Dalam sebuah gubuk yang lumayan jauh dari hutan, seorang pertapa paruh baya mendengar seseorang memanggil namanya.
"Aura ini, tidak salah lagi.
"Ini auman yang sudah lama kutunggu. Suara seorang bocah yang menggemparkan langit.
"Semoga ramalan Jayabaya tepat sasaran."
Pertapa itu langsung mengatur nafasnya dan berlari secepat mungkin.
Tidak peduli ranting atau duri apapun yang membuat kakinya berdarah, ia langsung menuju sumber suara.
Tiga ekor macan dan seorang bocah saling berhadapan.
Tanpa basa-basi lagi, pertapa itu merapatkan jari-jarinya, menarik tangannya ke belakang, dan menusukkannya ke tubuh macan.
Saat macan itu meloncat dan ingin menerkam Mahesa, pertapa itu datang tepat waktu.
Rrggh!
Dua macan yang tadinya duduk, seketika bangkit dan mengaum.
Mereka mendeteksi jika pertapa ini adalah orang yang berbahaya dan bisa menyerang mereka kapanpun.
"Kakek, tolong aku, mereka menakutkan. Aku tidak ingin mati disini."
Rengekan Mahesa disambut dengan senyuman oleh kakek pertapa.
"Tolong bapak ini juga, kek, hnngg, dia ada di belakang."
Pertapa itu melihat ada jari-jari tangan yang tergantung di ujung jurang.
Dengan cepat, dia menarik tangan dari si petani dan menyelamatkannya dari maut.
"Makasih banyak, Ki, aku berhutang nyawa padamu."
"Tidak perlu repot-repot. Justru aku yang sangat berterima kasih padamu karena telah menyelamatkan bocah ini."
"Ternyata pikiran kita sama, Ki, dia adalah bocah ramalan."
Mahesa yang masih bocah belum mengetahui banyak tentang dunia. Dia yang penasaran, kembali mempertanyakan maksud dari sebutan bocah ramalan itu.
"Bukankah Bapak sudah jelasin, maksudnya kau sudah diramal agar selamat dari macan."
"Ohh, jadi bocah ramalan itu adalah orang-orang yang selamat dari terkaman macan. Begitu, Pak?"
"Tepat sekali, anak pintar."
"Kasian bocah ini," bisik pertapa tadi kepada si petani, "dia harus menerima takdir sebagai utusan dewa untuk menjadi pendekar terkuat."
"Aku juga berpikiran sama, Ki. Dari aura membunuhnya yang sangat kuat, aku bisa menduga kalau bocah ini memanglah orangnya."
Euuukk!
Suara perut Mahesa berbunyi. Dia belum makan semenjak tadi pagi saat penyerbuan di desa.
"Mari ikut Bapak, nanti kamu akan Bapak masakin melinjo."
"Beneran, Pak?"
"Mau digendong apa jalan sendiri?"
"Yeyeyee ... aku mau digendong belakang boleh?"
Petani itu membungkukkan badannya dan mempersilakan Mahesa untuk duduk di punggungnya.
"Orang di sampingmu adalah Ki Seno Aji. Untung kamu memanggilnya tepat waktu."
"Maaf, Pak, aku kan tidak tahu kalau Ki Seno akan datang."
Tanpa disadari Mahesa, petani itu adalah mantan tabib sakti yang pernah mengabdikan diri di kerajaan Pasundan.
Kerajaan itu merupakan terbesar kedua di daerah pesisir Jawa bagian Timur dan hanya kalah oleh kekutana mahadahsyat Majapahit.
Setelah penyerbuan pasukan Meng Khi ke Pasundan, petani itu melarikan diri dengan perahu kecil hingga akhirnya karam di dekat desa Buncitan.
Melihat keadaan desa yang tenteram, ia memilih untuk menyusuri hutan dan hidup di tengah-tengahnya.
Sesuai dugaan, desa Buncitan akhirnya diserang dan dibabat habis oleh pasukan Meng Khi karena pendekar terkuat itu sudah mendengar ramalan tentang seorang anak yang bisa mengalahkan dirinya.
Pantas saja jika petani itu hafal mantra-mantra penyantetan dan penakhlukkan.
"Ki Seno mau ikut?" Tanya Mahesa dengan senyuman.
"Ahh, tidak, aku akan pergi lagi. Urusanku masih banyak dan harus selesai hari ini juga."
"Halah ... Ki Seno gitu, padahal kan Hesa ingin makan bareng Ki Seno."
Mendengar kata Hesa, Ki Seno langsung membelalakkan mata.
