Chereads / Tiba-tiba ke Dunia Lain (Indonesia) / Chapter 9 - Chapter 07 - Kemunculan Makhluk Mitologi.

Chapter 9 - Chapter 07 - Kemunculan Makhluk Mitologi.

Jilid 1 ¦ Chapter 07 - Kemunculan Makhluk Mitologi.

"Klein, kembali!"

Itu terjadi dalam sekejap: Dari belakangnya, batu merah raksasa mengejutkan Klein-san, tetapi Elizabeth menjentikkan jarinya tertuju pada batu itu. Lalu, lebih cepat 0,2 detik muncul akar es dari bawah tanah, menyebar membungkus batu merah itu dengan es. Penyangga esnya menahan batu itu tepat di atas kepala Klein-san.

Udara, rerumputan, tanah, semua yang ada di dalam visinya diselimuti oleh kabut putih. Seolah-olah itu telah jatuh dalam kesurupan. Dalam sekejap, dunia yang mereka lihat terbungkus oleh es biru yang dingin dan berkilauan.

"... A—" mulutnya tak bisa bicara, ketika melihat kekuatan Astral yang sebenarnya.

Klein-san menengok ke atas. Matanya terbelalak ketika melihat benda padat raksasa ada tepat di atas kepalanya. Jaraknya begitu dekat sekitar 20 cm untuk sampai padanya. Namun, sekejap batu raksasa itu membeku di bungkus oleh akar es, dan berhenti di atasnya sebelum menghantam seluruh tubuhnya.

Area di sekitarnya menjadi biru dan hembusan es dan salju mengenai dia, anggota tubuhnya mulai menggigil tak terkendali.

Ketak— suara itu terdengar berasal dari akar es yang menjadi penyangga batu raksasa itu mulai retak. Sepertinya, akar es itu tidak dapat menahan lebih lama berat beban dari batu raksasa. Tidak hanya itu, terlihat seperti batu yang baru saja di panggang. Ketika itu menyentuh esnya, menimbulkan adanya asap berwarna putih yang menyebar di udara. Sehingga itu menjadikan area sekitarnya diselimuti oleh kabut tebal, dan salju es yang berkilauan.

Setelah selesai, aku langsung berlari tidak terlihat menuju Klein-san. Pada saat aku berlari, jubahku berkibas ke atas dan turun ketika aku berhenti di depan Klein-san, tubuhnya tidak bergerak, seakan membeku padahal serangan itu tidak mengenai dirinya.

"Klein-san, berdirilah. Akar es ini tidak akan bertahan lebih lama. Kau harus meninggalkan area ini."

Aku berlutut dan membantunya untuk berdiri, dengan cara menopangkan bahu tangannya merangkul leherku. 

"... Terima kasih," aku mendengar suara itu membisik di telinga, pada saat aku menopangnya.

Kemudian aku membantu mengangkat tubuhnya yang tinggi, dan membungkuk berjalan menjauhi keluar melalui akar dinding es, penyangga batu raksasa itu. 

"Klein!?" Teriak Zain-san.

Setelah keluar dari jurang kematian, Klein-san langsung terduduk dan menghela napasnya yang tidak beraturan. Ketika itu dia berusaha untuk mengatakan sesuatu.

"Aku ... hampir saja mati." 

"Syukurlah, kau tidak apa-apa." 

"Ini ... batu besar apa," gumamku, dan napas yang kukeluarkan berubah menjadi es putih berkilauan. 

Aku mengamati batu merah raksasa, udara, tanah, rerumputan, dan semak-semak di sekitar, semuanya tertutup oleh es. Itu seperti kedatangan zaman es lainnya. Semua ini terjadi selama beberapa detik, aku mulai bergumam lagi, "... pasti aku akan menjadi tidak berdaya, jika disegel dalam balok es itu."

"... A—apa baru saja musim dingin telah datang?" 

Ketika Klein-san melihat pemandangan es biru yang berkilau itu, dia menanyakannya seakan tidak tahu tentang apa yang terjadi. 

"Kau harus berterima kasih pada gadis itu, karena dialah yang telah menyelamatkan nyawamu." Zain-san menepis pembicaraannya, pada saat yang bersamaan Klein-san mendekati Elizabeth.

Suara mereka tumpang tindih ketika berbicara pada saat yang sama.

"Apa ini berkat sihirmu? Aku sangat tertolong dan sangat berterima kasih," katanya sambil menunduk kepalanya kebawah.

"Angkat kepalamu, Klein-san. Kau tidak perlu melakukannya seperti itu."

