Semenjak hari itu, Nick dan Milly memulai hubungan jarak jauh. Nick kembali ke Malaysia. Milly tetap di Batam dengan segala kesibukannya di Wedding Organizer.
Sungguh sangat menggiurkan membayangkan saat mereka berciuman di dapur rumah Milly. Susah payah Nick menahan godaan untuk melucuti seluruh pakaian Milly dan menusuknya hingga Nick meledak. Milly terus menerus menggodanya, menuntunnya untuk melakukan hal yang lebih.
Itu benar-benar hal yang sangat berbahaya. Ia teringat dulu saat bersama Celia. Ia tidak ingin mengulang adegan berbahaya itu sebelum Milly resmi menjadi istrinya. Ia belum siap jika Milly sampai hamil. Ia masih harus melanjutkan karirnya menjadi koki yang terbaik.
Malam itu Nick melakukan video call. Kekasihnya menggodanya dengan memakai kaus U neck yang rendah hingga belahan dadanya terlihat dan celana super pendek yang memperlihatkan pahanya yang mulus dan panjang.
"Kamu sudah membereskan kopermu, belum?"
"Sudah, Sayang."
"Awas, HP-nya jangan sampai tertinggal lagi!"
"Iya, aku akan mengingatnya."
"Begitu sampai Jakarta, jangan lupa kabari aku ya."
Nick terkekeh. "Iya, Sayang. Kamu posesif sekali."
"Apa? Tidak! Aku hanya mengingatkan saja. Aku yakin kamu tidak mau kejadian ponsel tertinggal sampai terulang lagi. Jangan sampai kamu meminjam ponsel temanmu lagi dan kemudian saat aku menelepon balik, aku harus melihat lagi adegan... Ah lupakan saja." Milly menggerakkan tangannya seperti menghalau lalat.
"Adegan apa sih?" Nick mengerutkan keningnya.
"Pokoknya menjijikan." Milly menggelengkan kepalanya sambil menyeringai.
"Maksudmu Roy dan Prisilla sedang... melakukan hubungan seks?"
Milly berjengit. "Bukan! Haduh aku tidak ingin membayangkannya. Mereka... berciuman begitu... bersemangat. Fiuh... mengerikan."
Nick tergelak. Untung saja hanya berciuman. Tidak seperti Nick yang melihat Roy dan Prisilla tanpa busana di pagi hari. Sebaiknya ia tidak perlu menceritakannya pada Milly.
"Jadi menurutmu itu mengerikan dan menjijikan?"
"Ya," jawab Milly cepat.
"Dan bagaimana dengan yang kita lakukan?" Nick mengangkat sebelah alisnya. "Apa menurutmu itu menjijikan?"
Milly membeku sejenak. "Bukan begitu maksudku. Aku... aku..."
"Kenapa, Sayang? Apa kamu tidak menyukainya?" Nick kini menyipitkan matanya dengan tajam.
"Tidak. Bukan begitu," kilah Milly. "Aku menyukainya. Sangat menyukainya malah." Sekarang wajah Milly memerah. Ia tersenyum malu-malu.
"Aku juga menyukainya," aku Nick. jujur "Kita akan segera bertemu lagi dan aku akan menciummu sampai kamu kehabisan napas."
"Kamu selalu membuatku kehabisan napas." Milly mengangguk dramatis sambil memasang wajah serius.
"Benarkah?" Nick terkekeh.
Milly mengangguk. "Bahkan hanya dengan melihatmu di video call saja sudah membuatku kehabisan napas."
Nick tersenyum lebar. Kekasihnya memang ahli dalam hal menggoda.
"Setelah dari Jakarta, aku akan ke Bandung selama empat hari dan selesai itu aku baru pulang ke Batam."
"Apa yang akan kamu lakukan di Bandung?" tanya Milly penasaran.
"Aku akan melakukan demo masak, lalu... berkunjung ke rumah saudaraku."
Nick mungkin berencana untuk mengunjungi rumah Charlos dan bertemu dengan para keponakannya, sekaligus juga bertemu dengan Rissa. Seandainya saja ia bisa mengobrol leluasa dengan kakak tirinya itu.
"Baiklah. Pokoknya jangan lupa untuk selalu mengabariku ya."
Setelah meniupkan ciuman jarak jauh, video call selesai. Nick sudah tidak sabar untuk mencium Milly secara langsung. Sepertinya seminggu ke depan akan menjadi hari yang sangat berat bagi Nick.
