"Maaf, Pa. Amira, tidak bisa gabung makan malam dengan Opa karena malam ini Amira sudah ada janji."
Seketika tatapan Yoza menelisik wajah cantik Amira mencari jawaban jujur disana. "Sudah ada janji?" Tanyanya berpadukan dengan kernyitan yang langsung diangguki oleh Amira.
"Janji dengan siapa?"
Pertanyaan dari ayahnya ini membuat Amira gelagapan. Pasalnya dia tidak tahu harus beralasan apa. Bola matanya tampak memutar coba mencari berbagai alasan yang terdengar tepat supaya sang ayah percaya. Dan ya, alasan Amira tertuju pada sahabat masa SMA nya, Hana Sumitra.
"Ajak saja sekalian sahabat mu itu untuk makan malam."
"Tidak bisa begitu dunk, Pa."
"Kenapa tidak?"
"Karena ini urusan ... wanita." Bisik Amira ditelinga Yoza. Seketika Yoza tersenyum berpadukan dengan usapan kasar pada puncak kepala Amira. "Dasar Anak Papa. Pasti kalian berdua mau jalan - jalan kan?"
"Tu, Papa tahu."
"Ya, sudah kalau gitu Papa pulang dulu ya. Ingat, jangan pulang larut malam." Nasihat Yoza berpadukan dengan kecupan sayang pada puncak kepala Amira.
"Hati - hati ya, Pa. Sampaikan salam sayang Amira sama, Opa." Yang langsung diangguki oleh Yoza berpadukan dengan senyum hangat yang selalu saja membuat Amira merasa tenang.
"Huh, untung aja Papa percaya." Ucap Amira entah pada siapa karena nyatanya ia sedang sendirian didalam ruang kerjanya. Baru juga menghirup nafas lega ponselnya sudah berdering menampilkan nama Tanzel. "Iya, Opa." Jawab Amira dengan suara malas.
Dari seberang telepon Tanzel terlihat sedang menyipitkan matanya. "Ada apa, Amira? Apa terjadi sesuatu di kantor?"
"Tidak." Jawab Amira cepat.
"Lalu, kenapa suara mu terdengar malas. Apa Opa menganggu waktu kerja mu?"
"Tidak, Opa. Ada apa Opa telepon Amira di jam kerja? Tumben."
"Papa-mu, baru saja kasih tahu ke Opa kalau malam ini Amira menolak undangan makan malam. Apa itu benar?"
Sebelum menjawab pertanyaan sang kakek lebih dulu menjauhkan ponsel agar bisa membuang nafas perlahan. Sementara sang kakek terus saja mendesak dengan tak sabaran. "Apa yang dikatakan oleh Papa-mu itu benar, Amira?"
"Amira, minta maaf. Malam ini Amira sudah ada janji temu dengan teman lama."
"Siapa?"
"Teman lama, Opa."
"Iya Amira, siapa? Laki - laki apa perempuan?"
Huh, Opa ini udah kayak security aja. Posesifnya ngalah - ngalahin pacar. Louis aja ga posesif gini kok. Nah, ini si Opa. Huh, benar - benar ngeselin. Gumam Amira dalam hati.
"Kenapa malah diam?"
"Ih, Opa. Kan Amira ga diam. Dari tadi panggil - panggil Opa loh. Kayaknya sinyalnya lagi ga bagus deh." Bohong Amira.
"Hm, bisa jadi. Sekarang jelaskan sama Opa, malam ini Amira mau bertemu dengan siapa?" Nada suara Tanzel terdengar penuh intimidasi dan tentu saja hal itu membuat Amira kesal.
"Teman Amira semasa SMA. Opa, tenang aja karena semua teman Amira itu perempuan."
"Baguslah kalau gitu. Jangan macam - macam dan jangan pulang larut malam. Ingat, Louis sedang tidak ada disini jadi, sebagai calon Istri yang baik Amira harus bisa menjaga diri. Ingat ya, Amira. Jangan membuat malu keluarga Tanzel. Sebagai Putri Tanzel, Amira harus bisa membawa nama baik keluarga."
"Pasti, Opa. Janji deh." Penuh penekanan pada setiap kata.
Huh, padahal Amira ga kemana - mana tapi, Opa. Ceramahnya udah kayak Ustad aja. Kesalnya dalam hati.
"Ingat baik - baik pesan Opa, dan jangan dilanggar karena Opa ga akan memaafkan Am-."
