Chereads / Pelampiasan Cinta / Chapter 4 - Kesucian yang Hilang

Chapter 4 - Kesucian yang Hilang

Gery keluar dari kamar mandi setelah selesai membersihkan diri. Langkahnya bergerak menuju ranjang, dan di atas ranjang itu ia mendapati ada seorang gadis cantik yang tengah terlelap dengan kondisi tubuh terbalut selimut tebal.

Saat menatap Windy, Gery tersenyum getir. Malam ini benar-benar berbeda dari malam-malam sebelumnya. Gery telah menodai Windy, merenggut paksa kehormatan yang selama ini telah Windy jaga dengan baik. Gery hanya merasa sakit hati. Selama ini, ia begitu mati-matian menjaga kehormatan Aira. Namun, Aira justru rela-rela saja tidur dengan pria lain tanpa memikirkan bagaimana perasaan Gery. Salahkah jika kini pria itu melampiaskan kemarahan serta kekecewaannya dengan cara meniduri Windy? Anggaplah Gery adalah pria yang kejam dan egois. Ia tidak bermaksud menghancurkan masa depan Windy. Hanya saja, Gery sudah terlanjur tergiur dengan tawaran Raka.

Gery lalu memakai jaket hoodie-nya kembali. Ia berniat meninggalkan Windy setelah ia puas menikmati malam yang indah bersama gadis itu. Gery mencoba agar tak peduli dengan kondisi Windy nanti saat terbangun bagaimana. Toh, menurut Gery, urusannya dengan Windy sudah selesai. Lagipula, ia tak meninggalkan jejak apa pun. Gery sangat yakin kalau Windy tidak akan tahu bahwa dirinyalah yang sudah memerkosa si gadis malang itu.

Gery sempatkan untuk mendekati Windy. Ia duduk di tepi ranjang, tangannya lagi-lagi bergerak menyentuh pipi halus gadis penjual bunga itu. Entah kenapa, ada perasaan aneh yang tiba-tiba menjalar pada sanubarinya. Perasaan menyesal, rasa bersalah, seketika datang menggerogoti hatinya.

'Oke, biar saya coba pilihkan untuk Mas. Eum, gimana kalau tulip putih? Ini bunga favorit saya, cantik banget.'

Gery tiba-tiba teringat dengan ucapan Windy sewaktu di toko bunga itu. Windy berperan sebagai seorang penjual bunga yang ramah dan murah senyum. Namun, jika suatu saat Windy tahu kalau orang yang ia perlakukan dengan ramah itu nyatanya tega merusak masa depannya, Gery tidak yakin kalau Windy masih sudi bersikap ramah seperti sebelumnya.

"Aku baru tau kenapa kamu suka tulip putih. Karena kalian berdua sama-sama cantik. Maafkan aku. Di masa depan, kamu berhak membenciku."

Gery beranjak bangun. Ia pun mulai bergerak melangkah. Namun, sesekali ia menoleh ke arah Windy. Dia tidak tahu kenapa perasaannya jadi aneh begini. Niatnya Gery hanya ingin bersenang-senang tanpa melibatkan perasaan atau pun rasa belas kasihan. Akan tetapi, setelah ia menyentuh Windy untuk terakhir kalinya tadi, perasaannya mulai dibuat kacau. Gery tidak yakin kalau ia akan dengan mudah untuk melupakan Windy setelah kejadian ini.

***

"Ini si Windy kok jam segini belum balik juga ya, Mas? Ini udah dini hari loh. Aku khawatir dia kenapa-kenapa." Ririn begitu mencemaskan adik kesayangannya itu karena sudah jam satu dini hari, tapi Windy belum juga ada di rumah.

Sementara Raka sedang bermalas-malasan di atas tempat tidur. Ia belum lama tertidur, tetapi terbangun karena sang istri tahu-tahu pulang dari lembur. Niatnya mau melanjutkan acara tidurnya lagi, tapi sama sekali tidak bisa karena Ririn mulai ribut memikirkan Windy yang tak kunjung pulang.

"Dah lah, Windy udah gede gitu, nggak perlu ribut gitu napa? Palingan nginep di tempat Diana." Raka terkesan cuek menanggapi adik iparnya itu yang belum pulang-pulang juga. Toh, Raka jelas sama sekali tidak khawatir karena ia sendirilah yang sudah membuat Windy belum pulang sampai selarut ini.

"Tapi kok tumben-tumbenan si Win nggak kasih kabar? Aku takut dia dijahatin orang, Mas." Ririn memilih duduk di pinggiran kasur dan mulai mengotak-atik ponselnya.

"Kamu mau apa?"

"Mau telepon Diana. Telepon Windy dari tadi nggak nyambung."

"Kamu mau gangguin orang tidur jam segini? Udah ah, mendingan kamu tidur aja. Besok pagi paling Windy udah balik. Nggak usah berlebihan gitu. Siapa juga yang mau jahatin Windy."

