Chereads / Pelampiasan Cinta / Chapter 3 - Kehormatan Seharga 300 Juta

Chapter 3 - Kehormatan Seharga 300 Juta

"Saya nggak gila, Pak. Saya hanya menawarkan. Barang kali Pak Gery berminat dan tertarik dengan adik ipar saya. Nah, saya kasih lihat fotonya. Bapak pasti langsung tertarik." Raka meraih ponsel kesayangannya dari saku celana. Ia lalu memperlihatkan foto adik iparnya yang tidak lain adalah Windy.

Saat Gery melihat foto tersebut, ia sempat dibuat terkejut. Bukankah gadis ini adalah gadis penjual bunga yang tadi sore Gery jumpai? Mendadak ia jadi teringat dengan kata-kata Windy yang mendoakan agar rencana melamar Aira malam ini lancar.

'Semoga acara lamarannya berhasil, Mas. Jangan lupa ya, besok kalau nikah, pesan bunganya ke sini.'

Gery tersenyum kecut. Entah mengapa, ia mendadak tertarik dengan gadis itu. Gery berpikir, tidak ada salahnya kalau malam ini ia bersenang-senang dengan gadis tersebut.

"Apa yang menjadi alasan kamu sampai nekat ingin menjual adik iparmu? Sepertinya dia gadis baik-baik."

"Ya, Windy itu memang gadis baik-baik. Tapi entah kenapa saya merasa muak memiliki adik ipar seperti dia. Windy sama sekali nggak bisa diandalkan. Dia hanya bekerja sebagai penjaga toko bunga. Padahal selama ini saya sudah menanggung biaya pendidikannya. Saya memiliki utang dengan salah satu anggota gangster. Kalau saya nggak bayar dalam waktu dekat ini, otomatis saya sekeluarga pasti akan dicincang oleh mereka."

"Dan solusinya kamu sampai nekat ingin menjual adik ipar kamu? Aku nggak bisa bayangkan jika suatu saat dia tau kalau kamu pernah memiliki niat untuk menjualnya, pasti perasaan Windy akan sangat hancur."

Raka merasa sepertinya Gery tidak tertarik menerima tawaran gila darinya.

"Sepertinya Pak Gery memang nggak tertarik dengan tawaran saya. Padahal, saya sangat yakin kalau malam ini Pak Gery butuh hiburan. Saya nggak punya pilihan lain, Pak. Saya kepepet butuh uang dalam waktu dekat ini. Dan saya cuma punya Windy yang dapat saya manfaatkan. Hitung-hitung, Windy itu balas budi atas kebaikan saya selama ini." Raka kembali meneguk wine-nya untuk kesekian kalinya. Lelaki itu lantas berdiri. Raka merasa kapok menawarkan Windy pada atasannya yang terkesan sok jual mahal itu.

"Saya permisi, Pak Gery. Tampaknya, saya harus mencari pembeli lain yang jelas akan langsung tertarik dan nggak bertele-tele seperti Bapak."

Gery merasa asistennya ini mulai meremehkannya. Bukannya Gery tidak tertarik jika malam ini ia habiskan waktu untuk menikmati malam bersama gadis semanis Windy. Hanya saja, ia cukup heran dengan kenekatan yang dilakukan Raka.

"Kamu butuh uang berapa, Raka?" Ucapan Gery menghentikan niat Raka untuk pergi.

"Pak Gery menerima tawaran saya?"

"Entah. Aku hanya ingin melampiaskan amarah. Dan menurutku, Windy adalah solusinya."

Mendengar jawaban tersebut, Raka memutuskan untuk kembali duduk. Ia menatap lekat-lekat wajah serius atasannya itu.

"Saya butuh uang tiga ratus juta, Pak Gery. Kalau Bapak bisa membantu, malam ini juga, saya akan bawa Windy ke hadapan Bapak. Terserah Bapak mau apakan, saya nggak peduli." Mata hati Raka sudah dibutakan. Menurut Raka, Windy adalah seorang adik ipar sekaligus benalu baginya. Ia hanya peduli pada sang istri seorang.

"Aku beri kamu waktu sampai jam sepuluh malam nanti. Bawa dia ke hotel. Masalah uangnya nanti akan aku kasih kalau kamu berhasil membawa Windy."

