Pak kepsek!! Aaaaaaa... Teriak Serena dalam hati.
Selagi Serena panik, Rian terus memikirkan alasan-alasan untuk menyelamatkan diri (diri sendiri saja, bukan dirinya dan Serena).
"Kenapa saya menemukan kalian berdua di ruangan saya." Ucap bapak kepala sekolah. Itu bukan pertanyaan yang pasti tapi pernyataan.
"Saya tadi mau cari bapak untuk membicarakan olimpiade matematika minggu depan tapi gatau kenapa ada dia di sini." adalah yang hendak diucapkan Rian kepada kepsek, sampai tiba-tiba... Serena pura-pura pingsan.
"Aah..." Ucapnya dengan sok dilemah-lemahkan sebelum menjatuhkan diri dengan kencang ke lantai keramik abu-abu gelap.
***
Serena harus menahan seluruh ekspresi mukanya agar tidak berubah supaya tidak ketahuan bohong. Sampai saat ini aman. Ia baru saja dibaringkan di UKS yang serba putih. Dokter UKS menggeleng-gelengkan kepala. Serena nyaris ketahuan tapi kepala sekolah sengaja melewatkannya tanpa ia sadari. Ia kira rencananya berhasil. Saat tidak ada suara apa-apa lagi, ia mengintip dari bukaan kecil kelopak matanya.
Sepertinya semua pergi. Kata Serena dalam hati. Ia memberanikan diri membuka mata dengan cara yang ia lihat di film. Pura-pura seperti orang yang baru bangun dari pingsan. "Aa.. a.."
Kemudian setelah berakting (dengan buruk), ia menarik tangan ke udara tanpa suara sebagai tanda keberhasilannya. Sampai saat ia menemukan selembar kertas di meja samping ranjangnya. Bertuliskan :
"Kalau sudah selesai akting, ke aula di lantai 4 dan lari bersama Rian 4 putaran. Kemudian minta cap dari seluruh guru di kertas permintaan maaf, baru boleh pulang. Begitu kata kepsek." Begitulah tulisan bu dokter UKS.
***
Serena dengan lemas menaiki tangga menuju ambang pintu penderitaan. Saat masuk ke dalam ruang aula, ia disambut lemparan sapu yang terbang ke arahnya, tentu saja dari Rian.
"Woi kalau pura-pura yang lebih natural dong. Kalau mau jatoh banting aja uda pasrah, totalitas, all out! Kalau gerak patah-patah gitu, emangnya nari lenggang patah-patah!" Ucap Rian dengan menyebalkan. Serena mengutukinya dalam hati.
***
Setelah selesai berlari, Serena mengambil pena dan kertas. Saat hendak menuliskan isi permintaan maaf, ia mendapat ide.
"Rian..." Ucap Serena dengan nada sok baik.
"Apa sih??? Apa lagi. Yang gerak tangan bukan mulut."
Yaampun, orang bilang cuma satu kata, dibales separagraf. Dasar bawel! Ucap Serena dalam hati.
"Tanyaa dong..." Serena masih menahan diri dan berbicara dengan nada ramah dan ceria.
"Kasih pertanyaannya langsung aja sih."
Yaelah. Ga selow. Selow woi selow aja! Yang bisa mens siapa, yang sensian siapa. Ucap Serena dalam hati.
Serena berdeham. Kemudian ia menunjukkan sesuatu pada Rian yang sudah ia tuliskan di kertas.
***
"Gila. Lu mau nahan kita berapa lama di sekolah. Gue laper. Gabisa beli bakso bang Yadi gara-gara elu tau gak. Bukannya nulis surat permintaan maaf. Kita masih harus minta cap. Malah masih-"
"YAUDA GAUSAHHH!! BERISIK MARAH-MARAH MULU DARITADI. CEPET TUA, CEPET MATI EMOSIAN MELULU." Akhirnya Serena meledak seperti gunung yang sudah tidak bisa menahan lava di dalam perutnya.
Dalam hati, Rian sebenarnya kaget saat melihat letusan emosi Serena. Daripada ingin marah balik atau takut, ia malah merasa itu hal yang lucu. Sehingga ia tertawa.
