya di dada Kazo. Kazo tidak sempat bertanya apapun, karena tiba-tiba tubuhnya langsung terpental ke belakang dengan kecepatan tinggi.
"A-apa.."
Tubuhnya melayang cepat seperti sebuah roket yang lepas landas. Sial! Dia akan mati jika tubuhnya menghantam sesuatu. Dan benar saja.
BRUKH!
"Argghhhh.."
Kazo mengerang saat punggung dan kepala belakangnya menghantam sesuatu yang keras. Sial, pria itu berniat membunuhku. Batinnya.
"Jangan injak kakiku!"
Kazo langsung terkesiap saat mendengar suara Arga yang berada tepat di telinga kirinya.
"Sejak kapan kau ada disini?"
"Sejak sebelum pria itu melemparmu ke sini," sahut Arga sambil berdiri dan membersihkan kotoran tanah yang menempel pada bajunya.
"Memang kita ada di mana ?" tanya Kazo sambil menatap berkeliling pada tempat yang terlihat seperti lorong dengan cahaya minim.
Di depannya terdapat pintu yang tertutup oleh kabut tebal. Jadi tadi tubuhnya dilempar melalui pintu itu, pantas saja terasa basah dan dingin karena menembus kabut tebal tersebut.
BRUGH, BRUGH, BRUGH
Arga dan Kazo tertegun waspada saat tiba-tiba pintu masuk di depannya tertutup oleh sesuatu benda keras hingga menimbulkan suara berdebam. Bahkan suara itu terus terdengar hingga beberapa saat.
"Sial kita terperangkap!" ucap Kazo.
Arga bergegas menghampiri pintu itu dengan hati-hati dan menyentuh benda gelap yang menutupinya.
"Ini tanah. Sepertinya Kakek Kyu sengaja menutup semua pintu masuk Verittam agar para Arya tidak ada yang bisa mengejar."
"Jadi sekarang kita berada di dalam Verittam?" tanya Kazo sambil kembali menatap berkeliling. Dia penasaran dengan cahaya yang menerangi lorong itu, padahal tidak ada lubang ataupun lampu di bagian atasnya.
"Lalu bagaimana dengan Ayah?"
"Tenang saja. Ayah jauh lebih aman bersama mereka. Lagipula ayah harus memulihkan semua luka dan tenaganya. Dan kita juga tidak tahu bahaya apa yang akan kita temui di tempat ini."
"Apa maksudmu, ini bahaya bahaya yang baru saja kau bilang?" ucap Kazo sambil berdiri di ujung lorong yang terlihat tampak sedikit lebih terang dari sebelumnya. Arga mengerutkan keningnya lalu melangkah menyusul Kazo yang berdiri mematung di tempat. Anak berambut hitam itu ikut tertegun kaku saat melihat pemandangan yang membuat Kazo membatu.
"Labirin?" serunya sambil matanya menyapu tajam pada labirin batu yang luas dengan jalan berkelok-kelok tanpa ujung. Sebuah cahaya minim yang entah datang dari mana tampak menerangi labirin batu yang sunyi itu.
"Bagaimana caranya kita melewati ini?"
-
D iluar Verittam.
Glara mendengus marah saat melihat Ener Alsaki melempar Kazo ke dalam Verittam. Lalu Kyuron menutup semua pintu masuk menggunakan elemen tanahnya dan memasang mantra penghalang.
"Sial! Kita sudah membuang banyak waktu, dan sekarang kita kehilangan anak itu."
"Sudah kubilang langsung habisi saja mereka. Tapi kalian malah terlalu banyak bermain," ketus si lelaki tinggi bernama Vinz.
"Diam! Atau aku akan melelehkan kepalamu," bentak Glara dengan geram.
"Uuuh, ancaman yang menakutkan." Vinz membuat ekspresi ketakutan yang meledek.
"Hentikan kalian! Jangan membuat keadaan semakin rumit," pungkas Alto dengan mimik wajah serius. "Lakukan tugas kalian dengan benar agar kita bisa kembali mengejar anak itu. Aku akan fokus pada Kyuron, karena dia yang memegang kendali mantra tersebut."
"Kalau begitu aku akan tangani bocah berambut merah itu. Sepertinya dia lumayan juga saat melempar kapakku tadi," tukas si pria gempal dengan sumringah.
"Jangan remehkan dia Flow. Dia terlalu muda untuk menjadi penjelajah, dan itu artinya dia terlalu jenius untuk menjadi lawanmu." Lana menyahut sambil tertawa mengejek.
"Tutup mulutmu gadis lancang!"
"Kenyataannya memang seperti itu, dasar gendut!"
"Hoi.... Mau sampai kapan kalian mau bergosip di sana?"
Bam berteriak dengan tidak sabar sambil menatap musuhnya itu satu persatu. Dua tangannya sudah bersiap dengan dua senjata api tua sepanjang tiga puluh senti yang menjadi andalannya.
Pria bernama Flow itu langsung maju sambil mengayunkan kapaknya.
"Tenang saja, sebentar lagi aku akan mencincang tulangmu yang kecil itu dengan kapakku."
Bam tampak tertawa pelan. "Benarkah? Tapi sebelum itu terjadi, aku yang akan lebih dulu meledakkan kepalamu."
Pria bernama Flow itu tiba-tiba membelalakan matanya dan langsung meloncat ke samping saat melihat anak peluru tiba-tiba sudah melaju hampir mengenai kepalanya. Peluru itu berdesing dan langsung meledak saat menghantam tembok di sekitar jalan masuk menuju Verittam.
Flow menatap itu dengan mata nanar. Jika saja tubuhnya tidak refleks untuk menghindar, mungkin saat itu kepalanya sudah benar-benar meledak dan hancur. Para Arya yang lain juga ikur terkejut, mereka tidak melihat pergerakan anak itu sama sekali. Bahkan tidak tahu sejak kapan anak berambut merah itu menembakkan pelurunya.
"Sudah kubilangkan, dia itu berbahaya."