Ririn mencoba berpikir jernih dan menurut apa kata suaminya. Ia urungkan niat untuk menghubungi Diana, lalu meletakkan ponsel di atas nakas. Wanita berusia tiga puluh tahun itu pun merebahkan diri di samping sang suami dan mulai menarik selimut.

Tiba-tiba saja Raka memeluk istrinya dari samping. Lelaki itu merasa sangat rindu dengan wanitanya karena seharian ini mereka sama-sama sibuk dengan pekerjaan masing-masing.

"Weekend besok kita liburan yuk?" ajak Raka.

"Tumben banget kamu ngajak liburan? Biasanya selalu sayang sama duitnya."

"Aku dapat bonus dari atasan. Makanya aku langsung ngajak kamu berlibur."

"Atasan kamu baik banget. Dikasih bonus berapa memang?"

Raka tidak mungkin memberitahu kalau ia mendapatkan uang tiga ratus juta dari atasannya itu. Toh, sebenarnya uang itu pun juga bukan bonus. Melainkan bayaran karena Raka sudah menjual Windy. Sebenarnya Raka hanya memiliki utang seratus juta saja, sisa dua ratus juta itu tentunya akan ia gunakan untuk bersenang-senang dengan sang istri.

"Ada deh. Pokoknya aku ada uang buat nyenengin kamu."

"Liburan ke mana ya enaknya? Windy diajak kan?"

Raka sebenarnya paling malas jika membahas Windy. Namun, ia tiba-tiba jadi teringat dengan adik iparnya yang malang itu. Sedang apakah Windy di sana? Raka menduga kalau Windy masih belum sadar karena efek obat bius itu cukup lama.

"Ya terserah kamu, mau ajak Windy atau enggak."

"Besok aku tanyain Windy mau ikut kita atau enggak." Ririn terlihat begitu senang jika ia bisa mengajak sang adik berlibur juga. Hal ini benar-benar berbeda dengan Raka yang sangat membenci Windy bahkan sampai tega menjual adik iparnya itu.

***

Bangun tidur dengan kondisi pusing dan badan terasa sakit, itulah yang Windy rasakan saat ini. Ia baru saja sadar, tapi kepala terasa benar-benar pening. Gadis itu mulai mengedarkan pandangan sambil mengumpulkan kesadarannya. Windy mulai merasa aneh. Ia menatap langit-langit kamar dengan bingung.

"A-aku di mana?" Windy baru sadar kalau ia tidak berada di kamar tidurnya seperti biasa.

Windy lalu mendapati selimut putih dan tebal itu tengah membalut tubuhnya. Ia mulai merasa ada yang tidak beres. Windy membuka selimut itu sedikit, dirinya benar-benar syok karena ia tak memakai sehelai benang pun.

"Astaga ...."

Gadis itu bergegas bangun dengan perasaan kacau luar biasa. Ia tidak tahu apa yang terjadi padanya semalam. Yang Windy temukan hanyalah pakaiannya yang tercecer begitu saja di atas lantai.

"A-aw."

Saat mengerakkan badannya, Windy merasa tubuh bagian bawahnya terasa nyeri. Pun saat itu juga, Windy tak sengaja menemukan ada bercak darah di sprei putih yang ia tiduri. Darah apa ini? Apakah ada seseorang yang sudah melukainya?

"I-ini darah ...?" Windy tak sanggup melanjutkan kalimat pertanyaannya. Ia bangun dalam kondisi tanpa busana. Tidak berada di kamar tidurnya. Pun ada bercak darah di atas seprei-nya. Ditambah dengan rasa sakit di sekitar area kewanitaannya, Windy langsung menduga kalau dirinya telah menjadi korban perkosaan.

"Aaa ...!" Windy histeris. Dilanjutkan dengan menangis sambil mengacak-acak rambutnya frustrasi.

"Siapa pelakunya ...?! Siapa yang tega melakukan hal keji itu, siapa ...?!"

Windy sama sekali tidak tahu siapa orang yang tega merenggut kesuciannya. Ia benar-benar tak ingat dengan kejadian semalam. Windy mencoba mengingat kembali apa yang ia lakukan semalam sebelum ia tak tahu apa-apa seperti ini.

Windy mendadak ingat, semalam ia berniat pulang dari toko bunga. Namun, Windy mendapati ada bayangan seseorang di belakangnya. Setelah itu, Windy tak ingat apa-apa lagi. Windy menduga kalau seseorang itulah yang sudah menculiknya. Bahkan bisa jadi orang tersebut adalah orang yang sudah memerkosa dirinya.

"Siapa dia ...? Kenapa dia tega merusak aku? Siapa dia ...?" Windy merasa benar-benar gila dan depresi. Ia tidak tahu harus berbuat apa saat ini. Rasanya Windy ingin sekali menjebloskan kepalanya ke dinding saja karena dengan bodohnya ia tidak tahu menahu siapa pelakunya.

