Setelah Latifah merasa benar-benar tenang, baru mereka masuk ke dalam rumah dan kembali duduk di ruang tengah. Hanya tersisa satu masalah lagi yang harus mereka selesaikan, yaitu memberitahu Aisyah tentang keinginan Latifah itu.
Tapi untuk tugas yang satu ini Rafka tidak akan ikut campur, biar Latifah saja yang menjelaskan semuanya. Lagipula kalau ada Rafka di sana, Aisyah tidak akan mengeluarkan pendapatnya dengan bebas.
"Kamu sudah merasa lebih baik?" Tanya Rafka dengan tenang.
Latifah mengangguk, lalu ia tersenyum pada Rafka untuk meyakinkan suaminya itu jika ia sudah baik-baik saja.
"Ya, terima kasih sudah menenangkan emosiku." Jawab Latifah dengan senyumnya.
Rafka ikut tersenyum melihat sang istri kembali menampilkan senyumnya, ini berarti Latifah sudah lebih tenang dari sebelumnya.
"Sudah tugas aku untuk memelukmu di saat kamu menangis, dan tetap bersamamu di saat kesedihan itu datang menyapa." Balas Rafka dengan lembut.
"wah, ternyata mas Rafka bisa berkata-kata puitis juga." Ungkap Latifah bercanda.
Rafka tersenyum tipis mendengar hal itu, memang benar jika ia tidak bisa berkata-kata manis seperti kebanyakan pria. Hanya saja Rafka selalu mengatakan apa yang hatinya rasakan, dan hal itu terkadang membuatnya seperti seorang yang
"Ya sudah, aku ke kamar dulu." Pamit Rafka pada Latifah.
Latifah mengangguk paham, lalu Rafka melangkah meninggalkan Latifah dan kembali ke kamarnya. Sedangkan Latifah langsung bersandar sesaat, sambil menunggu Aisyah selesai memasak.
Di sisi lain, Aisyah baru saja menyelesaikan masakannya. Ia juga sudah membersihkan alat masak yang di pakainya tadi, kini semua pekerjaannya sudah selesai.
Aisyah melangkah menghampiri Latifah yang berada di ruang tengah untuk pamit, ia akan pulang lebih awal hari ini karna semua pekerjaannya sudah selesai.
"Assalamualaikum mba, semua pekerjaan saya sudah selesai. Apa ada yang mba butuhkan lagi?" Tanya Aisyah memastikan.
Latifah yang tadi sedang terpejam pun langsung membuka matanya, ia melirik ke samping tepatnya kepada Aisyah yang berdiri di sana menunggu jawabannya.
"Waalaikum sallam, tidak ada. Tapi aku ingin membicarakan sesuatu denganmu, bisakah kamu duduk dulu?" Jawab Latifah dengan senyum tipisnya.
Aisyah mengangguk pelan, lalu ia duduk di samping Latifah sesuai arahannya.
"Ada apa mba? Apa ada masalah?" Tanya Aisyah merasa cemas.
Latifah tersenyum tipis pada Aisyah, lalu ia pun duduk sedikit menyamping menghadap ke Aisyah. Rasanya Latifah ragu jika Aisyah akan menerima permintaannya, tapi hanya dia yang Latifah percaya untuk berbagi suami dengannya.
"Aisyah, kau sudah mendengar masalah rumah tanggaku bukan?" Tanya Latifah serius.
Aisyah mengernyit tidak mengerti, memang ia sudah mendengarnya tapi itu juga karna perintah Latifah yang memintanya untuk ikut mendengarkan masalah itu bersama.
"Ya, aku tau sedikit" jawab Aisyah seadanya.
Latifah pun menghela nafasnya sedikit kasar, terlihat sekali jika ia sedang gusar akan sesuatu.
"Aisyah, aku dan mas Rafka sudah menikah selama 7 tahun. Tapi sepertinya kamu belum di beri kepercayaan untuk memiliki keturunan, sehingga ibu mertuaku mulai khawatir dengan garis keturunannya yang belum terlihat. Aku sudah berkali-kali mencoba program kehamilan, namun semuanya tidak membuahkan hasil. Sampai akhirnya aku merasa mungkin memang ini takdir ku dan mas Rafka, tapi ibu tidak mau seperti itu. Ibu ingin mas Rafka memiliki keturunan, karna memang salah satu tujuan pernikahan itu adalah keturunan. Hingga akhirnya ibu menyarankan untuk mas Rafka berpoligami, tentu saja kami menolak keras permintaan itu. Tapi jika di pikirkan kembali, ibu ada benarnya juga. Aku dan mas Rafka semakin lama akan semakin bertambah umur, jika kami tidak memiliki keturunan sampai tua maka hidup kami tidak akan bahagia. Masa tua kami akan kesepian, karna tidak ada yang bisa mengurus dan menghibur kami. Karna itulah, akhirnya aku juga meminta mas Rafka untuk berpoligami." Jelas Latifah menceritakan masalah rumah tangganya pada Aisyah.