Kemudian secara perlahan Klein-san mengangkat kepalanya kembali dan menatap ke arah Sumire.

"Sumire, kamu tidak perlu khawatir. Semuanya pasti akan baik-baik saja."

Terlepas dari kejadian itu, sepertinya hal tersebut membuat pukulan keras bagi Sumire yang menyaksikannya. Dia hampir tidak berdaya ketika Klein-san sedang di ujung akhir hayatnya. Akan tetapi, beruntung refleks yang Elizabeth langsung menahan batu raksasa itu dalam sekejap dengan Astral Esnya.

"A—a-aku ... m-me-mengira Klein sudah mati," katanya terisak-isak, ketika Sumire melihat ke arah Klein-san.

"Terima kasih, sudah mengkhawatirkan aku," ucapnya lembut dan tersenyum, sambil meletakkan tangannya di atas baret putihnya.

Aku berjalan mendekati mereka, keluar dari area berkabut dan menepis dinding asap.

Pada saat ini posisi mereka sangat jauh dari tempat kejatuhan batu raksasa mengejutkan tadi, mereka terlihat sedang berkumpul membentuk sebuah rembukan.

"Bagaimana dengan pedatinya, Zain-san?"

"Lupakan saja pedatinya. Terpenting bahwa kita baru saja selamat dua kali," katanya terhenti sejenak dan mengarah hadapannya pada Elizabeth. "Terlebih … kekuatan sihir jenis apa itu? Aku pertama kalinya melihat itu."

Elizabeth meresponnya.

"Itu hanyalah sebagian kecil sihir Astral yang kukeluarkan."

"Sihir ... Astral?" Baru saja memiringkan kepalanya, ekspresi Zain-san menunjukkan wajah yang bertanya-tanya.

"Singkatnya, sihir yang memanfaatkan elemen alam."

"Aku baru saja mendengar ini, ternyata begitu rupanya." Kepalanya yang termiring tadi kembali normal.

Hingga sekarang, kami telah di serang sebanyak dua kali tapi kami berhasil selamat tanpa ada yang terluka. Karena semuanya memiliki refleksi yang cukup bagus untuk merespon serang yang mendadak. Berkat sihir Astral Es, Elizabeth telah menyelamatkan Klein-san yang nyawanya sudah di ujung tanduk. Itu membuat kekhawatiran kami hilang seketika, ketika serang berikutnya tidak terjadi untuk ketiga kalinya.

Kami berjalan berhati-hati melewati pinggir hutan dikelilingi oleh semak-semak. Tidak ada kemungkinan untuk di serang mendadak seperti sebelumnya. Tapi gema dari bawah tanah justru membuat kami khawatir. Di hutan Mitologi ini, tidak terdapat sumber cahaya yang masuk, tapi lingkungan di sekelilingnya mengeluarkan cahaya redup misterius, jadi kami bisa melihatnya dengan baik.

"Itu roh spirit, mereka mengatakan bahwa akan terjadi sesuatu yang buruk, yang akan menimpa kalian." Sumire mengatakan itu.

Ketika mendengar itu, kami dengan hati-hati sangat memperhatikan tanah yang semakin menggema dan bergemuruh.

Di ujung mata, kabut tebal berwarna coklat kemerahan menanti kedatangan kami. Ini bukan sesuatu yang biasa, kau bisa merasakan aura yang aneh keluar.

"Apa yang di katakan Sumire itu benar, ada yang sesuatu di depan sana yang menanti kedatangan—" seketika suara Zain-san lenyap, tergantikan oleh suara lain yang mendesir.

Mungkin posisi kami sekarang adalah di tengah hutan. Pohon berwarna ke abu-abu dengan batang ranting tanpa daun, pohon ini memiliki tinggi yang sangat tinggi seratus kaki ke atas. Namun.

Ssssshhhhh… NGAKKK, NGAAKK! angin bertiup kencang secara berlawanan, burung-burung hitam misterius di hutan keluar dari sangkarnya, dan terbang melintas tanpa tujuan.

Namun, jika kami tidak segera kembali dan keluar dari hutan ini, kami akan menghadapi musuh pada waktu dekat. Demi kehidupan mereka yang telah mereka tempuh sejauh ini, pastilah menjadi suatu kegagalan yang tak bisa di maafkan... tapi tentu saja, kerasnya situasi tersebut bukanlah hambatan besar.

Ketika kami melalui saat-saat kritis dengan pikiran kelam, suara gema yang muncul dari tanah itu seketika berubah menjadi getaran bumi yang mengguncang pergerakan kami.

