Mereka bertiga bersorak. Lalu bersama-sama menaikki lift. Saat Helen membuka kamar, mereka serempak ber-waaaahh bersama.
Kamarnya luas sekali. Terdapat dua ruang tidur, masing-masing dengan kasur king size. Dua kamar mandinya terdapat bathup. Ada dapur mini. Kulkasnya penuh dengan botol-botol minuman. Ada juga welcome dessert dari hotel, kue black forest dengan hiasan stroberi di atasnya. Milly memakan stroberinya saja. Kuenya dihabiskan oleh kedua sahabatnya.
Milly membuka ponsel. Ada pesan dari Nick. "Aku sedang berada di Grandballroom Sudirman. Satu jam lagi aku tampil untuk demo masak. Berharap kamu bisa ada di sini."
Milly ingin memekik, tapi ia menahannya. "Helen, selanjutnya apa acara kita malam ini?"
"Kita akan makan malam ke Cibadak," jawab Helen.
"Di mana itu?" tanya Ika.
"Sepertinya tidak jauh dari sini. Aku akan memesan taksi online." Helen segera membuka layar ponselnya. Selesai mengecek, kemudian ia berjalan menuju kamar mandi. "Ayo kita siap-siap! Aku mau mandi dulu."
"Aku juga mau mandi," kata Ika.
"Mmmm... Ika, Helen, aku harus pergi ke suatu tempat. Selesai itu aku akan menyusul ke Cibadak. Helen, nanti kamu share location ya."
"Hei!" Ika menghampiri Milly, sebuah handuk menggantung di bahunya. "Ini kan pertama kalinya kamu ke Bandung. Sebaiknya kamu jangan pergi sendirian."
"Aku kan bisa naik taksi online."
"Kamu yakin, Mil?" tanya Helen. "Kamu mau ke mana? Kita kan bisa pergi bersama."
"Kalian tenang saja. Aku akan baik-baik saja. Aku kan bukan anak kecil lagi. Pokoknya aku janji, setelah urusanku selesai, kita akan makan malam bersama di Cibadak. Oke?" Kedua sahabatnya tidak segera menjawab. "Ayolah! Waktuku tidak banyak!"
Buru-buru Milly menyambar tasnya, lalu mengambil salah satu kunci kamar. "Aku bawa satu ya kuncinya. Sampai ketemu nanti!"
Milly segera keluar dari kamar, meninggalkan kedua sahabatnya yang hanya bisa melongo kebingungan.
Kota Bandung bukanlah sebuah tantangan. Ia akan segera menemui Nicholas. Ini memang ide yang sangat gila dan menyenangkan. Jika Nick bisa memberinya kejutan, maka ia juga bisa. Apa susahnya memesan taksi melalui aplikasi? Tak lama kemudian mobil pesanannya sudah datang.
Sang supir menatapnya saat melihat Milly masuk ke dalam mobil.
"Good afternoon, Miss." Supir itu menyapanya.
"Selamat sore, Pak. Tolong agak cepat ya, Pak. Saya sedang terburu-buru."
Supir itu terkejut. "Wah Mbak bisa bahasa Indonesia ya."
"Iya, Pak. Saya kan memang warga Indonesia. Jangan percaya sama muka saya yang bule ini. Ayo, Pak cepat jalan!"
"Oh oke. Baik. Baik."
Baru saja jalan sekitar dua puluh menit, mobil sudah tersendat kemacetan. Milly mengecek ponselnya. Jika sesuai dengan aplikasi, seharusnya ia akan tiba sekitar dua puluh menit lagi. Masih ada waktu.
"Yah macet nih. Mbak, mau ke acara bazaar makanan itu ya?"
"Iya, Pak. Kok Bapak tahu?"
"Ya tentu saja saya tahu. Iklannya tersebar di mana-mana. Tuh coba Mbak lihat di sana. Ada tulisannya. Food Bazaar And Hotel Expo."
Milly membuka jendela mobil, lalu memperhatikan iklan yang dipajang di sisi jalan. Ada foto beberapa koki ternama yang akan mengisi acara. Salah satunya terpampang wajah Nick dengan seragam koki. Nick tampak sangat bergaya dengan senyum separuhnya yang khas, tangannya dilipat di dada. Bagaimana bisa Nick seterkenal itu?
"Pak, ini masih akan terus macet ya?"
"Sepertinya iya. Semuanya mau masuk ke Grandballroom Sudirman."
"Saya turun di sini saja, Pak."
"Yakin, Mbak? Terburu-buru sekali? Nanti juga sebentar lagi jalan."
"Saya harus cepat-cepat, Pak. Pacar saya sebentar lagi mau tampil."
"Oh ya? Pacar Mbak chef ya?"
