"Dimana bocah tadi? Pasti parit itu mengarahkannya ke dekat air terjun."
"Kalau kita sampai gagal, tamatlah riwayat kita di tangan Tuan Brata."
Dua orang berpedang dengan ikat hitam di kepala menyusuri aliran sungai yang mengarahkan mereka menuju air terjun.
Puluhan meter dari air terjun, ada seorang lelaki yang tertidur di gundukan rumput dekat pohon Cendana.
Mahesa yang masih pingsan, terhanyut di atas air dan ditemukan oleh seorang petani bercapil yang baru pulang kerja.
"Kenapa anak ini bisa terdampar? Aku harus membawanya."
Begitu petani tersebut menyentuh tubuh Mahesa, bulu kuduknya langsung berdiri.
Rasa merinding dan takut menyelimuti semua tubuhnya.
"Ini bukan bocah sembarangan. Aura membunuhnya sangat kuat.
"Sepertinya aku harus membawa bocah ini menuju Ki Seno Aji."
Desa Buncitan yang letaknya ada di dekat bukit menjadi sangat menakutkan. Banyak mayat bertebaran tercabik senjata dan darah mengalir deras di tiap ruas jalan pasir.
Beberapa gagak hitam mencium bau darah anyir itu dan memakan bangkai mayat yang berceceran.
Petani itu mendapat kabar jika desa yang ada di Utara bukit sedang diserang oleh sekelompok pesilat Elang Hitam.
"Langkah kaki dan pijakan daun...
"Sial, ada orang lain disini."
Petani itu berdiam diri di balik ilalang yang menjulang.
Ia relakan tubuh dan pakaiannya tercabik-cabik selama dirinya dan bocah itu selamat.
Sesuai dugaan, dua pendekar Elang Hitam berkeliling di hutan bagian bawah bukit tempat Mahesa berada.
Kretek!
Suara patahan kayu terdengar dan membuat Mahesa terbangun.
"Aku ada dimana?"
"Diam," lirih petani itu.
"Tolong orang tuaku, Pak, mereka terbunuh oleh orang-orang yang tidak memiliki hati."
"Sstt ... diamlah," ucap petani itu lebih lirih lagi.
Terlambat sudah, dua pendekar Elang Hitam sudah mendeteksi keberadaan Mahesa.
Mereka berdua berbalik badan dan berlari melewati beberapa semak berduri yang ada di hutan belantara.
Tidak mau kalah, petani yang memang sudah menghafal medan, memilih jalur yang bebas dari duri.
"Kita mau kemana?"
"Sudah, ikuti aku saja, Nak."
"Aku taku, Pak, dua orang itu menyeramkan. Aku ingin pulang."
Tangis Mahesa pecah dan membuat petani itu semakin gusar.
Kalau saja bukan karena aura membunuh Mahesa yang sangat kuat, bisa dipastikan petani itu sudah acuh.
Ya, percuma menolong seorang anak yang hanya akan menjadi beban.
"Pak, tolong aku, mereka yang membunuh ayah dan ibu."
"Kau yakin mereka pembunuhnya?"
"I-iya ... hoooho," tangis Mahesa masih terus mengalir karena teringat kekejaman yang dilakukan kepada kedua orang tuanya.
"Me-mereka orangnya. Pita hitam di kepala itu tanda dari pembunuh orang tuaku."
"Baik, Nak, tenangkan dirimu dulu. Jangan terlalu banyak menangis dan aku akan mencarikan tempat bersembunyi."
Petani itu meloncat dengan lihai, melewati mawar, anggrek, benalu, dan beberapa tumbuhan lain yang ada di hutan.
Tidak mau kalah dengan petani, dua pendekar Elang Hitam juga melakukan trik yang sama.
Kaki mereka seperti dilumasi oli dan sangat licin ketika bersinggungan dengan duri-duri mawar dan semak belukar.
"Tunggu, Kisanak, berikan anak itu pada kami!"
"Dia adalah anak yang berbahaya, kau bisa saja mati karena membawanya."
Petani itu menoleh ke belakang sejenak.
Menyadari jarak dua pendekar di belakangnya sudah lumayan jauh, dia berteriak sambil berlari.
"Tidak akan! Anak ini sudah menjadi milikku. Mending kalian pulang dan pergi dari sini!"
"Baiklah kalau itu yang kau minta, kami berdua tidak akan segan membunuhmu."
Mereka terus kejar-kejaran selama beberapa menit dan berhenti tepat di sebuah jurang yang jauh berada di dalam hutan.
Rrrrrgg!
Suara macan terdengar dari kiri-kanan semak.
Tidak ada pergerakan yang terjadi antara si petani dan dua pendekar tersebut.
