Masih juga tenggelam ke dalam pikiran sendiri, terdengar telepon intern berdering. "Ada apa, Lisa?"
"Hari ini jadwal Ibu Amira meeting dengan Bapak Adelard dari PT. Slipi International."
"Jadwalkan ulang."
"Tapi, Ibu Amira ... " belum juga menyelesaikan kalimatnya, sambungan telepon sudah diputus begitu saja dan bersamaan dengan itu tatapan Lisa disuguhi dengan pintu ruangan Amira yang terbuka mengiringi langkah kaki jenjang meninggalkan ruangan.
Ingin rasanya menghentikan namun, atasan sudah memberi perintah. Dan sebagai bawahan hanya bisa menjalankan perintah tanpa adanya bantahan. Desahan nafas berat mengiringi deru nafas Lisa berpadukan dengan tatapan nanar yang masih saja mengunci pada punggung ramping yang semakin lama semakin menjauh hingga tertelan di antara pintu lift.
Saat ini langkah kaki Amira mendekati mobil yang sudah menunggui kedatangannya. "Jalan, Pak!" Perintahnya pada Mirza.
"Ke kediaman Tuan Tanzel, Non?" Tanyanya dengan menatap Nona nya sembari menunduk.
"Tidak, kali ini antarkan saya ke rumah."
"Baik, Non. Kalau gitu jalan sekarang ya, Non?" Yang hanya dijawab dengan deheman.
Saat ini mobil yang membawa Amira pergi melaju dengan kecepatan tinggi hingga tak berselang lama sudah sampai didepan pagar menjulang tinggi. Para security langsung berlarian membuka pagar. "Selamat datang kembali, Non Amira." Ucap security yang sama sekali tidak mendapati jawaban kecuali hanya seulas senyum tipis, sangat tipis hingga security dan Mirza pun tidak tahu bahwa seorang Amira Anindita Tanzel sedang tersenyum.
Kini, mobil sport keluaran terbaru melaju dengan kecepatan sedang hingga berhenti tepat di halaman utama. "Silahkan, Non." Ucap Mirza sembari membukakan pintu yang dibalas dengan seulas senyum berpadukan perintah. "Jemput, Inem!"
"Sekarang, Non?" Tanya Mirza yang dijawab dengan tatapan tajam mematikan berirama bentakan. "TAHUN DEPAN!"
Disuguhi dengan kemarahan Nona nya, Mirza langsung menundukkan wajah. "Baik, Non. Saya permisi."
Tanpa menjawab, langsung melenggang ke dalam rumah. Langkah kakinya menuju ke dapur dan tujuan utamanya adalah segelas air putih dingin. Uh, benar - benar lega. Gumam Amira dalam hati.
Tidak ingin langsung mandi dengan air hangat, dia pun merebahkan tubuhnya diatas sofa panjang sembari menyandarkan kepalanya pada sandaran sofa dengan kedua mata memejam. Tiba - tiba bayang akan wajah Louis yang sedang mengerling genit tampak memenuhi pikirannya.
Oh My God, kenapa malah teringat dengan, Louis? Gumam Amira.
Ingin rasanya membuang bayang Louis namun, semakin dia mencobanya bayangan itu semakin terlihat nyata. Seketika iris hitam terbuka sempurna. Dihembuskannya nafas berat sebelum menenggelamkan tubuh ramping dibalik pintu kamar mandi.
Kini, Amira tengah mandi air hangat coba meredam segala bayangan tentang Louis. Entah kenapa bayang akan Louis terus saja memenuhi pikirannya meskipun sekuat tenaga coba Amira tepis.
"Ada apa sih ini? Kenapa aku teringat dengan kamu terus, Louis? Apa terjadi sesuatu yang buruk dengan mu?" Tanya Amira entah pada siapa karena nyatanya dia sedang sendirian didalam kamar mandi. Kembali dihembuskannya nafas berat dan bersamaan dengan itu langsung mempercepat acara mandinya.
Malam ini Amira memutuskan memakai dress selutut tanpa lengan. Polesan bedak tipis dipadukan dengan lipstik warna nude membuat kecantikan Amira bertambah berkali - kali lipat. Sementara rambutnya yang panjang dibiarkan tergerai.
Amira benar - benar terlihat cantik bak Dewi yang baru saja diturunkan dari khayangan. Wajar bila Louis dibuat jatuh hati pada pandangan pertama.
