"Meili, Meili Bangun..." Teriak Seorang wanita paruh baya yang tak lain adalah Lina bibi dari Meili.
"Bibi, ada apa? aku baru saja memejamkan mata setengah jam yang lalu." Jawab Meili sambil menggosok-gosok matanya, kamar dengan alas kasur lusuh dan dinding kotor itu adalah kamar tidur Meili, wanita cantik yang kini tinggal di kediaman bibinya itu mendapat perlakuan seperti selayaknya seorang budak tetapi Meili masih tetap bersyukur setidaknya bibi dan pamannya masih mau menampungnya, walau ia diperlakukan demikian tak mengenakkan hati.
"Siapa yang menyuruhmu bermalas-malasan, cepat Bangun dan siapkan sarapan. Kami disini tidak memelihara kutu beras ngerti" ucap bibinya dengan ketus sambil beranjak meninggalkan tempat kumuh itu.
"Haha...Kutu beras, setiap hari saya bekerja tanpa mempedulikan kesehatan saya, dan masih dianggap tidak berguna." Meili tertawa kecil sambil mengusap bulir air matanya, ia bangkit berdiri kemudian melipat kasurnya dan beranjak berdiri setengah sempoyongan. Bagaimana tidak ia pulang kerja lembur jam 12 malam, sampai rumah ia masih harus membersihkan rumah baru bisa istirahat. tapi sepertinya hari hari yang lain jam 4 dini hari ia Harus bangun untuk memasak sarapan buat keluarga pamannya setelah itu iapun lanjut untuk pergi bekerja.
Setengah 6 pagi, semua masakan Meili telah di hidangkan di meja makan. wanita itu bergegas untuk mandi karena tepat pukul 06.00 ia harus berangkat bekerja ya, ia sengaja berangkat pagi karena ia harus berjalan kaki menuju perusahaan nya dengan alasan menghemat ongkos ojek atau bis.
Meili membawa bekal berupa nasi dan beberapa potong tempe dan tahu goreng, ia tak berani membawa makanan enak karena jika ketahuan bibinya ia akan dimarahin dan dimaki habis-habisan.
"Bibi, Paman saya berangkat bekerja dulu." ucap Meili sambil menentang tas lusuhnya, Meili sendiri bekerja sebagai karyawan swasta karena berkah kegigihannya ia menadapatkan beasiswa sampai menyandang gelar sarjana.
Tidak ada jawaban dari keluarga yang ia tumpangi itu, hal itu sudah biasa walau menyakitkan hati Meili terus bertahan, ia tak berani untuk membantah setiap perkataan paman dan bibinya.
setiap hari Meili menyusuri jalan yang sama, untuk pergi ke perusahaan tempat dimana ia bekerja. Ia menatap burung dan kupu-kupu yang terbang bebas, terkadang ia merasa ingin sekali menjadi seperti burung dan kupu-kupu itu tapi itu tak memungkinkan pasalnya dialah budak dalam keluarganya sendiri.
"Meili,.. " seorang wanita menggunakan motor bebek menyapa Meili di jalan.
"Hai Maya," sapa balik Meili yang mengetahui itu adalah rekan bekerja nya.
"Jalan kaki lagi Mel?" tanya Maya sambil menatap ke arah Meili.
"Seperti biasa Mel,"
"Bareng aku aja yuk, jok belakang kosong." ucap Maya sambil cengengesan.
"Iyalah jok belakang kosong kan ga ada yang naik." balas Meili.
"Ya udah naikin.."
"Engga usah entar repotin kamu,"
"Kita satu tujuan gapapa kalau bareng, lagian aku ga bisa bantu ringankan beban hidup kamu mel, cuma ini yang bisa ku lakukan."
"Iya May Makasih ya."
Maya menyerahkan helm yang ada di dalam jok motor nya kemudian memberikan helem tersebut kepada Meili, ia tau apa yang terjadi dengan Meili tetapi sebagai orang lain ia tak bisa ikut campur terlalu dalam dengan masalah Meili.
Meili mengambil Helm tersebut kemudian ia ikut naik Maya. Mereka bersama sama untuk berangkat bekerja.
.
.
.
.