Cukup lama Windy terpuruk dalam tangisan sesal bercampur amarah. Namun, seketika Windy mulai menemukan kembali kesadarannya. Gadis itu bergegas menghapus air matanya. Ia tak mau berlarut-larut dalam kesedihan. Windy berniat mencari informasi tentang pelaku pemerkosa tersebut. Ia sangat berharap kalau orang-orang hotel tahu siapa pria yang sudah membawanya ke sini.

Gadis itu bergegas membersihkan diri lalu mengenakan pakaiannya kembali. Ia keluar dari kamar hotel dengan tergesa-gesa meski untuk berjalan pun ia masih merasa sakit.

Sampai di loby, Windy segera menghampiri meja resepsionis untuk menanyakan siapa orang yang sudah membawanya ke sini.

"Mba. Bisa tolong bantu saya?"

Penjaga resepsionis saat ini ternyata sudah bukan Bimo lagi, melainkan seorang pegawai wanita.

"Ya, Mba. Ada yang bisa saya bantu?"

"Saya ingin tau siapa orang yang sudah memesan kamar nomor 49."

Pegawai resepsionis wanita itu pun bersedia membantu Windy dengan mengecek data para tamu hotel di komputernya.

"Tamu yang memesan kamar nomor 49 itu atas nama Ibu Windyra, Mba."

Windy benar-benar tak percaya akan jawaban pegawai resepsionis itu. Bisa-bisanya namanya dipakai untuk daftar pemesan kamar, padahal Windy tidak tahu apa-apa.

"Itu nama saya, Mba. Saya tau-tau bangun tidur sudah ada di sini. Jadi jelas bukan saya yang memesan kamar."

"Tapi di sini tertulis jelas pemesan kamar itu atas nama Windyra, Mba. Semalam yang bertugas bukan saya. Saya sama sekali tidak tahu semalam Mba datang bersama siapa."

Hancur sudah semua harapan Windy untuk mengetahui siapa yang telah membawa dirinya sampai ke tempat ini. Namun, Windy tiba-tiba teringat dengan rekaman cctv. Ia sangat yakin kalau orang yang sudah membawanya ke sini pasti terekam di cctv hotel.

"Boleh saya lihat rekaman cctv di hotel ini, Mba? Pasti orang yang sudah bawa saya ke sini akan terekam di sana."

"Maaf, Mba. Kami tidak boleh sembarangan memberi tahu rekaman cctv pada tamu. Itu privasi hotel, Mba. Itu pun saya juga harus minta izin pada petugas keamanan hotel, Mba."

Windy lagi-lagi dibuat kecewa akan jawaban resepsionis itu.

"Saya mohon banget, Mba, tolong bantu saya. Semalam saya ...." Windy belum siap jika harus menceritakan musibah yang ia alami semalam pada resepsionis itu.

"Mohon maaf sekali lagi, Mba, kami tidak bisa membantu Mba kali ini."

Windy mencoba menerima penolakan tersebut. Ia pun bergerak meninggalkan meja resepsionis. Gadis itu melangkah menuju pintu keluar dengan memikul rasa kecewa yang terasa berat di pundaknya.

Windy tidak tahu ia memiliki salah apa pada orang yang sudah membuatnya hancur begini. Pun selama ini Windy tidak merasa memiliki musuh. Yang Windy baru tahu sekarang, ia merasa hidupnya sudah tak ada artinya lagi semenjak kehormatannya telah dirampas oleh orang yang sama sekali tidak ia tahu apalagi kenal.

Beberapa detik setelah Windy keluar meninggalkan hotel, datanglah Bimo menghampiri resepsionis wanita yang merupakan masih sahabatnya.

"Gimana? Kamu nggak ngomong yang aneh-aneh kan?"

"Aku nggak ngomong apa-apa. Dia minta lihat rekaman cctv juga nggak aku kasih. Memangnya ada apa sih? Yang semalam bawa dia ke sini memang siapa?" Resepsionis wanita itu juga penasaran dengan siapa Windy datang ke sini tadi malam. Tadinya dia hanya disuruh oleh Bimo agar tidak memberi informasi apa-apa pada Windy.

"Wes lah, nggak perlu tau kamu, ini urusan orang. Nih, bayaran buat kamu karena udah tutup mulut." Bimo menyerahkan amplop cokelat yang isinya tentu saja uang untuk resepsionis wanita itu.

Sebelumnya Bimo juga sudah disogok oleh Raka agar tidak buka suara ketika Windy bertanya apa pun soal kejadian semalam. Bimo pun sudah tahu dengan rencana Raka itu. Namun, Bimo mau terus terang pada Windy pun ia sudah terlanjur menerima uang suap dari Raka.

********