Rrrrggghhhhhhhh... suara mengeram itu muncul berasal dari depan, di dalam kabut tebal langkah kami pun terhenti.

Di situasi yang semakin bergema menggetar dibawah, aku mengatakan sesuatu yang kedengaran serius pada mereka.

"... Sebaiknya, kalian kembalilah dan keluar dari hutan ini. Tidak untuk di selamatkan, tetapi untuk melarikan diri dari dunia ini dengan kekuatan kalian. Aku dan Elizabeth akan menahannya, sementara kalian menjauhi hutan ini. Sebagai seorang pemuda yang telah banyak di bantu oleh petualangan, kali ini sekarang tugas kami untuk menjadi penyelamat yang mengakhiri insiden ini. Tanpa menempuh jalan itu, aku kemungkinan besar tidak akan mampu menahan kehadirannya bersama orang-orang di sekitarku tak lama lagi."

"Ah, well... jika seperti itu, sepertinya usahamu sungguh sia-sia, atau lebih tepatnya... jika kamu mengalahkan satu ekor mahkluk mitologi, kamu bisa mendapatkan tiga pulang koin dan gelar dari pemimpin ilahi."

"... Ah, oh gitu." Aku pikir itu sangat sesuatu.

Pada saat aku berkata seperti itu, Sumire memandangku penuh tanya kali ini. Dia tidak menyalahkan aku karena tidak benar dalam pemikiran yang rasional, tetapi ia berbalik menuju aku dengan ekspresi yang menunjukan betapa tak jelasnya apa yang ku katakan.

"Kamu serius berkata seperti itu. Jika kami pergi dan meninggalkan kalian melawan makhluk itu… kamu mungkin akan benar-benar mati,kan—" suaranya lenyap. 

Datang suara gemuruh, dan langkah jejak kaki yang begitu suram menggetar dan menggema dari bawah. Kami semua tidak bisa melihat pemandangan sekitar karena tertutup oleh kabut coklat kemerahan yang tinggi.

Krak, krak, krak suara itu terdengar seperti ada seseorang yang sedang berjalan menginjakan kaki di kayu atau ranting. BUK— tiba-tiba, sebuah kaki berotot dan sangat besar berbulu berinjak di hadapan depan mata kami. Itu sangat besar, dan panjang. Sesaat kemudian, kabut coklat kemerahan itu di sapu oleh sebuah pedang raksasa di tangan yang bergerak melayang di atas.

Ketika melihatnya, Sumire ketakutan dan mundur kebelakang yang sangat jauh.

Sekarang—

KRAAAAHHHHHHHHH! 

Suara itu mengaung begitu keras terdengar menggema ke seluruh hutan Nelka. Bumi yang ada di bawahnya bergetar, dan retak ketika dia menghentakan kakinya ke tanah.

Spontan kami terdiam dan kian membeku melihat makhluk itu dari ujung kaki sampai ujung kepalanya yang sangat tinggi seratus kaki.

 [https://pin.it/6MAwXJh]

Zain-san tergemap, tapi di berhasil mengatakan sesuatu.

"Yang, benar... saja."

Aku melihat jelas makhluk besar itu.

Tubuh yang besar itu di dilapisi dengan otot-otot dan urat yang menonjol keluar. Kulitnya berwarna kuning gelap, tangannya yang sangat besar juga banyak, dan kepala tak terhitung di atas dadanya yang besar itu bukanlah kepala manusia, tapi kepala monster!

Ada dua pedang raksasa di tangannya yang besar, sepertinya itu adalah kedua tangan aslinya. Matanya mengeluarkan asap putih yang terlihat terbakar oleh api merah terang. Mulutnya mendengus setiap detiknya. Tubuh bagian bawahnya dilapisi oleh kain coklat menutupi area kemaluannya. Kupikir, memang ada monster yang merasa malu? Ironis. Simpelnya, monster itu lebih menyeramkan daripada monster lainnya. Dilihat dari manapun, ini bukan jenis monster biasa.

Mereka menyebutnya makhluk Mitologi.

"Oh … jadi, inikah makhluk mitologi itu, Hecatoncheiris," kataku terjeda, ketika itu aku mengamati tubuh besarnya sekali lagi. "Begitu banyak lengan dan kepala... dan terlebih dia jelek."

"Akhirnya dia muncul. Ayo bunuh dia." Elizabeth mengatakannya tanpa berpikir panjang.

Aura aneh itu ternyata benar-benar sungguhan.

Berlanjut...

Note; selalu berikan dukungan pada Authornya, dengan cara memberikan «vote» kalian. Agar si Author lebih bersemangat dalam melanjutkan ceritanya!