Gery tengah bercermin di kaca besar yang berada di kamarnya sambil mengancingkan kancing kemejanya satu per satu. Seperti biasa, pagi ini pria itu tengah mempersiapkan diri untuk berangkat ke kantor. Beginilah rutinitas Gery sehari-hari. Bekerja dan bekerja. Tak jarang ia lembur di kantor sampai larut malam. Mendapat jabatan sebagai seorang General Manager itu tidak mudah bagi Gery. Ia mengawali semuanya dari nol. Semenjak sang ayah meninggal lima tahun lalu, semenjak itu pula Gery memikul beban berat untuk membahagiakan ibu dan kedua adiknya.
Beberapa bulan yang lalu Gery memutuskan pindah ke rumah bertingkat dua yang sengaja ia beli untuk rumah masa depannya. Niatnya, di rumah itu nantinya Gery akan tinggali bersama Aira. Namun, semua itu nyatanya kini hanya tinggal rencana saja. Sudah tak ada harapan lagi kalau suatu saat Aira akan menjadi nyonya di rumah ini. Segala kenangan bersama Aira sekuat hati Gery kubur dalam-dalam. Dan anehnya, detik ini ia malah terbayang-bayang dengan Windy. Bagaimanakah kondisi gadis itu sekarang? Sejak semalam Gery tak henti memikirkan Windy.
"Sekarang pasti dia sedang menangis." Gery menduga saat ini Windy tengah menangisi nasib buruknya yang baru saja menyapa.
Gery tidak tahu antara harus sedih atau bahagia. Di sini lain, ia merasa senang-senang saja karena semalam hasratnya sudah tersalurkan. Namun, Gery tak mau munafik kalau sebenarnya ia merasa bersalah karena sudah merusak Windy.
"Mas Gery." Lia yang merupakan asisten rumah tangga Gery baru saja mengetuk pintu kamar majikannya.
"Iya, Mba?"
"Di depan ada Ibu, Mas."
"Owh iya. Aku akan segera turun," sanggup Gery. Lelaki itu memilih untuk memakai dasi terlebih dahulu sebelum memutuskan untuk turun menemui sang ibu. Ibunda Gery memang setiap hari selalu datang mengunjungi dirinya hanya sekadar mengantarkan sarapan.
Selesai memakai dasi, Gery bergerak keluar kamar kemudian menuruni anak tangga menuju lantai dasar. Ia menuju ruang makan karena seperti biasa sang ibu telah menunggunya di meja makan. Namun, saat sampai di ruang makan, yang Gery dapati tak hanya ibunya saja. Aira juga rupanya telah ada di sini.
"Hai, Sayang. Sarapan dulu, yuk," ajak Aira.
Mood Gery makin buruk saja karena kedatangan mantan kekasihnya itu. Gery memilih bergabung. Ia lalu menghampiri sang ibu kemudian mencium punggung tangan wanita paruh baya itu.
"Pagi, Cah Bagus. Sarapan dulu, yuk. Ini Aira tadi datang menemui ibu di rumah pagi-pagi sekali. Dia sudah membuatkan egg muffin buat kamu loh. Egg muffin buatan calon mantu ibu, enak banget." Gayatri tampak begitu menikmati egg muffin yang sudah Aira buat dengan sepenuh hati itu. Sementara Gery sama sekali tak ada nafsu untuk menyantap menu sarapan yang sudah dibuat oleh Aira.
"Mba Lia," panggil Gery pada asisten rumah tangganya.
"Ya, Mas?" Lia yang sedang mencuci piring pun segera menghampiri majikannya.
"Tolong buatin aku roti sandwich keju ya. Nanti aku mau sarapan di kantor aja."
"Oh, o-oke, Mas." Lia melaksanakan perintah dari majikannya dengan sigap. Meskipun ia merasa aneh, sudah ada egg muffin buatan Aira, tapi Gery masih minta dibuatkan sarapan roti sandwich olehnya. Lia menduga kalau pasangan muda itu tengah berantem.
"Loh, Ger, ini Aira sudah bawakan kamu sarapan kok kamu pakai minta dibuatin roti sandwich sama Lia? Bukannya kamu suka banget sama egg muffin ya?" Gayatri merasa heran saja dengan sikap tak biasa putranya.
Gery memilih menatap Aira yang detik ini tengah cemberut. Aira jelas sebal karena Gery tak mau makan egg muffin buatannya.
"Gery cuma nggak mau makan makanan yang dibuat oleh perempuan ini. Mulai sekarang, berhenti menyebut dia sebagai calon menantu Ibu lagi. Kami nggak akan pernah menikah, Bu."
"Gery ...." Aira merengek manja. Gadis itu nyaris dibuat menangis karena kata-kata Gery yang terdengar sangat menyakitkan.