Aisyah hanya mendengarkan apa yang Latifah ceritakan, rasanya memang menyakitkan jika membayangkan berada di posisi Latifah. Tapi Aisyah hanya mendengar saja, ia pikir Latifah sedang mencurahkan isi hatinya pada Aisyah. Mungkin karna Aisyah adalah temannya, jadi Aisyah juga mendengarkan dengan baik curahan hati Latifah itu.
"Awalnya mas Rafka menolak keras permintaanku karna tidak ingin menyakiti dan mengkhianati perasaanku, tapi aku mencoba untuk memberinya pengertian jika pilihan itu yang terbaik untuk aku dan dirinya sendiri. Terutama untuk ibu, yang sangat menginginkan kehadiran seorang cucu dalam kehidupannya. Aku tidak bisa egois, karna itu aku mendesak mas Rafka untuk menyetujui hal ini. Dan akhirnya, mas Rafka pun setuju untuk menikah lagi." Lanjut Latifah menyambung ceritanya.
Aisyah menatap Latifah terkejut, ia tidak percaya dengan pilihan beresiko yang Latifah lakukan. Tapi mengingat sisi lain yang memang mendorongnya ke arah pilihan itu, rasanya tidak ada jalan lain yang bisa mereka lewati.
Latifah menatap Aisyah dengan senyum, sedangkan Aisyah menatap Latifah dengan wajah prihatinnya.
"Jadi Aisyah, maukah kamu menjadi istri kedua mas Rafka dan menjadi adikku seutuhnya?" Tanya Latifah dengan serius sambil menggenggam tangan Aisyah dengan erat.
Latifah menatap Aisyah penuh harap, walaupun sebenarnya hatinya terasa sangat sakit mengatakan hal itu pada orang lain. Tapi Latifah harus bisa, ini juga demi rumah tangganya dengan Rafka yang mulai hampa.
Sedangkan Aisyah yang mendengar hal itu langsung melebarkan matanya, rasanya terlalu sulit untuk di jelaskan dengan kata-kata. Ia pun terpaku, waktu seakan berhenti seketika untuk Aisyah. Pikirannya kosong, dan jantungnya seakan terlepas dari tempatnya.
"Apa yang mba katakan? Apa mba bercanda?" Tanya Aisyah tidak percaya.
Latifah tersenyum tipis, walaupun matanya berair menunjukkan jika ia juga merasa tersakiti dengan hal ini.
"Hanya kamu Aisyah, aku hanya ingin kamu yang mendampingi mas Rafka bersama aku." Jawab Latifah memperjelas permintaannya.
Aisyah benar-benar tidak percaya sekarang, hatinya menolak untuk menyetujui rencana gila itu. Memang ia begitu menghormati dan menghargai Latifah, tapi mengorbankan hidup untuk hal yang ambigu seperti ini sangatlah tidak baik.
"Jadi mba ingin aku menjadi istri kedua mas Rafka hanya untuk mendapatkan keturunan? Mba, pernikahan bukan hal yang bisa di permainkan. Pernikahan itu sakral dan suci, mana bisa di buat menjadi perjanjian seperti ini?" Tukas Aisyah kecewa.
Air mata Latifah kembali jatuh ke pipinya, ia tidak tau harus berkata apa agar Aisyah mengerti dengan perasaannya.
"Aisyah tolong, mengertilah posisiku! Aku juga merasa sakit dan terluka karna keputusan ini, tapi mau bagaimana lagi? Daripada mas Rafka menikah dengan wanita lain yang tidak tau bagaimana akhlak dan sifatnya, lebih baik kamu yang menjadi istrinya. Aku tau kamu baik, pengertian, dan pintar Aisyah. Tolong bantu rumah tangga aku, aku mohon!" Pinta Latifah pada Aisyah.