Pagi yang cerah di hari yang baru, Aisyah terbangun dari tidurnya saat adzan subuh berkumandang. Ia langsung melangkah menuju kamar mandi dan membersihkan dirinya, tidak lupa ia juga berwudhu sebelum keluar dari kamar mandi.
Aisyah menggelar sajadahnya, lalu ia memakai mukenanya. Aisyah melaksanakan solat sunah sebelum subuh, dan juga solat fardhu subuhnya. Setelah selesai, ia tidak lupa berdoa agar semua yang ia lakukan berjalan dengan lancar dan baik-baik saja.
Selesai solat, Aisyah merapikan kembali perlengkapan solatnya. Lalu ia keluar dari kamar untuk melakukan rutinitas paginya, yaitu membersihkan rumah dan membuat sarapan. Aisyah lebih dulu mencuci pakaian dan juga membersihkan piring-piring yang kotor, setelah itu ia menyapu dan membersihkan lantai dengan kain pel. Setelah semua selesai, barulah ia membuat sarapan.
30 menit berkutat di dapur, akhirnya Aisyah selesai dengan menu sarapannya kali ini. Yaitu nasi goreng dengan telur mata sapi di atasnya, Aisyah langsung membawa dua porsi nasi goreng itu ke meja makan.
Aisyah melangkah menuju kamar sang ayah, lalu ia mengetuknya dan mengajak Umar untuk sarapan bersama dengannya.
Tok.. tok..
"Assalamualaikum ayah, ayo sarapan dulu." Ucap Aisyah sambil mengetuk pintu.
Tanpa menunggu lama pintu terbuka, dan menampilkan Umar dengan baju kokohnya.
"Waalaikum sallam, maaf ayah bangun terlambat." Jawab Umar dengan sedikit malu.
Aisyah tersenyum menanggapi perkataan Umar, lalu ia pun mengajak ayahnya itu untuk sarapan bersama.
"Iya tidak apa, ayo ayah kita sarapan dulu?!" Ajak Aisyah dengan semangat.
Umar mengangguk paham, lalu ia melangkah bersama Aisyah ke ruang makan.
"Subhanallah, nasi goreng? Kamu memang paling mengerti kesukaan ayah, ayo kita makan." Puji Umar pada Aisyah.
Aisyah tersenyum senang melihat Umar begitu senang ia masakan nasi goreng, karna memang sejak dulu Umar selalu suka dengan nasi goreng buatan Aisyah.
"Kan biar tidak bosan yah, jadi sarapannya berubah-ubah." Balas Aisyah dengan senyum.
Umar mengangguk paham, ia berdoa lebih dulu baru menyantap nasi goreng itu.
"Masya Allah, masakan putriku memang yang terbaik." Puji Umar lagi sambil menikmati sarapannya.
Aisyah tersenyum mendengar pujian sang ayah, ia pun menuangkan air putih di salah satu gelas dan menaruhnya di dekat piring Umar. Lalu ia ikut duduk, berdoa dan menikmati sarapannya.
"Alhamdulillah kalau ayah suka, Aisyah senang mendengarnya." Jawab Aisyah sambil menyantap sarapannya.
Umar mengangguk paham, tapi ia tidak menjawabnya karna fokus pada nasi goreng favoritnya itu. Bagi Umar masakan Aisyah sangat nikmat, seperti masakan almarhumah ibunya Aisyah dulu. Rasanya yang sama, dan takaran yang pas pula.
Aisyah memang tubuh hampir mirip seperti ibunya, mulai dari wajah, bentuk tubuh, senyumnya, semua itu milik ibunya. Umar hanya mendapat di bagian alis dan bibirnya saja, Aisyah benar-benar tumbuh menjadi gadis yang cantik dan berakhlak baik.
Nilai-nilai agama dan moral yang Umar tanamkan sejak kecil, selalu di gunakan oleh Aisyah. Gadis itu begitu lembut dan pengertian, Umar selalu menjaganya seperti sebuah kaca. Karna sekali hancur, maka Umar tidak akan bisa mengembalikannya lagi seperti semula.
"Kamu memang benar-benar seperti ibumu, ayah senang sebentar lagi kau akan menikah dan berumah tangga." Ungkap Umar tiba-tiba.
Aisyah menatap Umar sedih, ia tidak tau kenapa sang ayah tiba-tiba membahas hal itu. Tapi yang pasti, Aisyah tau jika sang ayah pasti sedang merindukan ibu kandung Aisyah.