"Siapa namamu? Coba katakan sekali lagi."
"Mahesa, Ki ... lengkapnya Mahesa Basundara."
Ki Seno terdiam dan tidak bisa berkomentar apapun.
Setiap bocah yang lahir dan memiliki nama belakang Basundara, bisa dijamin bocah itu akan mati sebelum menginjak umurnya yang kesembilan.
"Umurmu berapa tahun?"
"Aku masih sembilan tahun, Ki, bulan depan aku ulang tahun."
Deg. Jantung Ki Seno Aji berhenti berdetak untuk sekian detik.
Dalam riwayat kitab kuno Jayabaya yang dibaca Ki Seno, setiap bocah yang diberi nama belakang Basundara akan dipastikan mati.
Dan apabila dia hidup, maka bocah itulah yang akan terpilih mewarisi takdir para leluhur dewa untuk menjadi seorang raja pendekar terkuat dalam sejarah.
Hal itu tidak menyulutkan nyali Ki Seno untun menempa pola pernafasan Mahesa agar bocah itu memiliki daya tahan tubuh kuat.
Setelah menyampaikan kode dengan gerak tangan, Ki Seno Aji pamit kepada si petani.
***
"Akhirnya makan nasi, aku sudah sangat lapar."
"Makanlah yang banyak, Hesa, tapi maaf rumah Bapak hanya sekecil ini."
Sejak saat ini, Mahesa sudah menganggap petani itu menjadi bapak kandungnya sendiri.
Sebagai anak kecil yang belum baligh dan menginginkan kasih sayang orang tua, sosok bapak akan sangat berdampak pada mental Mahesa.
Untuk sesaat, bocah itu bisa melupakan kekejaman yang dilakukan orang-orang Elang Hitam pada keluarganya.
"Mau tambah lagi?"
"Nggak mau, kasihan Bapak belum makan. Porsinya sedikit, mending Bapak aja."
"Bapak sudah makan sebelum berangkat ke hutan tadi."
Rrrghh!
Kini gantian, perut si petani itu yang berbunyi dan membuat Mahesa tertawa.
"Mulut bisa bohong, Pak, tapi perut Bapak meronta-ronta terus. Kasihan."
"Yang penting bunyinya tidak sekeras bunyi perutmu tadi."
Mereka berdua tertawa lepas dalam gubuk. Petani itu sepertinya berhasil membuat Mahesa sejenak melupakan pembantaian kedua orang tuanya.
"Sudah, bapak aja yang makan. Hesa kan sudah habis satu piring."
Senyuman bocah itu mengingatkan si petani akan anaknya yang terbunuh saat pembantaian kerajaan Pasundan.
Tak terasa, air mata hampir menetes dan ia segera menyembunyikannya dari Mahesa.
"Kamu aja yang makan, Nak, Bapak nanti cari ikan di sungai. Kita nanti bakar bareng ya..."
Begitu piring sudah dibawa ke depan Mahesa, bocah itu berteriak kesakitan.
"Punggungku seperti terbakar, Pak, ada apa ini?"
"Sakit sekali, aku sudah tidak kuat."
Mahesa berlari menuju kamar mandi yang letaknya ada di sebelah Selatan gubuk.
Tanpa pikir panjang, ia menceburkan diri disana dan ternyata hanya memperparah rasa terbakar yang ia rasakan.
Tangisnya pecah dan air matanya menetes membasahi tanah tandus di sekitar gubuk petani.
"Bapak ... sakit ... ada apa dengan punggungku?"
Petani penolong Mahesa itu baru ingat jika Mahesa baru saja mendapat serangan dari macan kumbang di hutan tadi.
Sontak, ia berlari menuju tumbuhan yang ada di balik gubuk, memetik daunnya dan langsung mengeluarkan tumbukan batu.
"Buka bajumu, Nak, ini akan meredakan luka yang kau rasakan."
Mahesa hanya menangis dan merintih kesakitan. Tangannya seperti kaku tidak bisa bergerak.
Saat petani itu akan membuka baju Mahesa, tiba-tiba saja Ki Seno Aji sudah berada di belakangnya dan menahan tangan si petani.
Dengan segera, Ki Seno Aji menyiram punggung Mahesa dengan air yang sudah dicampuri bunga-bungaan khusus.
Csss!
Uap keluar dari punggung Mahesa yang disirami air doa.
Aaaaaaaaaaa!
Ini sangat menyakitkan!
"Aku ingin mati saja! Aaaaaaa!
"Sialan kau, Seno! Aku akan membalasmu di lain hari."
Suara Mahesa yang cempreng berubah menjadi sangat besar.