Perlu waktu beberapa detik bagi Milly untuk menyadari bahwa lagunya telah selesai ketika Darius dan Evina bertepuk tangan kencang. Milly ikut bertepuk tangan perlahan.
"Bagus sekali," puji ibunya Evina. "Saya sangat menyukai penampilan kalian."
"Syukurlah. Berarti kalian setuju untuk memakai JazzGuy saat pernikahan nanti ya."
"Tentu saja, Sis Milly. Pacarmu itu memang hebat sekali bisa mengenalkan JazzGuy pada kami," kata Darius.
"Pacar?" Milly melipat bibirnya ke dalam. Meskipun Nick menciumnya hingga ia mabuk berat, lalu mengatakan bahwa ia adalah milik Nick, tapi tidak sekalipun Nick mengakui status mereka sebagai pacar.
"Iya. Pria yang waktu itu bersamamu," ujar Evina.
"Oh Milly sudah punya pacar?" tanya ibunya Evina. "Syukurlah. Semoga suatu hari nanti kamu juga akan mengikuti jejak anakku, Evina dan calon menantuku, Darius. Jangan menunggu terlalu lama untuk menikah. Nanti kamu menyesal."
"Iya, Tante. Tapi bagi saya, pernikahan bukanlah untuk diburu-buru. Menikah hanyalah sekali dalam seumur hidup. Untuk itu saya harus mendapatkan pasangan yang terbaik sebelum benar-benar memutuskan untuk menikah."
Ibunya Evina tertegun menatap Milly. Suasana jadi agak canggung. "Eh, tentu saja. Kamu benar. Tapi kalau sudah ada calonnya tentunya akan jauh lebih mudah."
"Doakan saja ya, Tante. Semoga saya memang berjodoh dengannya."
"Oh, Sis Milly kamu memang berjodoh dengan pria itu," kata Evina. "Siapa namanya? Aku lupa lagi. Ma, pria itu tampan sekali. Cocok sekali dengan Sis Milly." Evina tampak begitu semangat menceritakan tentang Nick pada ibunya. "Belum lagi pria itu romantis sekali membawakan bunga untuk Sis Milly." Evina melirik calon suaminya dengan sinis.
"Dasar bodoh!" Ibunya menjitak kepala Evina. Wanita itu mengusap kepalanya dengan malu. "Apa gunanya bunga? Kamu tidak usah menyindir Darius. Kalian itu masih perlu biaya yang besar untuk menikah. Kalau kamu mau bunga, kamu bisa tanam sendiri di rumah biar gratis."
Evina menutup mulutnya rapat-rapat, tapi matanya masih saja kesal memandang Darius. Milly menahan diri untuk tidak meledak tertawa.
Daftar lagu sudah ditentukan oleh Evina. Masalah harganya juga sudah sesuai. Sepertinya semuanya sudah selesai. Calon pengantin dan ibunya sudah pulang lebih dulu. Milly teringat kalau dia belum membayar makan siangnya. Jadi ia pergi ke kasir.
"Silahkan dicek dulu orderannya." Pegawai kasir menyerahkan struk ke tangan Milly. Tiba-tiba Martin menghampirinya.
"Tagihannya masuk ke aku aja ya, Mbak." Martin menarik struk itu lalu menyerahkannya ke pegawai kasir.
"Oh baiklah," jawab sang pegawai kasir.
"Martin, aku bisa bayar sendiri."
"Tidak perlu. Anggap saja aku yang mentraktirmu kali ini." Martin tersenyum lebar hingga matanya hanya segaris.
"Aku jadi tidak enak."
"Ayolah. Aku lebih suka kamu bilang terima kasih dan mempertimbangkan untuk membalasku dengan acara makan malam lainnya."
Milly terdiam. Martin masih tersenyum ramah padanya. Ia sama sekali tidak ingin mempersulit diri sendiri lagi. Mulai sekarang ia harus menolak ajakan Martin. Tapi sulit sekali untuk memilih kalimat yang tepat agar Martin tidak tersinggung. Ia tidak ingin menyakiti perasaan Martin.
"Aku..." Milly membuka mulut, lalu menutupnya kembali. Martin mendekat. Ini lebih sulit dari yang dibayangkannya. Tangan Martin terangkat kemudian jemarinya menyentuh pipi Milly, menggosoknya sedikit. Seketika Milly merasa tegang.
"Ada bekas tisu di pipimu tadi. Sekarang sudah hilang." Martin menatapnya begitu dalam hingga Milly merasa terjebak dalam dunia Martin.
Ponsel Milly berbunyi, getarannya membuatnya terkesiap. Marshal.
"Where are you?"
"I'm still in the cafe. Wait a second. Aku akan keluar."
"Aku tunggu di mobil ya."
"Oke."
Milly memasukkan kembali ponselnya ke dalam tas.