"Ayah, ibu sudah bahagia di sana. Jangan mengingatnya lagi, lebih baik kita berdoa agar ibu merasa tenang dan damai di sisi yang maha kuasa." Ingat Aisyah pada Umar.
Umar tersenyum tipis, apa yang Aisyah katakan ada benarnya juga. Ia malah terlihat menyedihkan jika seperti itu, Umar pun menghapus air mata yang sempat menetes saat mengingat almarhumah istrinya itu.
"Kamu benar nak, ayah harus kuat dan yakin. Ibumu pasti bahagia di sana, karna dia orang yang berakhlak baik." Balas Umar meyakinkan hati dan dirinya.
Aisyah mengangguk setuju dengan perkataan sang ayah, lalu ia pun melanjutkan sarapannya yang tertunda begitu juga dengan Umar.
Selesai dengan sarapan, Aisyah membersihkan piring-piring kotor itu lalu merapikannya ke tempat semula. Setelah itu ia kembali menghampiri sang ayah, untuk berpamitan akan pergi keluar.
"Yah, Aisyah keluar dulu ya? Mau bertemu mba Latifah, membicarakan masalah itu." Izin Aisyah pada Umar.
Umar mengangguk paham, lalu ia pun memberi izin pada Aisyah dan menasehati Aisyah untuk berhati-hati.
"Ya ayah mengerti, pergilah dan katakan jawabanmu. Tapi ingat, dengan perkataan yang halus agar tidak menyakiti hatinya." Jawab Umar memberi peringatan.
Aisyah mengangguk paham dengan maksud ayahnya itu, ia pun melangkah mengambil tasnya lalu kembali untuk mencium tangan sang ayah.
"Ya sudah Aisyah berangkat ya yah? Assalamualaikum." Ucap Aisyah dengan senyumnya.
Umar mengangguk lalu ia pun menjawab salam dari putrinya itu.
"Waalaikum sallam, hati-hati di jalan nak." Jawab Umar kembali memperingatkan.
Aisyah mengangguk dan melangkah keluar dari rumahnya, ia sudah memesan taksi online dan tidak lama kemudian mobil itu datang. Aisyah pun naik ke dalam mobil, dan mobil melaju membelah jalan.
Sebelum sampai di tempat tujuan, Aisyah menelpon Latifah terlebih dahulu untuk memberitahunya. Dan dalam nada sambung ke dua, Latifah menjawab panggilannya.
"Assalamualaikum mba, apa kabar?" Salam Aisyah pada Latifah.
Latifah sangat terkejut karna Aisyah menghubunginya setelah satu minggu menghilang, dan tidak lagi menghubunginya.
"Waalaikum sallam Aisyah, aku baik. Kamu kemana saja? Ya Allah, aku merindukanmu loh." Jawab Latifah dengan semangat.
Aisyah tersenyum mendengar jawaban Latifah, sepertinya wanita itu baik-baik saja. Tapi siapa yang tau hatinya? Dia pasti sangat terluka, apalagi dengan jawaban Aisyah nanti. Tidak bisa di bayangkan, bagaimana perasaan Latifah saat mendengar Aisyah menerima permintaannya itu.
"Aku ada mba, aku ingin bertemu dengan mba sekarang. Apa mba Latifah bisa?" Balas Aisyah dengan tenang.
"Tentu, dimana kita akan bertemu?" Tanya Latifah antusias.
"Di taman, tempat pertama kali kita berbicara." Jawab Aisyah pasti.
"Baiklah, aku akan ke sana sebentar lagi." Balas Latifah dengan yakin.
"Ya, aku akan menunggu. Aku tutup dulu teleponnya, assalamualaikum." Jawab Aisyah lalu memutus sambungan telepon itu.
Aisyah menatap keluar jendela setelahnya, ia sudah mengambil keputusan. Keputusan yang sangat besar, yang akan merubah hidupnya juga hidup kedua pasangan itu.
'Ya Allah, tenangkan hatiku jika memang pilihan ini benar. Aku berpasrah padamu, karna hanya kau yang mengetahui segala jalan hidup manusia. Tuntunlah aku untuk tetap berada di jalanmu, dan jangan biarkan aku salah memilih jalan walau hanya sekali saja. Aku percaya akan ketetapanmu, jika memang takdirku hidup bersama mereka maka tidak ada alasan lagi untuk aku menolak.' batin Aisyah berdoa.