Tempat itu terlihat seperti kegelapan murni. Sejauh mata memandang, segalanya tampak suram dan kosong. Namun, anehnya kaki ini masih berpijak di bumi atau semacamnya. Kurasakan sesuatu masih menarikku ke bawah hingga tubuh dapat melangkah walau hanya sekejap. Detik itu masih kuanggap diriku hanya seorang saja, sampai suatu ketika telinga menangkap bisikan halus dari udara. Suara itu terdengar sangat pelan, aku hampir mengira itu hanya ilusi akibat dari reaksi kimia di otak. Tapi, tak lama kemudian segalanya menjadi sedikit tercerahkan.
Agak jauh dari tempatku berdiri, sebuah sorot cahaya kemerahan mengenai dua sosok berjubah hitam. Mereka duduk bersilah saling berhadapan satu sama lain, terpisahkan sebuah buku bersampul kulit biri-biri. Jari-jari itu, aku belum pernah melihat simpul jari serumit itu. Kebanyakan okultis bersemedi di tempat yang menyatu dengan alam, lain halnya dengan para inisiat atau pengikut sekolah rahasia. Namun, kulihat tak satupun dari mereka memiliki tanda-tanda semacam itu. Perasaan haus akan kebenaran membawa langkahku untuk mendekati mereka.
Lalu, sebuah sigil menghalangi niatanku. Rasanya seperti sebuah dinding pembatas yang menghalangimu mendekati kedua sosok ini. Baiklah, kurasa diri ini hanya bisa melangkah sampai di sini. Pandanganku langsung teralihkan oleh sigil cantik nan elok yang memukau mata siapapun yang melihatnya. Tepat di depan tempatku berdiri, garis lengkung sempurna dibuat membentuk lingkaran. Terlihat pula huruf-huruf Enochian, aksara para makhluk surgawi, tersusun rapi dengan ketepatan luar biasa mengikuti lengkungan garis terluar. "Sallendha," begitulah kedengarannya jika itu diucapkan.
Lalu, terlukis pula lingkaran kedua dengan kelengkungan yang sama tepatnya. Terlihat tiga buah simbol aneh di tengah. Seperti gabungan huruf "X" dan "V," angka "2" terbalik, serta kerangka layang-layang dengan bangun segitiga yang belum selesai dibuat. Ya, kau harus melihatnya sendiri jika imajinasimu tak cukup liar untuk memikirkannya. Yang jelas, posisi ketiganya jelas sangatlah estetik dan entah kenapa kedua mataku tak mampu berpaling darinya. Seolah-olah sigil ini dibuat oleh tangan malaikat.
Hampir terlupakan dalam pikiran, dua sosok berjubah itu masih dalam posisi yang sama. Lebih tepatnya, mereka duduk di atas simbol aneh itu. Sigil ini mungkin berdiameter tiga kali tinggi pria dewasa, cukup besar untuk sebuah prosesi spiritual. Kini, sudah jelas bisikan halus yang kudengar sedari awal berasal dari mereka berdua. Setelah menyimak lebih seksama, kusadari jika mereka hanya mengulang mantera yang sama terus menerus. Kata mereka, "Sala Orzae Koz Na."
Tak lama berselang, sebuah spekulasi melintas di benakku. "Mereka memanggil sesuatu."
Angin berhembus membawa kehangatan, cahaya kemerahan berubah menjadi putih bersinar di tengah kegelapan. Dari sana pula muncul sesosok lain dengan sepasang sayap, itu membentang luas hingga bayangannya menaungi kami semua. Sosok ini tentu sangatlah berbeda dari dua yang lain, pemikiranku tak sampai untuk menggambarkan dirinya. Lagipula, cahaya itu membutakan pandangan sepenuhnya. Tapi, aku masih bisa merasakan kehangatan yang dibawa olehnya. Sampai suatu ketika tempatku berpijak tiba-tiba saja dilanda goncangan, saat itu pula udara berhenti bergerak, meninggalkan suatu perasaan gusar yang sungguh menyiksa.
Kini, kehangatan telah tiada bersamaan dengan perginya angin menuju antah-berantah. Masih dibutakan oleh kilau sinar, tanganku berusaha meraba bumi dan mengambil jarak dari mereka semua. Seiring berjalannya waktu, kesejukan udara berganti dengan hawa panas yang hampir membakar kulit. Setelah dirasa cukup jauh, kubuka kembali mataku perlahan dan mendapati sang sosok bersayap tengah berjalan mengitari dua sosok berjubah, mengikuti garis yang telah terlukiskan pada sigil aneh itu. Lalu, beberapa saat kemudian bisa kucium aroma sesuatu yang sedang terbakar.