"Loh, kok kamu ngomongnya ngelantur begitu? Kalian lagi ada masalah opo to? Mbok yo, kalau lagi ada masalah, dibicarakan baik-baik, selesaikan pakai kepala dingin. Jangan malah berantem tak jelas begini."
"Kami nggak lagi berantem, Bu. Kami memang udah nggak ada hubungan apa-apa lagi," jelas Gery. Ia lalu beranjak meninggalkan ruang makan kemudian bergegas menaiki tangga guna menuju ke kamarnya kembali.
"Gery, tunggu ...." Aira berlari kecil mengejar Gery. Ketika sampai di kamar tidur pria itu, ia langsung memeluk Gery dari belakang kemudian menangis manja.
"Gery, kamu kenapa sih ngomongnya begitu banget? Aku tau aku salah, tapi jangan langsung bilang begitu sama Ibu. Nanti Ibu akan sedih kalau kita beneran nggak jadi nikah."
Pria dengan kemeja cokelat susu itu segera melepas pelukan Aira. Ia berbalik badan, kemudian menatap Aira dengan datar.
"Ibu akan jauh lebih sedih kalau aku tetap memaksakan nikah sama perempuan yang udah sering tidur dengan pria lain."
Aira mendadak menghentikan tangisannya. Jujur saja, ia cukup malu dan tersinggung ketika Gery lagi-lagi membahas terlebih mengungkit tentang hal itu. Aira sadar dan mengakui dirinya memang salah. Namun, ia melakukan semua atas dasar kesal dengan sikap Gery. Pria itu sering kali mengabaikan dirinya. Aira sering merasa kesepian dan terabaikan. Kebetulan sekali di kantor ada Rio yang merupakan atasan sekaligus teman dekatnya. Semakin hari keduanya semakin dekat. Baik Aira maupun Rio sama-sama saling jatuh cinta dan menjalani hubungan asmara terlarang, meski keduanya sudah sama-sama memiliki pasangan.
"Apa aku udah nggak ada kesempatan untuk memperbaiki kesalahan aku?" Aira senantiasa berharap bahwa Gery masih sudi membuka hati untuknya.
Gery memilih mendiamkan Aira. Ia bingung harus menjawab apa. Bukannya tak mau memberi kesempatan, tapi Gery masih belum sanggup menerima Aira kembali.
Pria itu memilih bungkam dan kembali sibuk mempersiapkan dirinya. Gery baru saja menyemprotkan parfum ke bajunya. Terlihat dari cermin besar bahwa Aira masih senantiasa berdiri di belakangnya.
"Jawab, Ger. Aku nggak mau kita gagal nikah tahun ini."
Ingin sekali Gery menertawakan rengekan mantan kekasihnya itu. Andai saja Aira tak membuat masalah besar, mungkin Gery juga tidak akan apalagi mau membatalkan rencana pernikahan mereka tahun ini.
"Aku nggak ada minat untuk menikah tahun ini. Lagian, tabunganku udah aku sumbangin ke panti asuhan semalam." Tabungan yang dimaksud adalah uang tiga ratus juta yang semalam Gery serahkan pada Raka untuk membayar Windy. Uang itu adalah tabungan untuk biaya pernikahannya nanti dengan Aira.
"Masa sih langsung disumbangin gitu aja? Kamu lagi patah hati, terus tau-tau nyumbang sebanyak itu ke panti asuhan?" Aira sama sekali tidak percaya kalau memang benar Gery sampai menyumbang sebanyak itu. Ia justru tiba-tiba saja mulai berpikiran yang tidak-tidak.
"Jangan bilang kalau uangnya kamu pakai buat nyewa pelacur semalam ya?! Kamu nggak melakukan hal-hal gila kan, Ger?"
Hati Gery seketika terasa sakit saat mendengar Aira menyebut Windy sebagai pelacur. Memang semalam ia menghabiskan uang tabungannya untuk berkencan dengan Windy. Namun, Gery sama sekali tak terima gadis itu disebut pelacur.
"Yang pelacur itu kamu," balas Gery dingin. Ia lalu meraih tas kerjanya dan bergerak meninggalkan Aira seorang diri di kamar.
Gadis yang bekerja sebagai sekretaris redaksi di sebuah kantor majalah itu nyaris jantungan saat Gery menutup pintu kamar dengan kerasnya. Aira menduga bahwa Gery benar-benar murka padanya. Pun ia tidak menyangka lelaki yang sudah ia pacari selama dua tahun itu tega mengatainya sebagai seorang pelacur. Selama ini, Aira hanya merasa kesepian dan bosan menghadapi Gery yang gila kerja. Maka ia memilih menjalin hubungan dengan Rio yang selalu ada untuknya. Namun, bicara soal hati, Aira jelas masih sangat menyayangi Gery. Dan baru kali ini Aira benar-benar menyesal karena telah menyakiti Gery.
*********