Milly menyerahkan uang ke supir. "Ambil kembaliannya, Pak."
Milly segera turun dari mobil sebelum mendengar supir itu mengucapkan terima kasih.
Ia hanya perlu mengikuti GPS. Tinggal lurus beberapa ratus meter lagi dan kemudian gedungnya ada di sebelah kanan.
Milly berjalan cepat, nyaris berlari. Ia sudah pasti lebih cepat daripada antrian mobil di jalan raya. Ia harus tiba di sana secepatnya.
Napasnya tersengal-sengal saat ia tiba di lobby gedung. Semua orang mengantri untuk membayar tiket masuk. Selesai membayar, ia segera masuk ke dalam.
Berjajar stand makanan dan minuman di sepanjang pintu masuk. Semua SPG menawarkan sampel makanan gratis. Kebetulan ia haus sekali. Seorang SPG menghampirinya lalu menawarkannya segelas kecil minuman teh susu.
"Silahkan dicoba dulu."
Milly hendak menerima gelas itu, tiba-tiba SPG itu menahannya. Ia melihat SPG itu. Seragamnya tampak kekecilan di tubuhnya yang sedikit gemuk. Ia memakai sepatu pump heels yang sangat tinggi, tapi masih saja lebih pendek dari Milly. Wajahnya memakai riasan yang sangat tebal. Ia mengedipkan matanya beberapa kali hingga bulu mata anti badainya berkibar-kibar menyapu debu di sekitar matanya.
"Bule Jo Nes?"
Sial! Milly benci sekali dengan panggilan itu. Terlebih ia juga membenci orang yang telah membuat panggilan menjijikan itu.
"Celia?" Dasar buntet.
"Ya! Ini aku! Kamu masih ingat padaku?" Celia tampak sangat bersemangat. Ia menyimpan baki berisi minuman sampel itu di meja, lalu memeluk Milly seolah ia adalah sahabat yang sudah lama tak berjumpa.
"Ya aku ingat." Bagaimana bisa ia melupakan wanita ajaib yang satu ini?
"Apa yang kamu makan? Seingatku, kamu dulu tidak setinggi ini."
"Minum susu berkalsium tinggi, berjemur sambil berolahraga di pagi hari, serta makan makanan yang sehat setiap hari."
"Oh Bule. Kamu masih seperti Bule yang dulu. Ngomong-ngomong kamu datang dengan siapa? Apa kamu memiliki undangan?"
"Aku sendirian dan tidak memiliki undangan. Mmm... mungkin ada undangan. Tapi tidak secara resmi." Bukankah sebenarnya Nick mengundangnya? Ya bisa saja, secara tidak langsung.
"Bagaimana kamu bisa ke sini? Kamu punya usaha makanan? Atau hotel mungkin?"
"Apa? Tidak. Oh Marshal punya perkebunan hidroponik."
"Siapa itu Marshal? Suamimu? Apa kamu sudah menikah?"
"Tidak. Aku belum menikah."
"Sudah kuduga. Kamu memang selalu jomlo bukan?" Celia tertawa. "Bul, apa kamu pindah ke Bandung?"
Bul? Banteng!
"Tidak. Aku masih tinggal di Batam. Aku sedang berlibur ke sini." Milly tidak ingin melanjutkan percakapannya dengan Celia.
"Oh liburan. Lucu sekali sih kita bisa bertemu di sini. Oh ya, apa kamu tahu, sebentar lagi Nicholas akan tampil. Dia itu pacarku. Kamu masih ingat Nicholas kan?"
Pacar? Jantung Milly berdetak cepat melebihi saat ia berlari ke sini. Ia menyipitkan matanya, memikirkan berbagai macam kata-kata makian yang akan ia lontarkan pada si cebol. Seenaknya saja ia mengaku-ngaku Nick sebagai pacarnya.
"Ya, aku ingat."
"Kemarin itu aku dan Nick bertemu di suatu restoran di Jakarta. Kami benar-benar saling berjodoh. Sudah lama sekali aku dengannya tidak bertemu, lalu kami dipertemukan secara luar biasa. Kamu tahu, Nick mempersiapkan segalanya. Ada bunga, balon, dan makan malam romantis." Wajah Celia berbinar-binar. Ia tersenyum puas bagaikan nenek sihir. "Selesai acara ini, aku segera menemuinya lagi. Senang sekali rasanya bisa bekerja di tempat yang sama dengan Nicholas."
Amarah merambatinya hingga mencapai puncak kepala. Milly mengepalkan tangannya erat. Ia menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan diri. Kepalanya mulai terasa pening. Berani-beraninya Nick bermain di belakangnya. Dan kenapa harus Celia? Kenapa harus si cebol menjijikan ini?