"Baik, Pak Gery. Saya akan laksanakan tugas dari Bapak dengan baik." Raka pun pamit dengan penuh rasa semangat. Ia sudah tidak sabar ingin segera mendapatkan uang tiga ratus juta itu dari Gery.

Sementara Gery, ia kembali menuang wine-nya ke dalam gelas. Gery merasa sadar dengan apa yang sudah ia katakan. Ia merasa belum mabuk. Gery merasa cukup bosan menjadi laki-laki baik yang ujung-ujungnya dicampakkan oleh wanita. Untuk malam ini, biarkan Gery menikmati apa yang tidak bisa ia nikmati dari Aira.

***

Windy baru saja selesai menggembok pintu masuk toko bunga milik Diana. Niatnya, ia berniat akan langsung pulang karena hari sudah malam.

"Huh, habis ini pulang terus mandi, dan tidur deh. Udah nggak sabar pengen ketemu kasur."

Windy memasukkan kunci gembok tersebut ke dalam tasnya. Namun, Windy mulai merasa ada yang aneh. Ia melihat jelas ada bayangan seseorang di belakangnya. Windy berniat membalikkan badan, tetapi ia sudah lebih dulu dibekap mulutnya dengan sebuah sapu tangan oleh seseorang yang tidak bisa Windy kenali karena orang tersebut memakai penutup wajah.

Gadis itu masih sempat untuk berontak. Namun, pelan-pelan Windy mulai merasa pusing dan mual. Pandangannya pun mulai kabur, sampai akhirnya ia jatuh dalam pelukan si pembekap tersebut kemudian tak sadarkan diri.

Orang yang membekap Windy yang merupakan seorang pria, tampak tengak-tengok memerhatikan sekeliling. Situasinya cukup aman karena ia tidak mendapati ada orang-orang yang memergoki aksinya tadi. Pria tersebut langsung membopong Windy dan membawa gadis itu masuk ke mobil sedan yang terparkir tak jauh dari toko bunga.

Windy diletakkan di jok sebelah pengemudi. Pria itu kemudian membuka pintu mobil sebelah kanan lalu masuk dan duduk tepat di kursi pengemudi. Sang pria lalu membuka penutup wajahnya. Orang yang sudah menculik Windy tidak lain dan tidak bukan adalah Raka. Ia tersenyum penuh kemenangan ketika mendapati adik iparnya itu sudah benar-benar terbius dan tak bisa berontak apa-apa lagi.

Raka lalu memasang sabuk pengaman milik Windy. Ia masih sempat-sempatnya membelai rambut adik istrinya itu saat dirinya sudah mantap untuk menjual Windy pada atasannya.

"Adikku, Sayang, malam ini kamu harus balas budi sama Mas Raka. Mas Raka ini udah keluar duit banyak buat biayain kuliah kamu. Sekarang waktunya kamu bantuin Mas Raka dari kesulitan. Kamu nggak akan Mas sakiti, justru malam ini kamu akan bersenang-senang dengan atasan Mas, hahaha." Raka benar-benar sudah melupakan status Windy. Ia tidak peduli kalau gadis itu adalah orang yang paling berharga bagi istrinya. Yang Raka pedulikan saat ini hanyalah keselamatan dirinya dan juga sang istri dari amukan anggota gangster yang sebentar lagi jelas akan menyerang, kalau Raka tidak bisa membayar utang secepat mungkin.

Lelaki itu kemudian menstater mobilnya. Lantas roda empat itu mulai melaju. Raka membawa Windy ke sebuah hotel sesuai janjinya pada Gery tadi.

Tak butuh waktu lama, Raka akhirnya sampai di salah satu hotel berbintang lima. Ia lalu membopong Windy kembali dan mulai memasuki badan hotel tersebut, kemudian menuju meja resepsionis.

"Permisi, Mas. Saya mau pesan kamar yang masih di lantai dasar apakah masih ada?"

"Raka?" Seorang petugas resepsionis yang merupakan sahabat Raka itu sempat kaget kalau tamunya adalah sahabatnya sendiri.

"Eh, Bim."

"Adek lo kenapa?" Bimo langsung fokus pada kondisi Windy yang tengah tak sadarkan diri itu.