Saat ini Amira terlihat memanjakan bokongnya pada sofa panjang sembari bermanjakan layar ponsel. Dan tujuan utamanya adalah ruang pesan namun, tidak ada satu pun pesan masuk dari seseorang yang terus menerus memenuhi pikirannya selama seharian ini.
Tidak mau terus menerus dilanda rasa gelisah dia pun memutuskan untuk berkirim pesan. Meskipun Amira sadar bahwa hal ini akan merendahkan egonya namun, dia tidak bisa lagi mengendalikan diri.
β’
Hai ...
Gimana kabar kamu?
Apa kamu baik - baik saja?
β’
Singkat padat jelas, itulah isi pesan yang telah Amira kirimkan. Sementara seseorang diseberang sana tampak mengulas senyum bahagia ketika membacanya. Senyuman dibibir kokoh terus saja tersungging mengiringi jemari kekar mengetikkan kata demi kata yang telah dikirimkan pada wanita yang sangat dirindukannya ini. Wanita yang mulai dicintainya dengan sangat dalam dan juga wanita yang selalu ada dalam untaian bait doa.
β’
Hai, Amira sayang ...
Tumben banget perhatian gini. Em, aku tahu pasti karena kamu kangen kan? Udahlah Amira mendingan kamu ngaku aja kalau kamu ini rindu sama calon Suami pura - pura ini?
Karena aku ...
Aku juga sangat rinduπ
β’
Oh, fix Louis ini tipe orang yang blak - blakkan dan juga menyebalkan. Bagaimana bisa dia tidak punya rasa malu sedikit pun. Seharusnya dia bisa sedikit basa basi tapi ini ...
Nah, kalau sudah seperti ini jelas saja Amira malu hingga langsung mematikan ponselnya ketika Louis coba melakukan panggilan video call.
Seharusnya mereka berdua bisa merangkai benih - benih rindu yang mulai bersemi. Sialnya, sikap Louis telah menghancurkan segalanya hingga menenggelamkan Amira ke dalam rasa malu. Satu hal yang paling disesalkan oleh Amira yaitu berkirim pesan kepada lelaki super menyebalkan bernama Louis Leigh Osbert.
Ih, benar - benar menyebalkan! Ngeselin! Kesal Amira sembari memukul - mukulkan tangannya pada sofa. Dan disaat yang tidak tepat seperti inipun terdengar suara ketukan di pintu. "Masuk!" Perintah Amira dari dalam kamar.
Iris hitam menajam berpadukan dengan tatapan penuh intimidasi. "Ada apa?" Tanyanya dengan suara meninggi berpadukan dengan bibir mengetat.
Lah, aura - aurane kok si Non ... wah, wah, iso - iso Inem kenek amuk iki. Gumam Inem dalam hati.
Sementara Amira semakin dibuat kesal dengan keberadaan Inem yang memilih menutup rapat bibirnya. "Inem!" Bentak Amira. Seketika Inem tersentak sehingga langsung memfokuskan tatapan pada Nona nya. "Iya, Non?"
"Iya, Non. Iya, Non. Kamu itu datang ke kamar saya mau ngapain, hah? Kalau mau melamun jangan disini! Keluar! Dasar menyebalkan."
"Oalah, Non kok marah - marah seh. Inem, kesini yo mergo mau tanya sama si Non. Malam iki Non Amira pengen menu opo? Tak siapin."
"Saya lagi ga selera makan."
"Tapi Non, Tuan Besar mewanti - wanti Inem loh."
"Apa?" Geram Amira.
"Inem, disuruh mastekno kalau Non Amira makan malam. Ngono lho, Non."
"Duh, ga penting banget sih kamu ini, Nem. Udah sana keluar!"
"Tapi Non ... "
"Ga ada tapi - tapian. KELUAR!" Penuh penekanan pada setiap kata berpadukan dengan suara meninggi. Kalau sudah seperti ini maka Inem tidak bisa membantah lagi selain mematuhi perintah dari Nona nya.
"Ya wes Inem permisi yo, Non." Yang sama sekali tidak mendapati jawaban selain tatapan tajam mematikan.
Hadew, ayu - ayu kok senengane nesu - nesu. Inem, sumpahin yo adoh jodoh. Gumam Inem sembari menutup pintu.
πππ
Next chapter ...