"Siapa itu?" tanya Martin. "Nicholas?"
"Bukan. Barusan itu kakakku. Nicholas sedang tidak ada di Batam."
"Oh. Kamu dijemput kakakmu? Padahal biar aku yang antar pulang."
"Aku tidak ingin merepotkanmu. Lagipula kakakku sedang santai."
"Oh ya? Memangnya kakakmu tidak bekerja?"
"Kakakku punya usaha tanaman hidroponik. Dia sudah punya pegawai yang bisa diandalkan. Jadi dia punya banyak waktu luang."
"Benarkah? Tanaman apa saja?"
"Bayam, kangkung, pakcoy, kailan, selada, tomat. Banyak sekali. Sudah dulu ya. Kakakku menungguku di luar." Milly hendak beranjak keluar.
"Eh tunggu!" Martin menarik tangan Milly. Mata Milly membelalak. Tidak boleh ada pria lain yang menyentuh tangannya selain Nick dan keluarganya. Martin agak keterlaluan. Milly langsung menarik tangannya kembali.
"Apa kita akan bertemu lagi?"
"Tentu saja. Nanti akan ada technical meeting sebelum hari H. Lagipula kamu kan masih harus tampil di pernikahan Darius."
"Maksudku sebelum acara meeting dan pernikahan itu."
"Em... aku..."
"Ya sudah. Nanti aku akan meneleponmu. Sampai jumpa lagi, Milly."
Milly tidak berkata apa-apa lagi, ia berjalan menuju ke mobil Marshal.
"Kenapa lama sekali?" Marshal langsung menancapkan gas begitu Milly naik ke dalam mobil.
"Ada sedikit kendala."
"What is that?"
"Sepertinya Martin menyukaiku."
"Baguslah. Siapa itu Martin?"
Milly menatap kakaknya tidak percaya.
"Apanya yang bagus?" cecarnya. "Aku sedang membangun hubungan dengan Nicholas. Bagaimana bisa ada pria lain yang menyukaiku di saat yang bersamaan. Belum lagi nanti aku harus bertemu lagi dengannya. Ini agak canggung. Aku tidak suka mencampuri urusan pribadi dengan pekerjaan."
"Hei. Tenang saja, Mil," ucap Marshal sambil menepuk bahunya dengan sebelah tangan. "Kamu tidak perlu mencampuri urusan pribadi dengan pekerjaan. Jalani saja apa adanya. Tidak perlu terlalu menggubrisnya. Lagipula sepertinya kamu harus bertemu dengan Ika dan Helen. Mereka menunggumu di rumah. Kalian bisa saling bertukar pikiran."
"Ika dan Helen?" tanya Milly bingung.
"Ya. Mom mengajak mereka ke rumah untuk makan siang."
Seharusnya Helen menemani Darius dan Evina untuk bertemu JazzGuy. Helen sibuk mempersiapkan pameran pernikahan, lalu berlibur ke Singapura. Bagaimana bisa Helen tidak menghubunginya selama ini? Ah ia sendiri juga tidak ingat untuk menghubungi Helen.
Saat sudah tiba di rumah, Milly langsung menuju ke ruang keluarga. Helen dan Ika sedang seru mengobrol dengan ibunya.
"Millicent Sayang! Kamu sudah pulang." Ibunya segera menghampirinya lalu mencium pipinya. "Kamu sudah makan belum, Sweetheart?"
"Sudah, Mom."
"Milly!" Helen menghampirinya lalu memeluknya dengan erat. Milly tidak balas memeluknya.
"Kenapa kamu tidak mengabariku kalau kamu sudah di Batam?"
"Maaf. Aku bermaksud untuk memberimu kejutan. Kenapa? Kamu sepertinya tidak senang." Helen melepaskan pelukannya lalu mundur sedikit. Rambutnya dipotong pendek di bawah kuping. Berat badannya pasti naik lagi beberapa kilo.
"Helen, seharusnya kamu menemaniku tadi." Milly cemberut.
"Menemanimu ke mana? Kamu tidak bilang padaku." Helen tampak bingung.
"Ayo duduk dulu!" Ika menariknya ke sofa.
"Mommy akan menyiapkan cemilan dulu. Tunggu sebentar ya," kata ibunya Milly.
"Tidak usah repot-repot, Onty!" seru Ika saat ibu Milly berjalan menuju ke dapur.
"Sekarang ceritakan. Ada apa sebenarnya? Apa klien kita bermasalah?" tuntut Helen.
Milly menghela napas. "Bukan klien kita yang bermasalah, tapi vendornya."
Helen mengerutkan dahinya. "Memangnya tadi kamu bertemu dengan vendor yang mana?"
"JazzGuy," jawab Milly enteng.
"Aku tidak pernah mendengarnya sebelumnya." Helen menampakkan wajahnya yang kebingungan.