"Dah, nanti gue ceritain. Sekarang, cariin gue kamar dulu."

Bimo pun langsung menuruti perintah Raka. Kebetulan sekali kamar di lantai dasar masih ada beberapa yang kosong. Bimo langsung memanggil pegawai hotel untuk mengantarkan Raka menuju kamar nomor 49.

Sampai di kamar yang sudah Raka pesan, pria itu pun bergegas masuk dan segera membaringkan Windy di atas kasur besar nan empuk di sana.

Raka kemudian mencoba menghubungi Gery. Beberapa kali tersambung, tetapi tak kunjung diangkat oleh atasannya itu. Raka mulai merasa gelisah. Ia takut dibohongi saja oleh Gery. Pria itu lalu mondar-mandir dengan gelisah di depan ranjang.

"Ke mana dia? Kenapa belum datang juga?" Raka mulai kesal.

Pria itu berniat menghubungi Gery lagi. Namun, seketika ada panggilan masuk dari Gery. Raka pun segera mengangkat telepon dari atasannya tersebut.

"Halo, Pak Gery."

"Bagaimana, kamu berhasil?"

Raka tersenyum penuh arti. "Saya berhasil membawa Windy ke hotel. Pak Gery di mana?"

"Aku udah di lantai loby. Di mana kamarnya?"

"Akh, kamar nomor 49, Pak. Masih di lantai dasar."

"Ya, aku akan segera ke sana."

Panggilan telepon itu pun diputuskan oleh Gery. Raka menyimpan kembali ponselnya ke dalam saku, kemudian beralih menatap sang adik ipar yang jelas masih pingsan di sana.

"Bekerja dengan baik, Windy. Besok kakak belikan es krim kalau kerjamu bagus ya, hahaha."

Raka senang bukan main karena rencananya sebentar lagi berhasil. Ia lalu keluar dari kamar dan menunggu Gery datang.

Beberapa menit kemudian, Gery pun sampai di depan kamar nomor 49. Ia disambut hangat oleh Raka.

"Silakan masuk, Pak. Windy sudah menunggu Bapak di dalam. Semoga malam kalian menyenangkan."

Gery tak habis pikir kalau di dunia ini ada orang senekat Raka. Ia pun heran sendiri dengan dirinya yang mau-mau saja membantu masalahnya Raka.

"Ini." Gery menyerahkan sebuah kertas yang berisi cek yang baru saja ia ambil di saku jaket hoodie-nya.

Dengan sigap Raka menerima cek tersebut. Matanya lantas membulat. Uang tiga ratus juta nyatanya benar Gery berikan padanya.

"Terimakasih banyak, Pak Gery. Saya nggak akan lupa dengan kebaikan Bapak malam ini. Kalau begitu, saya permisi, selamat bersenang-senang, Pak Gery." Raka pun pamit dari hadapan atasannya sambil sesekali menciumi kertas cek tersebut karena saking bahagianya.

Setelah Raka berlalu, Gery bergerak memasuki kamar. Ia langsung menemui Windy yang masih tertidur dengan nyenyak di atas tempat tidur.

Pelan tapi pasti, Gery bergerak menaiki ranjang. Ia duduk tepat di samping Windy. Matanya mulai menjelajahi tubuh gadis itu dari atas sampai bawah. Gery akui, semakin ditatap, Windy nyatanya memang gadis yang manis. Pantas saja Raka berani menawarkan Windy padanya.

Lelaki itu memutuskan untuk merebahkan diri di samping Windy. Perlahan Gery mulai membelai salah satu pipi gadis itu.

"Kamu manis juga ternyata."

Awalnya hanya di pipi, lama-kelamaan Gery mulai berani menyentuh Windy lebih dalam lagi. Toh, malam ini ia hanya butuh pelampiasan. Persetan dengan bagaimana nasib Windy setelah ini. Gery pun tidak mengenal gadis itu sebelumnya. Dan menurut Gery, orang yang patut disalahkan di sini adalah Raka.

Gery tidak mau menyia-nyiakan uang tiga ratus juta yang sudah ia beri pada Raka untuk membayar Windy. Uang itu sangat berarti baginya. Dan malam ini, Windy memang harus menyenangkan dirinya.

******