"Gila ya? Bilang orang gila, kamu tahu yang gila. Mau diteleponin RSJ, huh!"
Rian tertawa makin kencang. Serena hanya melotot padanya.
***
Setelah hari yang panjang dan melelahkan, yang membuatnya pulang jam 5 sore (akhir-akhir ini ia jadi pulang sore karena hukuman), ia merebahkan diri masih dengan seragam putih abu-abu dan memindahkan ransel gendong sambil tiduran ke lantai. Gedubrak! Langsung Serena terloncat berdiri dan sadar... Kannnn masih ada hp aku di dalemmmm.
Pas sekali handphone-nya bergetar. Kemudian bergetar lagi. Ternyata ada notifikasi dari Chapone. Ada seseorang yang memberi like pada setiap chapter cerita Witte Uil nya. Dan mengejutkannya orang itu adalah... si no.1 penulis di Chapone, Grihikins. Si musuh terbesarnya. Karena dia, Serena selalu di no.2.
Kemudian muncul notifikasi baru.
"Hai, Little Serene. Overall good work, give yourself a pat on your back."
Serena langsung shock.... Ia tidak dapat berkata-kata.
Sementara di sisi lain, si misterius Grihikins yang memiliki identitas asli di suatu tempat tertawa cekikikan setelah memposting komentar tersebut.
***
Esok harinya, Serena sedang berjalan menuju kantin untuk membeli Panada, roti isi ikan cakalang kesukaannya.
"Tante! Panada 2!"
"10ribu, jo."
"Tante gausa sok-sok Manado. Kata temen aku bukan gitu pemakaian 'jo', ahahaa, bercanda tante."
"Ahaha. Nyaris tante tersinggung. Tak kutuki jadi batu kau nanti. Ajeng suka sekali Panada?"
"Iyaaah. Panada tuh... bentuknya kayak pastel tapi teksturnya lembut, rasanya manis kayak roti. Isiannya asin-pedes, cocok, tante. Tante juga jago bikinnya, jadi nagih deh..."
"Bisaan si ajeng. Nih tante kasih kembalian 2ribu. Tante bonusin seribu."
"Asikkk! Aku besok borong 2 lagi tante."
"Ahaha iyaa iyaa, jeng."
"Tante. Saya jual bocah ini ke tante, mau beli?" Muncul suara orang menyebalkan yang membuat Serena mencibirnya dengan pergerakan bibirnya.
"Selow dong mulutnya. Ngunyah apa ayan."
Serena yang masih kesal karena kemarin segera berbalik pergi menjauhi Rian.
"Wets, tunggu cil. Nih tante, teh pucuk satu ya."
Setelah Rian memberi uang, ia berjalan menuju Serena dan menahan batok kepalanya dengan tangan.
"Lepasin! Jangan sentuh!"
"Okeh." Rian melepaskan tangannya. "Gua udah baca yang kemarin lu submit di ruang kepsek. Mau dengerin pendapat beta-reader ga??"
"Gak!" Serena berbalik dan mulai berjalan pergi. Namun batok kepalanya ditahan kembali oleh Rian.
"Mau menang ga sih. Ayo sini, ada yang harus gua kasih kritik."
***
Setelah sampai di tangga darurat putih yang bertengger di luar gedung (literally tangga putih menggantung di udara), Rian dan Serena duduk.
Ia membuka handphone-nya dan menunjukkan pada Serena suatu bagian.
***
[Novel Witte Uil oleh Little Serene]
[Saat berjalan pulang dari perpustakaan, tiba-tiba perutku terasa tidak enak. Seperti akan ada hal buruk atau semacamnya. Saat sampai di dalam rumah, Mamma sedang duduk di ruang tamu menyambutku. Mamma memegang amplop cokelat berlogo Vereenigde Oostindische Compagnie dan tulisan Company's Daughter di atas sudut kiri.