"Cahaya putih tak selalu pertanda baik," gumamku pelan.
Benar saja, sesaat kemudian kudengar pekikan keras nan memilukan berasal dari dalam lingkaran itu. Aku berani bertaruh jika jiwa keduanya sedang sangat tersiksa. Namun, hanya orang idiot yang memanggil sesuatu dan malah akan menjadi penyebab kejatuhannya. Jadi, mengapa mereka memanggil si sosok bersayap itu?
"AYAH!"
Aku bisa mengenali suara itu di mana pun dan sekarang ragaku hancur ketika mendengarnya.
"Kaukah itu, Nak? Tapi bagaimana ...." Pekikan kesakitan itu kian memekakkan telinga. Penderitaan yang mereka rasakan, seperti memngingatkanku akan satu hal. Sigil menawan, buku sampul kulit biri-biri, simbol aneh, dan mantera itu, semuanya merujuk pada sebuah ritual. Tak seorang pun berani melakukannya karena memiliki resiko yang terlalu besar. Bahkan jika seluruh umat manusia menanggung beban yang sama, itu tidaklah cukup. Bisa dibilang seandainya ritual berjalan ke arah yang salah, alam semesta pun tak siap menerima itu. "Tidak!"
Diri ini berusaha bangkit dan berlari sekuat tenaga menuju lingkaran itu. Bisa ditebak apa yang terjadi selanjutnya, dinding pembatas itu takkan pernah bisa ditembus oleh seorang manusia biasa. Yang bisa kulakukan hanyalah berlutut dengan kepala tertunduk. Ya, kulitku terasa makin terbakar api kebangkitan si sosok bersayap. Namun, rasa sakitnya tak sebanding jika disandingkan dengan suara pekikan mereka berdua. Mengetahui jika salah satunya merupakan darah dagingku sendiri, rasanya seperti nurani tersayat habis.
"Tapi, anakku tidak akan melakukan hal semacam ini." Keyakinan yang sama pun muncul setelah sekian lama. Dengan kebulatan tekad, kutegakkan wajahku dan melawan. "Dia mengetahui tempatnya dalam lingkaran kehidupan! Kau hampir saja membodohiku, Raja Kegelapan! Penyamaranmu telah sia-sia. Bahkan sekuat apapun kau mencoba berpura-pura menjadi salah satu penghuni surga, kita semua tahu kau bukanlah salah satunya dan tidak akan pernah!"
Kupikir tubuhku tiba-tiba saja terlempar sejauh beberapa meter setelah kuselesaikan hujatanku barusan. Kini kondisi fisikku benar-benar melemah karena telah memaksakan diri mendekati cahaya itu. Aku pun terkapar tak berdaya. Untuk sejenak segala harapan perlahan mulai sirna. Sesuatu telah diambil dari jiwaku, sesuatu yang sangat ... sangat berharga. Apa boleh dikata, aku hanyalah manusia fana. Tapi, aku tahu dia akan menanggapi perkataanku.
Dia sangat murka. "Inisiat Rendahan! Tidak ada yang bisa lolos dariku sejak bermulanya waktu, jika aku menginginkan anakmu tiada maka itulah yang akan terjadi!"
Menantang musuh terbesar langit semenjak masa penciptaan, itu terdengar sangat nekat. Bahkan bala tentara Tuhan berpikir dua kali untuk menghadapinya, apalagi hanya seorang saja. Namun, tentu saja setiap yang hidup pasti akan menemui ajal. Tugasku hanyalah mengingatkannya akan hal itu.
Dengan sisa tenaga yang kumiliki, kukatakan padanya sesuatu yang mungkin belum pernah dia dengar sebelumnya. "Ketahuilah jika kau tetap seorang makhluk. Dia yang memiliki segala kekuatan telah memberi anugerah yang hanya dimiliki oleh kaumku. Kami mungkin pendosa munafik, tapi itulah yang membuat kami terangkat. Karena aku keras kepala, maka walau terasa mustahil, kau takkan bisa menyentuh putraku ...."
Api putih menyorotkan sinar tajamnya hingga mampu menjangkau batas-batas ruang hampa. Lalu suasana berubah drastis, kembali dalam kegelapan murni nan abadi. Dalam sekejap segalanya ... hangus terbakar.