Kalau Audy lemah, ia sudah menangis sambil memungut kotak coklat trufflenya. Tapi Audy tidak selemah itu, bullying dan tentang perisak sudah pernah Audy riset melalui google atapun film. Memang saat Audy pulang dari apartemen Dirga dua minggu lalu, Audy menyempatkan diri untuk riset pengetahuan bagaimana cara menghadapi perisak di sekolah.
Ada banyak macam cara, yaitu melaporkan si perisak ke pihak berwajib seperti guru, kepala sekolah, atau satpam. Namun, pada opsi itu Audy jelas tidak bisa berkutik. Orang tua Bianca sangat berpengaruh sebagai donatur tertinggi di sekolah ini. Dan tentu saja sebejat-bejatnya Bianca membuat ulah, ia akan tetap aman dengan riwayat kenakalan yang ditutup-tutupi oleh para guru yang bersangkutan di kursi panas.
Sekarang Audy hanya bisa cemberut, ia mengantongi gunting kecil di dalam saku seragamnya. Diguntingnya selotip tebal yang menutupi bagian tutup kotak coklat truffle tersebut. Hingga akhirnya Audy membuka isinya. Terlihat dengan jelas coklat truffle yang jumlahnya 15 itu porak-poranda di dalam sana. Setiap coklat keluar dari tempat kotaknya. Hancur, ada yang topingnya remuk dan lepas. Banyak coklat truffle yang jadinya retak.
"Yaaahhh.. ancur semua deh.. gimana dong. Mana ini gue nyimpennya udah dengan sebaik-baiknya. Dasar Bianca!!!" Gerutu Audy.
Gadis itu jadi berbalik arah. Tidak jadi menuju ke perpustakaan. Kedua langkah kakinya memilih kembali menyusuri jalanan pinggir lapangan olahraga. Audy melewati banyak jendela gedung ruang guru yang terbuka. Nampak para guru di dalam ruangan juga sedang bersantai ria. Ada yang saling bersantap makanan. Ada yang saling ghibah dengan membuka jarum jilbabnya. Ada yang sedang touch up dandanan.
Audy rasanya berdecak heran. "Enak banget ntuh para guru. Gak tahu kondisi para murid yang lagi ngalamin pembullyan. Secara nggak langsung, mereka sama aja menyiksa murid mereka sendiri kalau menutupi kejelekan Bianca." Ujarnya dengan kondisi hati yang sangat sebal. "Ya tapi makasih deh udah berbagi ilmunya. Gini-gini gue juga pinter." Sambungnya dengan menyibakkan rambutnya yang tergerai.
Langkah kaki Audy kini hendak berbelok ke kiri. Di mana lorong kelas 10 IPA berada. Namun bola basket menggelinding di depannya. Karena sebelah kiri jalanan itu tempat gedung basket indoor yang pintu gerbangnya terbuka lebar.
Audy herhenti. Menatap dengan polos bola basket yang masih terpantul-pantul di depannya. Dan sosok yang ia cari-cari dengan santainya muncul dan keluar dari gedung basket indoor. Itu Dirga.
Cowok itu tampak keren dengan keringat yang membasahi tubuhnya. Mengenakan kaos basket yang tampak agak basah karena keringat. Langkah kaki Dirga juga mendadak berhenti. Menatap Audy yang keheranan menatapnya.
Dirga mengernyit, bertanya-tanya mengapa Audy masih terdiam dan mendekap sesuatu dengan menatapnya terus. "Lo ngapain di sini?" Tanya Dirga.
"A-anu kak g-gue----"
"Lo kok habis dari arah utara? Bagian sana kan bagian anak IPS. Abis ngapain lo?"
Ditanya begitu rasanya Audy seperti maling yang tertangkap basah. Kemudian mengarahkan kotak yang dipegangnya itu ke belakang punggung. Menyembunyikannya dari Dirga. "Ya.. ya emangnya gak boleh? Emangnya sekolah ini harus dibagi setengah-setengah gitu antara anak IPA dan IPS?? Di sana kan ada perpus. Orang kalau nuju ke sana kan gak harus ke kelas IPS. Nuju perpus kan juga bol----"
"Bawel lu. Banyak alasan. Lo nyariin gue ya? Ada apa emangnya?" Tanya Dirga yang tepat sasaran. Seolah memang memahami bahasa tubuh Audy yang memang seperti mencari dirinya.
