Dua jam sudah aku memandangi Angga yang sedang bereaksi sampai dia kecapekan. Birahinya terlampiaskan sudah, terlihat dia senyum penuh arti kepadaku. Setelah mengucapkan terima kasih dengan embel-embel romatisme, dia menutup telfonnya.
Aku hanya tersenyum kecut melihatnya hilang dari dari layar ponsel. berpura-pura bahagia di depannya walaupun sebenernya aku kesepian. Sangat-sangat kesepian. Tetapi aku tidak ingin membebaninya dengan kata-kata rindu yang memberatkan. Takut kalau-kalau dia tidak konsentrasi bekerja di sana. dan aku sebagai istri harus bersedia kapanpun jika dia lagi butuh termasuk video call tadi.
Di pojok cafe, aku merebahkan kepalaku diatas meja. Entah kenapa rasanya sesak sekali hati ini. Meski aku merasa hidupku sempurna sejak menikah dengan Angga, tetapi entah kenapa kebahagiaan belum jua menghampiriku. Terbersit dalam benakku, apakah aku menyesal menikah dengan Angga yang berprofesi sebagai pelaut? Enggak, Angga adalah pria yang sangat baik. Jarang sekali ada pria seperti dia didalam hidupku, setidaknya dia bukan seperti buaya-buaya yang pernah ku kenal. Tetapi kamu selalu di tinggal Dina, buat apa kalian menikah kalau kamu selalu di tinggal dalam waktu yang lama?
Pergolakan terjadi di dalam hatiku, sehingga tak kuasa aku menahan air mata yang meleleh. Memang kebutuhan akan materi sangat terpenuhi mengingat dia adalah pelaut bergaji dollar. Hampir semua keinginnanku dia kabulkan. Aku tidak kekurangan sesuatu apapun. Tetapi bagaimana dengan kebutuhan batin?
Tergeragap ketika aku mengingat ibu. Ya Ampun, aku sampai lupa jika ibu belum pulang dari ladang. Sementara aku masih berada di sini? Aku mengusap air mata sekenanya dan berjalan menuju kasir untuk membayar. Kemudian buru-buru ke mobil untuk kembali ke desa.
Apakah aku sudah gila kembali ke desa itu?
Kali ini aku tidak perduli. Masa bodoh dengan kejadian ganjil yang aku alami sorop tadi. aku harus memastikan ibu tidak kenapa-napa dan bertekad membawanya pergi jauh-jauh dari desa itu. Soal bayi setan itu terserah mau ibu bawa atau tidak. Yang jelas, aku harus membawa ibu. Karena dia adalah permata satu-satunya yang kumiliki.
Waktu terasa lama untuk sampai ke desa, entah kenapa. Biasanya jarak antara pusat kota dengan desa hanya menempuh tiga puluh menit, tapi ini rasanya seperti berjam-jam. Ah, Mungkin perasaanku saja.
Sampai di gapura desa, aku kembali menguatkan mentalku. Ternyata mentalku runtuh seketika ketika akan memasuki desa ini. tapi apa mau di kata, sudah sampai di ambang desa, hanya tinggal masuk saja.
Dengan sedikit keberanian, aku menarik tuas kemudi. Mobilku melaju cukup kencang di jalanan desa. Kadang harus tubuhku terguncang karena mobil mengenai jalan yang berlubang.
Tidak ada lampu jalan yang menerangi, rumah-rumah penduduk juga gelap. Memang benar jika ada sesuatu yang terjadi dengan desa ini, tetapi apa?
Tiba-tiba cahaya mobil menangkap sesosok yang sedang berjalan ke arahku. Seketika aku memelankan laju mobilku. Mataku lamat-lamat melihat ke arah sosok itu. Dia menggunakan jaket hoodie hitam yang terlihat ketat karena posturnya yang besar. dia berjalan sembari menunduk. Lidahnya panjang, menjulur-julur seperti ular.
Semakin lama semakin mendekat.
Dia berhenti tepat dua meter di depan mobilku. Aku terus menatapnya, penasaran dengan sosok itu yang tiba-tiba terdiam. sangat misterius sekali.
Dengan masih menunduk, dia tertawa. Terdengar berat dan menggema. Nafasku berburu. Terlebih ketika mendekati mobilku secepat kilat, seperti menghilang. dan kini aku bisa melihatnya dengan jelas ketika dia mendongak dan merangkat ke atas kap mobil sampai wajahnya menempel di kaca tepat di hadpanku. Membuatku terpaku beberapa saat.