Kedatangan amplop ini tidak terlalu mengusikku. Ada yang membuatku lebih terusik, yaitu ekspresi Mamma yang kelihatan gembira dan bersemangat memegang amplop itu. Aku berharap arti ekspresi itu memberikanku kabar baik. Seperti, permohonan pemutusan kontrak telah dikabulkan (secepat ini?) atau kami bisa tetap di Batavia tanpa syarat (yang ini sepertinya sulit).. Di satu sisi, aku takut ada tawaran yang membuat Mamma berubah pikiran...
"Kau akan tetap menjalankan tugasmu sebagai Company's Daughter."
Dan ketakutanku berubah menjadi kenyataan.
Firasat burukku memang bekerja lebih baik daripada firasat baikku.
"Apa yang terjadi, Mamma?" Pasti telah terjadi sesuatu yang tidak kuketahui.
"Kau tidak akan menyesalinya. Coba datang dahulu saja. Mamma tidak akan memberitahumu siapa orangnya."
Aku benci ide ini dan malas mencari tahu.
"..Akan lebih baik kalau kau mengetahuinya secara langsung."]
***
[Novel Witte Uil oleh Little Serene]
["Kau harus melihatnya sendiri." Kata Mamma saat aku sampai di ambang pintu. Ia mengulanginya lagi tanpa menghiraukan kesengajaanku untuk tidak merespon. Ia hanya kegirangan sendirian.
Hanya untuk hari ini, aku menyesal memiliki hari Minggu. Aku ingin cepat-cepat menjadi pemagang lagi besok. Aku lebih mengidamkan ketentraman daripada kegirangan. Kebahagiaan dan keuntungan dari perjodohan tidak akan dirasakan pada orang yang menjalankannya. Hanya orang lain yang akan menganggap begitu.
Jika melihatku, orang akan berpikir hari ini sekadar hari biasa saja. Itu tujuanku memilih pakaian hari ini. Mamma tentu mengeluh tapi ini harus ia biarkan agar aku setuju datang ke Stadhuiplein, tempat pertemuan kami. Tidak berwarna putih atau abu-abu yang katanya selaras dengan warna rambutku. Tidak berwarna hitam yang kontras dengan warna kulitku, akan jadi mencolok nanti. Warna ternetral adalah biru muda. Warna merah muda yang paling kuhindari, jelas sekali seolah aku menanti pertemuan yang manis. Biasanya, aku selalu butuh waktu untuk memilih perhiasan atau aksesori pita yang cocok dengan baju atau suasana hati saat itu. Tapi kini, itu tidak penting, sesuai perasaanku saat ini.
"Kau sungguh biasa saja."
"Terima kasih, Mamma."
"Kau tidak pernah keluar dengan sangat biasa."
Saat melirik ke luar, ada cahaya kuning yang menyilaukan dan memantul di jalanan, saking panasnya Bataviaku siang ini. Aku menghela napas dan mengambil topi lebarku berwarna putih yang dikelilingi pita hitam. Hanya ini saja, kataku dalam hati. Mamma tersenyum puas seolah berkata "Jauh lebih baik."]
***
"Ini pembawaannya kan dari sudut pandang Mila, ya bikin jadi emang sudut pandang orang pertama lah. Masa dia ngomong kayak narator. Lebih ekspresif dong. Saran gua sih, at least pas bagian narasinya lebih ekspresif sih. Dibanding dia jelasin keadaannya, bawa juga soal pendapat dia. Ya gitu, Chapter 2 itu karakternya kayak datar aja emosinya. Overall plain, chapter ini ga pengen gua lanjut baca."
Serena mendengarnya sambil dipenuhi emosi karena kritikan menyebalkan si bocah menyebalkan ini.
"Bodo amat! Grihikins aja bilang 'Overall good work, give yourself a pat on your back'! Dasar amatir!" Usai meluap-luap, Serena langsung berdiri dan berlari menuruni tangga.
"Itu anak... ga sopan banget, gada bilang terima kasih-nya..."
- Chapter Start, Chapter 4 -
Writer's Note : Merry Christmassss everyone yang merayakan!!! Dan happy almost new year. Wish all of us luck on 2021 yaaah ! *^*