Audy menggeleng dengan cepat. "Gak.. gak kok.." ujarnya namun tidak berani menatap Dirga.
Dirga celingukan berusaha menengok apa yang Audy sembunyikan di balik badannya. Sebuah kotak yang sempat Dirga lihat dengan jelas kalau Audy mendekapnya tadi. "Itu apaan?" Tanyanya ingin tahu.
"Apaan sih.. ngapain coba ngintipin?"
"Ya itu lo jelas banget gelagatnya ngumpetin barang dari gue. Itu mau dikasih ke gue atau gimana?" Tanya Dirga yang kini sudah memegang bola basketnya.
Audy menggaruk bagian kepalanya yang tak gatal. Tak sengaja kedua matanya menangkap sosok Alan yang celingukan di dalam gadung basket indoor. Alan memakai baju basket yang sama seperti Dirga. Namun dengan nomor punggung yang berbeda.
"Al-Alan?" Tanya Audy dengan panik ketika Alan hendak keluar dari gedung basket indoor. Seperti sedang mencari keberadaan bola yang menggelinding tadi.
Dirga tidak paham mengapa Audy begitu terbata ketika ia melirik Alan yang hendak keluar dari gedung indoor. Namun, Audy langung memukul bola basket yang Dirga pegang sehingga terjatuh dan terpantul entah ke mana.
Dengan cepat Audy menggenggam pergelangan tangan Dirga dan ia ajak berlari menuju ke belakang gedung basket. Di mana situasinya di situ sangat sepi.
Napas Audy terengah dan ia memegangi lutut kirinya dengan tangan kiri. Berusaha mengatur napasnya yang tersengal karena berlari dan kaget juga.
Tanpa ragu dan tanpa permisi Dirga langsung meraih kotak yang dipegang Audy dengan tangan kanan. "Apaan nih?"
Audy hendak meraih, namun kotak tersebut ditinggikan oleh Dirga. Membuat Audy jadi tidak bisa meraihnya sama sekali, meskipun sudah lompat-lompat seperti monyet yang ingin meraih pisang.
"Ngaku gak ini apaan?" Tanya Dirga menyudutkan.
Audy memilih mengalah saja dan mencemberutkan bibirnya. Gadis itu langsung terduduk begitu saja dengan kaki yang diluruskan. Bersandar pada tembok putih belakang gedung basket indoor. "Iya. Itu buat lo kak." Ujarnya mengaku.
Dirga akhirnya juga ikut duduk dengan bersandar pada tembok. Tidak mempedulikan lagi tim basketnya yang sedang kebingungan mencari keberadaannya. "Apa ini?" Tanyanya lagi.
"Apa apa mulu! Ya buka aja. Udah di tangan lo juga." Sungut Audy.
Dirga lantas membuka isi kotak tersebut. Langsung terpampang dengan jelas coklat truffle yang berjumlah 15 dengan bentuk lingkaran dan segi empat. Toppingnya bermacam-macam. Ada keju, coklat choco, kacang biasa, kacang almond, taburan messes, marsmellow, dan permen yupi. Tapi, semuanya keluar dari tatakan tempatnya. Berantakan dan banyak yang toppingnya berceceran bahkan coklatnya jadi retak.
Dibalik tutup kotak itu ada tulisan yang memang sengaja ditulis Audy untuk bisa dibaca Dirga. Tulisannya begini : 'Makasih kak lo udah nolongin gue. Kompres luka lebam di kaki gue. Dan tanpa bertanya lebih lanjut alasan gue kayak gitu kenapa. Makasih aja. Dihabisin ya coklatnya.' -Audy-.
"Hm, enak kok." Ucap Dirga yang ternyata sudah memasukkan satu coklat truffle ke dalam mulutnya.
Audy terkejut. Bahkan Dirga tidak bertanya kenapa bisa seberantakan itu. "T-tapi itu kan udah gak bagus bentuknya." Ujarnya yang merasa tidak enak.
"Lagian nyampe perut juga udah hancur karena dikunyah sama gigi. Bentuk makanan gak seberarti itu buat gue. Yang penting rasanya."
Entah mengapa kedua pipi Audy jadi memanas. Rasanya sudah mirip seperti seorang istri yang sedang memasakkan bakwan untuk suaminya. Dan bentuk bakwan itu tidak bagus, namun suaminya tetap memuji karena rasanya yang enak. Nah kan, bayangan Audy sudah liar.
***