Chereads / The Return of Baphomet / Chapter 3 - Mimpi Buruk

Chapter 3 - Mimpi Buruk

Andi tak menghiraukan gurauan gadis di sisinya itu, ia hanya langsung meraih lengannya dan dengan cepat berjalan keluar dari kelas melewati kerumunan yang ada di teras. Ya, mereka masih ada di sana melakukan apapun yang anak populer lakukan. Hanya saja si Andi ini langsung membelah kerumunan tepat di tengahnya tanpa menghiraukan mereka semua. Ia hanya menatap lurus ke depan menuju tangga lingkar dan menuruninya bersama Siska. Tak ada yang berani melakukan hal itu pada sekumpulan anak populer atau kau akan menjadi bahan pergunjingan selama seminggu. Sudah menjadi rahasia umum jika kebohongan menyebar lebih cepat dari kebaikan dan kesalahan orang lain selalu menjadi santapan bagus para pemburu gosip. Suasana hatinya mungkin sudah tak sanggup menangani perdebatan apapun jika ia tetap berada di sana. Bukannya ia melarikan diri, hanya saja hari ini sudah hampir berakhir. Setidaknya ia bisa menghabiskan sore yang menyenangkan bersama dengan kekasihnya.

"Woi! Permisi kek!" pekik Danang dari kejauhan.

Semua teman perempuannya tertawa melihat lelucon itu, termasuk kekasih Danang. Sebenarnya dia yang paling merasa terhibur dengan tingkah lakunya. Kejadian itu hanya membuat mereka semua semakin bersemangat berswafoto bersama.

"Bisa-bisanya Pak Gun masangin aku sama Danang di tugas sejin besok?" keluh Andi setelah sampai di parkiran. Dengan Siska yang terus mengekor padanya, satu per satu baris sepeda motor tak luput dari pengelihatannya. "Aku parkir di mana lagi?"

"Deket kandang Tori kayaknya."

Semua orang di sekolah tahu siapa Tori. Seekor buaya berukuran sedang yang pasti menjadi buah bibir siswa baru setiap tahun ajaran baru. SMAN 1 Wonosobo memiliki sebuah ikon yang sungguh unik. Ia di letakkan di sebuah kandang di sudut barat parkiran depan, dekat dengan gerbang utama. Anehnya, sangat sedikit orang yang tahu kapan Tori diberi makan. Hanya mereka yang mengikuti ekstrakurikuler MAGMA yang tahu, dan tentu saja sang pembimbing yang juga mendampingi anak-anak di sebuah ekstrakurikuler langka air-soft gun.

"Kamu tunggu gerbang sana," saut Andi setelah menemukan keberadaan motor matic-nya.

"Ye."

Setelah Siska menjauh, ia pun langsung menaiki motornya itu dan segera menyalakannya. Namun, setelah helm di genggaman ia kenakan, sesuatu terjadi padanya. Entahlah apa itu, tiba-tiba saja denging misterius menyelimuti kepalanya. Untuk sejenak, serasa waktu berhenti berjalan. Keramaian di sekitar mendadak menjadi keheningan. Andi pun terdiam. Pandangannya terpaku menembus celah-celah logam pembatas kurungan si predator sungai, tepat di hadapannya. Terlihat ekor yang penuh sisik itu terendam sebagian di kolam air, selebihnya mengkilat karena basah terkena hujan. Pernahkah kau melihat sesuatu yang sederhana tetapi cukup untuk membuatmu terpaku? Tak ada yang tahu dari mana datangnya itu, biasanya sering terjadi kepada mereka yang kerap kali menyelami makna kehidupan. Perlahan namun pasti ekor itu bergerak hingga terendam sepenuhnya oleh air. Sebuah bisikan kembali terdengar.

"Setelah itu ... kau takkan mengira apa yang akan kau dapat ...."

"DIAM KAMU!"

Suara Andi memecah keramaian parkiran sekolah sampai-sampai beberapa murid dan staf menoleh ke arahnya dengan ekspresi bingung. Tindakan nyleneh memang bisa menarik perhatian orang banyak secara singkat. Namun, ia sama sekali tak mempedulikan hal itu. Buru-buru Andi mengendarai motornya untuk menghampiri kekasihnya dan pergi meninggalkan sekolah. Mungkin kesialan memang sedang membuntutinya sepanjang hari itu. Karena mereka akan menghabiskan waktu sejenak sebelum pulang ke rumah, ia pun menuju ke pusat Kota Wonosobo. Tepatnya sisi barat daya alun-alun di mana deretan pedagang kaki lima menjajakan dagangannya. Makanan sederhana dan murah kerap kali menjadi pilihan para pelajar, maklum saja kantung mereka biasanya tak pernah penuh. Ternyata, keadaan mengatakan hal lain. Gerimis berubah sedikit lebih deras menjadi hujan ringan. Seketika semua orang mengeluarkan payung atau berteduh sejenak di bawah lapak-lapak pedagang. Andi memutuskan untuk berhenti sejenak di bahu jalan.

