"Silakan duduk Mbak." Kata jarwo yang sudah terlebih dahulu duduk sembari merentangkan tangannya diatas kursi. Aku tidak bergeming. entah kenapa tubuhku menjadi sangat kaku.
"Kenapa?" tanyanya lagi.
Ini salah, harusnya aku keluar dari rumah ini! tapi kenapa aku mengikutinya ke dalam? Pertentangan batin tidak terelakkan. Tapi reaksi tubuhku membuatku tetap ingin bertahan di sana. aku sangat ingin sekali, terlebih setelah mendengarkannya bersenggama tadi.
"Oh iya, mau tanya, Gimana enak enggak gituan sama genderuwo?" ingin rasanya aku menampar mulutnya yang tanpa kontrol itu. Tapi entah kenapa aku tidak punya nyali. Tubuhku hanya terkunci kepada sebuah hasrat.
"Aku dengar dari luar pintu kamu sepertinya sangat menikmatinya. Emang sih genderuwo itu sukanya perempuan-perempuan kesepian seperti kamu. hehe." Seharusnya aku marah mendengar perkataannya yang semakin kurang ajar. Tapi entah kenapa libidoku justru mengisyaratkan hal yang lain.
Dia berdiri lalu mengitari tubuhku bagian belakang. aku bisa merasakan deru nafasnya yang hangat. Kemudian dia berbisik, "aku bisa lho menjadi genderuwo jika mbak mau? bahkan aku bisa melakukan lebih dari genderuwo itu lakukan" katanya membuat bulu romaku begidik.
Dia kembali duduk. Bersandar dengan sangat santai dan merentangkan kedua tangan di samping. Dia juga membuka kedua kakinya, sehingga tonjolan di boxernya yang sempit itu semakin kentara. dia memandangku seolah menunggu reaksiku.
"Ayo Mbak!" tantangnya. Seolah terhipnotis, aku pun mendekat. Saat tepat menghadapnya, tiba-tiba dia berkata.
"Tunggu, aku pengen liat kamu goyang erotis dulu."
"Tapi..."
"Ayo!" katanya penuh penekanan.
Pelan-pelan aku mulai goyang erotis.
Meliuk-liukkan tubuhku seperti biduan. Lalu, bergetak memutar. Tiba-tiba, dia menampar bokongku.
"Plak! Yang semangat dong goyangnya!"
hardiknya. Aku pun semakin goyang meliuk-liuk. Entah kenapa, aku bisa segila ini menuruti perkataan dari pria bertubuh hitam legam itu.
"Nah gitu dong. Sekarang buka bajumu pelan-pelan sayang."
Aku mulai membuka bajuku. Lepas sampai terlihat bulatan indah yang tertutup bra. Dia melongo melihatnya. Tapi tidak puas di sana, dia menyuruhku untuk melepas celana jean yang aku kenakan.
Semakin aku goyang, semakin aku menanggalkan semua pakaianku, sehingga terlihat tubuhku yang tampak polos tanpa sehelai benang pun.
"Cukup." Tukasnya. Aku pun berhenti. Kemudian dia mengisyaratkan untuk duduk. Aku pun bersimpuh di hadapannya. Tepat di kakinya yang terbuka. Sejenak, dia mengelus-elus rambutku. Kumisnya yang tebal tampak bergerak-gerak naik. Terlihat dia begitu tidak sabar. Dia tersenyum melihatku mengigit bibir genit.
Tiba-tiba, dia menarik tanganku dengan kuat sampai membuatku terduduk tepat di atasnya. Duduk di pahanya yang banyak ditumbuhi bulu. Tangannya memegangi pinggangku. Aku merintih tatkala liangku yang menempel tepat di tonjolannya, dan dua bulatan indahku yang mengacung tepat di hadapannya.
Tanpa babibu lagi, dia melumat kedua bulatan indahku itu bergantian. Melumat satu sisi, dan meremas sisi yang lainnya. Cepat dan beringas sekali. aku melenguh sembari sedikit goyang.
Selama tiga puluh menit, dia pun selesai mengerjai kedua bulatan indahku. Bahkan sempat mengigitnya sehingga menimbulkan bekas. Aku yang sedari tadi mendongak pun menunduk. Terlihat Jarwo menatapku sembari meremas-remas bokongku yang aduhai.
"Kamu sudah tidak tahan ya Mbak?" godanya. Aku pun menempelkan dadaku ke dadanya yang kekar sembari menyentuh pipinya. Meski tidak ada kata yang terucap tetapi, kerling mataku sudah menjawab semuanya.