Mahesa yang takut, menggelantungkan tangannya ke leher si petani dan berbisik.
"Digigit macan pasti sakit, aku tidak ingin melihat."
"Aku akan melindungimu walau harus berkorban nyawa. Kau adalah anak dalam ramalan."
"Maksud bapak apa? Aku tidak mengerti tentang ramalan."
"Ahh, tidak, hanya ramalan jika kau akan selamat dari terkaman macan loreng ini."
"Bagaimana bapak bisa tahu?"
"Seiring bertambahnya umurmu, kau akan mengetahuinya sendiri."
Petani itu maju satu langkah, membiarkan Mahesa bergelantung di lehernya.
Sementara di depannya, dua pendekar sudah memasang kuda-kuda, bersiap ketika macan itu sewaktu-waktu berlari menerkam.
Macan itu hanya mengaum dan seperti memanggil temannya untuk datang.
Beberapa detik berselang, tiga macan langsung menerkam dua pendekar yang mengayunkan pedangnya.
"Haha, bodoh sekali. Pendekar macam apa yang tidak tahu cara menanggulangi macan," batin si petani dengan senyum mengembang.
"Kalau kau berdiri, ya pasti macan itu akan menerkam karena mengiramu musuh."
Mahesa yang sudah berkata tidak mau melihat, nyatanya penasaran dan memalingkan wajah.
"Kenapa mereka berdua diserang?"
"Macan juga memiliki naluri seperti manusia.
"Ketika mereka melihat benda tajam atau merasa terancam, mereka tidak segan untuk menyerang.
"Oleh karena itu, jongkok dan memosisikan diri seperti ini adalah cara terbaik."
Setelah puas mencabik-cabik dua pendekar Elang Hitam, ketiga macan itu langsung berbalik arah dan menatap si petani.
Pandangan mereka bukan menuju si petani, melainkan pada Mahesa yang menggelantung.
Dari gerak-geriknya, sepertinya daging dua manusia tidaklah cukup untuk memberi makan tiga macan yang kelaparan ini.
"Bapak, aku takut."
"Jangan menangis, Nak, mereka tidak akan menyerangmu."
"Tapi mereka ingin memakanku. Aku tidak ingin mati dulu karena ayah ingin aku jadi pendekar."
"Ssstt ... jangan buat keributan agar macan itu tidak terganggu."
Beberapa detik berlalu dan hanya terjadi adu pandang antara ketiga macan itu dengan si petani.
Uaaahhh! Aku takut, Bapak!
Tangis Mahesa pecah dan ketiga macan itu langsung mengaum keras.
Mereka merasa jika dua orang di depannya sama dengan dua pendekar yang sudah tercabik sampai mati.
Dengan sedikit ilmu Kejawen yang dimiliki, si petani membaca mantra Pamocatan yang biasa digunakan dukun untuk menyantet orang.
"Pocot kancing kalang-kaling, pocotku nabi, pocotku Pengeran.
"He macan! Sak temene Gusti iku kaduene alam dunyo, nuruto marang pituturku lan ojo mangan menungso sing ora ganggu."
Mahesa menyahut lirih, "Itu mantra santet kan, Pak?"
"Iya, Nak, aku akan menyantet macan itu sampai tidak bisa berdiri."
"Bukankah mantra itu hanya bisa dibacakan untuk manusia?"
Petani menepok jidatnya sendiri sangat keras, sampai-sampai ia hampir terjungkal ke jurang.
Bodoh!
Tapi tidak ada cara lain lagi, ia harus membaca mantranya ulang dan dengan penuh keyakinan.
Sayang sekali, hanya dua ekor macan saja yang tersihir oleh mantra yang dibacakan si petani.
Sontak, satu macan itu langsung melompat dan berusaha menyerang Mahesa yang menggelantung.
Sriat!
Salah satu kuku macan itu mengenai punggung Mahesa dan membuatnya lepas dari si petani.
Petani yang juga takut, langsung terpeleset dengan satu tangan meraih ujung tebing.
"Berteriaklah, Nak, sebut nama Ki Seno Aji sekeras mungkin.
"Bapak sudah tidak kuat lagi, tanahnya akan runtuh ke jurang."
"Aku takut, Pak, aku harus bagaimana ... hngg," tangis Mahesa semakin pecah.
"Cepat teriakkan nama itu!"
Bentakan itu membuat Mahesa langsung tersentak. Ia mengangkat wajahnya dan menatap macan di depannya sangat tajam.
Sesuai perintah, Mahesa yang sudah terluka di punggung meneriakkan nama yang diberikan petani.
Ki Seno Aji!
Suaranya melengking dan macan di depannya sudah bersiap untuk menerkam Mahesa.