***
Akhirnya tiba saatnya Nick harus ke Jakarta untuk acara peresmian restoran baru. Sang pemilik restoran secara khusus memintanya untuk memasak beberapa menu spesial. Keadaan dapur masih perlu dibenahi dikarenakan para pegawai masih baru dan belum terbiasa. Jadi Nick memberikan beberapa arahan.
Hari itu restorannya ramai sekali. Nick membayangkan jika ia yang memiliki restoran sendiri, seperti ayahnya. Ia tidak perlu jauh-jauh dari Milly. Keputusannya untuk pindah ke Malaysia saat itu karena ia ingin mengajak Rissa untuk hidup bersama dan jauh dari orang tuanya. Ia sadar bahwa itu bukanlah suatu tujuan yang baik, meskipun memang pada dasarnya ia juga ingin merintis karirnya menjadi seorang kepala koki dengan gaji yang luar biasa besar.
Tapi sekarang ini setelah ia mendapatkan apa yang ia inginkan, meskipun tidak semuanya, Nick merasa ada sesuatu yang kurang. Ia tidak lagi menginginkan karir. Yang ia inginkan hanyalah bersama dengan Milly.
Nick berkeliling untuk mengecek rasa. Tampaknya semuanya oke. Sausnya pas. Steak-nya sesuai dengan tingkat kematangan yang diinginkan. Sejauh ini dapur berjalan dengan baik, meskipun ada beberapa penyesuaian di awal.
Ia melakukan pemantauan selama tiga hari. Semakin hari restorannya semakin ramai. Salah satu koki yang akan ditunjuk sebagai koki kepala di sini telah menguasai dapur. Semua anak buahnya telah bisa bekerja sama dengan baik. Semuanya berjalan sesuai rencana. Lusa Nick akan berangkat ke Bandung dengan naik kereta api.
Erik, sang manager, datang menghampirinya.
"Permisi, Chef. Ada customer yang ingin berbicara dengan Chef."
"Untuk apa? Aku sedang sibuk memasak."
"Eh... Tapi..."
Nick menoleh. Selama ia bekerja di restoran, hotel, tidak pernah ada customer yang ingin berbicara dengannya. Semoga saja bukan bencana.
"Apa orang itu bisa menunggu sampai aku selesai memasak?"
"Aku akan menyampaikannya." Erik berbalik dengan cepat, lalu meninggalkan dapur.
Nick melanjutkan menumis bawang bombay, jamur dan sayuran, memberinya mentega terbaik dan bumbu rahasia. Sebenarnya ia sedang tidak ingin bertemu dengan customer manapun. Tapi sesuai janjinya, ia akan menemui orang itu setelah selesai memasak.
Selesai platting, Erik menghampirinya kembali sambil mengambil pesanan.
"Erik, orang itu masih menunggu?"
"Ya, Chef. Masih ada."
Lalu Erik mengantar Nick menuju ke meja customer yang ingin bertemu dengannya. Restoran itu penuh sekali. Suara dentang piring, sendok, dan garpu meramaikan suasana. Orang-orang makan dengan lahap sambil bercengkrama. Ingin rasanya Nick ikut bergabung bersama mereka, istirahat sejenak, lalu menikmati santapan spesial yang sudah disiapkan di meja.
Beberapa orang yang melihatnya sedang berjalan, mungkin mengenalnya, Nick tidak tahu. Mereka tiba-tiba bertepuk tangan sambil bersorak, lalu menghampiri Nick. Mereka berjabat tangan. Hampir semua orang memperhatikan.
"Terima kasih, Chef Nicholas."
"Ini luar biasa enak."
"Mantap, Chef. Sukses selalu."
Ia mendapatkan berbagai pujian dan tepukan di pundak. Senyum mengembang di wajah Nick bagaikan siffon cake yang merekah di dalam oven.
Selesai di sana, Nick kembali berjalan mengikuti Erik ke ruangan yang lain. Erik mengetuk pintu tiga kali, lalu mereka masuk ke dalam.
"Permisi, Pak. Ini Chef Nicholas," kata Erik.
"Halo." Nick menjabat tangan pria itu. Wajahnya begitu angkuh, matanya tampak menilai Nick dari atas ke bawah. Tapi kemudian pria itu tersenyum puas.
"Chef Nicholas. Saya benar-benar merasa bangga sekali bisa mencoba masakan Anda."
"Terima kasih."
"Perkenalkan, nama saya Jeremy." Pria itu memberikan kartu namanya. "Saya ingin meminta tolong sesuatu."
"Apa itu?" tanya Nick.
"Saya berencana untuk melamar pacar saya besok di sini. Saya ingin Chef Nicholas membuatkan menu yang spesial untuk kami." Pria itu mengangkat alisnya sambil tersenyum.