Wajah hitam bersisik dengan sorot mata putih dan lidah yang menjulur, seakan siap menerkamku hidup-hidup. Meski wujudnya mengerikan, tapi aku sangat mengenal wajah itu. namun lidah ini terasa kelu untuk berkata.
Klek!
Terdengar suara kaca yang retak. Iya, Mahluk itu berusaha untuk menembus kaca mobil dengan membentur-benturkan kepalanya yang keras seperti batu. Tanganku yang memegang stir pun bergetar. Terlebih tubuhku. Namun entah kenapa aku tidak bisa beranjak dari situ seolah ada yang menahanku.
Prang!
Akhirnya kaca mobil pecah, beberapa serpiannya tepat mengenai wajahku. tapi aku tidak merasakan sakitnya seolah tubuhku mati rasa. Dia mendesis penuh kemenangan karena berhasil menguasai diriku.
Tiba-tiba mulutnya bergerak maju, perlahan berubah menjadi kepala ular pyton yang mengerikan. Dia membuka rahangnya, menampilkan kedua taringnya yang tajam penuh bisa di saat yang bersamaan aku mencium bau melati yang sangat pekat.
Sebuah bogem besar berbulu tepat mengenai kepala ular itu, sehingga dia terpentaal sampai di jalan. Pelan-pelan, aku menoleh ke arah tangan besar di sampingku. Itu kan tangan... seketika aku membelalakan mata, jangan-jangan yang berada di jok belakang mobilku?
Mahluk ular itu berdiri. dia menggerak-gerakkan kepalanya dan mendesis keras. sepertinya dia marah karena di hantam dengan bogem tadi. Lantas, dia meninggalkan tempat itu dengan berjalan mundur. cepat sekali.
Kini hanya ada aku dan mahluk di jok belakang. sama sekali aku tidak berminat untuk melirik ke spion. Aku kembali mengemudikan mobil. Pikiranku terfokus untuk sampai ke rumah ibu. Sempat aku melirik sebelah kanan tadi ada balai desa, yang artinya tinggal lurus saja sekitar seratus meter sampai ke rumah ibu.
Namun apa yang aku temui sesampainya di depan rumah ibu? Hanya kegelapan saja tidak ubahnya dengan rumah-rumah yang lain. padahal dua hari yang lalu ketika aku datang desa ini semuanya tampak normal saja, tetapi kenapa semua seperti ini?
Apa jangan-jangan ibu belum pulang dari ladang ya, sehingga lampu rumah tidak dinyalakan? Terus kemana perginya semua orang di desa ini? kenapa semua lampunya padam?
"Dina..dina.." sontak aku terperanjat. Sempat terlupa kalau ada mahluk di belakangku. Aroma melati menyergap seisi mobil. Suaranya lirih merasuk dalam indra pendengaranku. Aku meneguk ludah. Tanpa babibu lagi, langsung aku tancap gas. Ketika aku menemukan tikungan langsung aku membanting setir. Aku tahu ini adalah tikungan untuk kembali ke gapura desa.
Aku tersenyum miring. sebentar lagi aku akan keluar dari desa bedebah ini. terbebas dari cengkaraman para demit.
Tetapi aku salah,
Tikungan itu semakin membawaku ke jalan terjal, menembus daerah yang sepertinya hutan karena di kanan kiri hanya terlihat pepohonan. sementara yang aku ingat di dekat gapura itu ada perkebunan tebu.
Aku tersesat! Atau lebih tepatnya di sesatkan!
Frustasi, aku terus memacu laju kendaraan. Tidak perduli dengan jalan bebatuan yang mengguncang mobilku. Berharap semoga bisa keluar dari hutan ini. Tapi, aku malah semakin jauh memasuki hutan.
Hujan mengguyur deras. Laju kendaraan semakin berat, tatkala jalan yang terus menanjak sekaligus ban yang beradu dengan tanah liat yang bercampur air.
Jeglek.
Tiba-tiba ban mobilku terperosok ke kubangan air yang cukup dalam. Di gas sekuat apapun tidak mampu keluar dari kubangan sialan itu. sementara di belakangku suara itu kembali memannggil
"Dina, dina."