"Sis, aku nggak bawa jas hujan. Lupa tadi pagi ketinggalan di rumah. Lagipula, dingin-dingin mau minum es?"

"La? Kan kamu yang ngajak tadi. Ya udahlah, mau gimana enaknya?"

Andi terdiam sejenak. Pandangannya menyapu sekeliling, jalanan mulai basah terkena hujan dan pengguna jalan yang melintas langsung berkurang drastis. "Makan seblak mau? Sambil nunggu hujan lewat."

"Selama kamu yang bayar, terserah aja. Hehe."

"Iya, Sis, iya."

Andi memacu kendaraannya lebih cepat dari sebelumnya, menembus derasnya hujan disertai kilat petir yang sesekali membelah langit abu-abu. Genangan air dilewati begitu saja olehnya, membuat sepatu hitam yang Siska kenakan basah kuyup. Barulah setelah tiga ratus meter berkendara, mereka berhenti di sebuah tempat makan. Untung saja tak banyak pengunjung yang berada di sana, namun seragam mereka yang basah serta tubuh yang hampir menggigil kedinginan cukup menarik perhatian mas-mas ojek online yang sedang mangkal menunggu pesanan makanan atau penumpang. Lagi-lagi, Andi terlihat tak menghiraukan itu semua. Buru-buru ia memesan beberapa makanan dan minuman untuk dinikmati keduanya dan langsung mengambil tempat duduk di sudut ruangan, sisi dengan pemandangan paling memuaskan.

"Andi, kok kamu nggak pesen makan tadi? Cuma aku yang kamu pesenin seblak," ujar Siska penuh tanya setelah melepas jaketnya yang sedikit basah terkena hujan. Sepertinya sepatu kesayangannya itu sudah tak bisa diselamatkan, untung saja ia selalu membawa sandal jepit tatkala musim penghujan datang.

"Nggak pengen, kamu aja yang makan." Ia melepas sweeter abu-abunya itu yang telah berubah warna menjadi lebih gelap. Dengan malas ia menaruhnya di sandaran kursi tempat dirinya duduk. Rambut hitam nan lebat itu menjadi sedikit berantakan, ditambah wajah lelah karena telah menghadapi hari yang berat membuat Andi nampak seperti pria pemurung. "Mimpi buruk laknat memang," hardiknya tiba-tiba.

"Mimpi buruk?"

Ia hanya mendesah panjang. Kini pandangannya beralih menerawang jauh menuju jendela di belakang Siska. Hujan kian lebat, angin membawa tetesan-tetesan air menghantam kaca jendela yang cukup luas itu. Samar-samar ia masih bisa melihat pepohonan yang tengah meliuk-liuk, bertahan di tengah cuaca buruk yang sedang mengamuk di sekitarnya.

"Bukan, lebih seperti pengalaman buruk buat aku. Mimpi yang rasanya nyata banget dan aku juga masih terpengaruh sama kejadian itu sampai sekarang." Untuk sesaat hanya ada keheningan di antara keduanya. Tatapan Andi masih menerawang tak tentu arah, sedangkan Siska berusaha mencerna apa yang baru saja ia katakan. "Sis, pernah nggak sih kamu ngalamin mimpi semacam ini?"

"Kamu tanya aku?"

"Iya," balas Andi singkat. Kini perhatiannya hanya tertuju pada jawaban yang akan Siska katakan.

"Mimpi nggak pernah bisa ngaruh ke diri aku. Memang ada beberapa tipe mimpi yang membekas di memori. Aku sering dapet mimpi buruk, tapi aku suka itu."

"Siapa yang suka mimpi buruk?"

"Nyatanya memang ada," tegas Siska mengakhiri pembicaraan.

Andi pun berakhir terdiam. Kebetulan pelayan datang membawa pesanan mereka, seporsi seblak dan dua gelas minuman dingin. Tanpa menunggu lebih lama lagi, Siska langsung menikmati hidangannya. Sedangkan Andi masih saja membisu.

"Orang-orang bisa mengubah apa yang mereka lakukan, tapi tidak dengan apa yang mereka mau ...." Bisikan yang sama kembali mengusik pikiran.

"Tolong ...." lirihnya tiba-tiba. Kedua mata Andi seketika terpejam.