Tangannya mendada meremas bokongku dengan kasar. Lalu dia menekannya supaya lebih dapat ke tubuhnya. Aku merasakan tonjolan itu semakin mengeras dan panas, seakan siap untuk memuntahkan lahar.
"Ayo mbak, bicara sesuatu!" bisiknya. Aku tidak mengerti dengan maksud perkataanya, hanya terfokus dengan tonjolan yang menggesek-gesek area selangkangan.
"Katakan kalau mbak pengen! Ayo!" bisiknya lebih keras. entah kenapa, mendengar perkataannya membuatku semakin bergairah.
"Iya Pak! Dina sudah tidak tahan Pak! ayo lakukan!' pekikku yang tidak sengaja terdengar sampai penjuru rumah itu.
"Pelan-pelan saja ngomongnya." bisiknya sedikit menekan. Aku tahu bahwa ada istrinya yang sedang berada di dalam.
"Siapa itu Pak?" terdengar suara wanita dari dalam. Baik aku dan jarwo terhenyak. Pria bertubuh mengisyaratkanku untuk segera beranjak dari pangkuannya.
"Makanya, kamu jangan berisik. Istriku jadi bangun 'kan? Sekarang kamu ambil pakaianmu dan pergi." Tuturnya. Aku pun bergegas memunguti bajuku sementara Jarwo masuk ke dalam, menghalangi istrinya untuk keluar.
Aku membuka pintu, menoleh ke penjuru arah. aman. suasana masih sepi. aku melangkahi tubuh Cipto dengan sangat hati-hati. kalau sampai bangun, bisa kacau. Untunglah, aku berhasil kabur dan masuk ke dalam rumahnya Pak Min.
***
"Uhuk.. uhukk, Mbak Sampean di luar?" Panggil Pak Min. Aku yang sudah kembali memakai bajuku dan merapikan rambutku yang acak-acakan bergegas untuk menhampirinya.
"Iya Pak." sahutku yang muncul dari balek korden.
"Syukurlah, kamu sudah kembali. Saya kepikiran mbak takut kenapa-napa." Katanya membuatku trenyuh. Ya Ampun, segitu berartinya diriku buatnya? Padahal kita sama sekali tidak ada hubungan darah.
Dan aku juga telah membohonginya. Bagaimana kalau dia tahu aku keluar rumah bukan untuk mengambil pembalut tapi mampir ke rumah jarwo. Dan melakukan sesuatu yang terlarang? Pasti dia sangat kecewa denganku.
Aku tersentak. Pria tua yang terbaring lemah itu bukan orang sembarangan. Bahkan tanpa aku memberi tahu, Dia mengetahui tentang bayi setan di kampung. Intinya dia bis menerawang jauh.
Jangan-jangan dia sudah tahu semuanya, tetapi dia berpura-pura tidak terjadi apa-apa supaya aku tidak malu dengan aibku itu.
"Kenapa Kamu menangis Mbak?"
"Aku, aku..." sahutku terbata-bata. dia tersenyum tulus. sorot matanya teduh dan hangat. Aku semakin menyesali dosa yang telah kuperbuat. Tapi entah kenapa, aku tidak mampu menghalau godaan yang ada.
"Mbak, boleh saya bicara sesuatu sama mbak?"
Deg!
Apa yang akan beliau katakan. Apa dia akan membicarakan tentang perbuatan terlarang yang sudah aku lakukan lalu memarahiku. Jantungku berdegup kencang.
"Kamu mirip sama mendiang anakku Mbak. Pertama kali, kamu memanggilku untuk memesan galon. Aku seperti dipanggil oleh anakku. Semenjak itu aku mulai menyelami kehidupan Mbak. Mbak juga sering mencurahkan kegundahan kepada bapak. Sejujurnya saya juga merasa senang bisa membantu orang yang mirip dengan anakku. Uhuk...uhuk."
Aku memegang kedua tangannya dengan erat. Dari sorot matanya, tersimpan rasa kasih sayang yang mendalam kepadaku. Aku bisa merasakannya. Aku menjadi teringat dengan ayah kandungku sendiri yang mencampakkanku dan ibu demi perempuan lain. rasa sakit hati itu masih membekas sampai sekarang. Bahkan, aku merasa muak kalau tiba-tiba terlintas wajahnya dibenakku.
Semenjak Perasaanku telah mati untuk ayah.
Tapi sekarang, aku bisa merasakan kasih sayang yang sangat tulus dari orang lain yang sudah aku anggap sebagai ayah kandung sendiri. sungguh anugrah yang sangat luar biasa.
"Bolehkah saya memanggilmu Nduk Dina?" kata Pak Min. Seketika aku mengangguk mengiyakan.