"Iya, Opa. Ya sudah kalau gitu Amira tutup dulu ya Opa karena sebentar lagi ada meeting." Potong Amira.
"Iya, selamat bekerja Amira sayang." Setelah itu langsung memutus sambungan telepon.
Setelah sambungan telepon terputus. Hembusan nafas berat yang dibuang perlahan mengiringi deru nafasnya, dan bersamaan dengan itu dibukanya beberapa dokumen yang sedari tadi menantikan disentuh olehnya.
Kini, fokus Amira hanya pada pekerjaannya. Dan disaat yang sangat tidak tepat inipun terdengar suara pintu diketuk.
"Masuk!" Jawab Amira dari dalam ruangan.
"Selamat sore, Ibu Amira."
Amira langsung mendongakkan wajahnya berpadukan dengan tatapan menajam. "Duduk!" Perintahnya pada Mia.
"Mana laporan yang saya minta."
"Ini, Ibu Amira." Sembari menyerahkan dokumen ke tangan Amira. Kini, Amira tengah memeriksa dokumen tersebut, sementara Mia menunggu dengan antusias.
"Apakah Pak Nail sudah kembali?" Tanyanya tanpa melihat ke arah Mia karena fokusnya masih saja pada dokumen yang kini sedang diperiksanya.
"Belum, Ibu Amira?"
Seketika Amira mendongak berpadukan dengan tatapan menyipit. "Belum?" Tanyanya lagi yang langsung diangguki oleh Mia. Mendapati Nail belum juga kembali dari dinas luar kota dia pun langsung menghubungi Nail yang menjabat posisi penting sebagai Assistant Executive CEO.
Ekor mata Amira menajam pada Mia. Tidak mau jika perbincangannya dengan Nail sampai terdengar, dia pun langsung meminta pada wanita itu untuk segera meninggalkan ruangan.
"Baik, Ibu Amira. Saya permisi."
"Em, Mia tunggu!" Dan yang dipanggil langsung kembali mendekat sembari membungkukkan badan. "Iya, Ibu Amira."
"Sampaikan pada Lisa untuk mengosongkan jadwal."
"Baik Ibu akan Mia sampaikan pada, Ibu Lisa. Saya permisi." Ucapnya sembari membungkukkan badan sebelum melenggang dari hadapan Amira selaku CEO Tanzel Group.
Setelah memastikan bahwa Mia sudah keluar ruangan, dia pun kembali melanjutkan perbincangannya dengan Nail. "Bagaimana dengan pembangunan proyek kedua?" Dan jawaban dari seberang telepon benar - benar membuat otot sarafnya menegang seketika.
Amira terlihat sedang memijat kepalanya. Masalah yang telah Arwiyan timbulkan telah berdampak kurang bagus pada perusahaan sementara Nasya, yang dia andalkan sebagai pengganti Arwiyan tak seperti yang dia harapkan. Cara kerja Nasya benar - benar tidak sebagus Arwiyan.
Ya, sepertinya ayahnya benar bahwa perusahaan ini perlu seorang arsitek yang sangat handal dan orang tersebut adalah Azriel Fillah Alfarez.
"Haruskan aku terima saran dari, Papa?" Tanyanya entah pada siapa karena nyatanya ia sedang sendirian didalam ruangan yang super megah nan mewah.
Iris hitam memejam sejenak sembari menyandar pada sandaran sofa. Pikirannya pun melayang jauh memikirkan tawaran dari sang ayah. Kalau sudah seperti ini keputusan apa yang harus Amira ambil?
Dan tanpa dapat dihindari lagi, Amira terhimpit ke dalam dilema. Disatu sisi ada rasa sungkan pada keluarga besar Hana, dan sisi lain dia juga sangat membutuhkan tangan handal seperti Azriel.
Huh, bagaimana ini? Gumam Amira dalam hati sembari memijat pelan keningnya.
Dan disaat seperti inipun tiba - tiba ingatannya berpusat pada satu nama yaitu Louis Leigh Osbert. Biasanya lelaki itulah yang selalu ada sebagai penghibur. Meskipun bisa dibilang bahwa Louis sangat menyebalkan namun, kehadirannya bisa membuat beban Amira sedikit berkurang. Louis hadir sebagai penyempurna hidup Amira meskipun hal itu tidak pernah Amira sadari.
πππ
Next chapter ...