"AAAAAARRRRGGHH! AAAAARRGGGGHH"
Aku mengguling-gulingkan tubuh sambil menutup kedua mataku dengan tangan. Berusaha mencerna seperti apa rasa sakit bila terjatuh dari ketinggian dan membentur sesuatu yang keras.
Menyadari rasanya tak terlalu sakit, aku berhenti menggerakkan tubuh walau mataku tetap terpejam. Apa aku langsung mati tanpa merasakan siksaan lagi?
Kuraba wajah dan sekujur tubuhku, rasanya semua baik-baik saja. Tak ada bagian yang tak utuh atau terasa nyeri. Apa kematian itu memang begini?
Aku membuka mata untuk melihat di mana aku sekarang. Bila aku mati, mestinya ada malaikat yang menyambutku. Penglihatanku masih agak kabur begitu kupaksakan untuk melihat sekeliling. Tapi kupikir ini bukan di surga, neraka, atau bahkan di Erdma.
Wanita itu! Di mana wanita itu?! Apa ia menyelamatkanku? Apa ia membawaku ke sini?
"Carina! Carina!" Teriakku nyaring. Aku berusaha mencari di mana ia. Siapa tahu wajah usilnya menampakkan diri.
Tak ada jawaban. Tak ada Carina.
Aku berusaha menenangkan diriku untuk mengenali sekitar. Setelah penglihatanku kembali jelas, aku sadar saat itu aku berada di kamarku. Aku terjatuh dari tempat tidur ke lantai. Sama sekali bukan jatuh ke bebatuan karang yang tajam. Pantas saja aku masih bisa bangun dan tak terluka. Aku bahkan bisa langsung berdiri untuk duduk di sisi tempat tidurku, memikirkan apa yang sebenarnya terjadi.
Di mana aku tadi? Apa yang baru saja kumimpikan? Siapa Carina? Apakah tadi itu benar-benar mimpi? Kepalaku masih pusing akibat efek terbentur lantai. Saat ini aku tidak bisa berpikir jernih. Mungkin saja pertemuanku dengan Carina hanyalah mimpi, ia tidak sungguh-sungguh nyata. Walaupun anehnya, aku bisa mengingat semua yang kualami bersama Carina. Wajahnya, rambut birunya yang menyala, serangan kawanan bola meledak, dan momen tepat sebelum aku terjatuh. Aku bisa mengingat setiap detailnya. Jika itu mimpi biasa, aku pasti sudah melupakan sembilan puluh persennya setelah lima menit aku bangun. Ini mimpi yang berbeda, benar-benar bukan mimpi biasa, aku berusaha meyakinkan diri sendiri.
Aku merebahkan tubuh sambil terus memikirkan mimpi anehku. Banyak sekali yang kuingat di sana. Aku mengingat hampir seluruh percakapanku dengan wanita berambut biru itu. Aku juga teringat ia berkata tentang tak ada ada orang yang sama yang pernah kembali ke dunia itu. Memikirkan ini, ada rasa sedih mendalam yang kurasakan. Tak sampai sepuluh menit setelah berpisah dengannya, aku sudah sangat merindukannya. Semakin aku mengingatnya, semakin aku merasa aku telah mengenalnya untuk waktu yang lama. Pertemuan tadi seperti bukan pertama kalinya, aku merasa begitu dekat dengannya. Sifatnya yang hangat membuatku merasa begitu.
Aku mengambil ponsel yang kusimpan di laci di samping tempat tidurku. Kulihat banyak sekali pemberitahuan pesan dan panggilan tak terjawab dari Anastasia. Ia meminta maaf tentang kencan semalam. Jujur saja aku sudah hampir melupakannya, pikiranku sudah dipenuhi oleh Carina dan dunianya. Jadi aku tak lagi mempermasalahkannya. Aku bahkan tak merasakan apa-apa lagi tentang itu. Tak ada rasa marah dan kesal lagi padanya. Malah aku sedikit merindukan Ann.
Anastasia memintaku untuk menemaninya berbelanja dan berjanji akan mentraktir es krim dan makanan lain sebagai permintaan maaf. Aku terpaksa tersenyum karena hal ini. Anastasia memang sering bertingkah menyebalkan, namun ia tahu cara untuk membuatku tak berdaya. Maksudku, siapa yang tak suka ditraktir es krim?
Aku membalas pesannya untuk mengatakan aku sudah hampir melupakan kejadian semalam. Aku juga memberitahu kalau aku akan datang untuk es krim yang ia janjikan.
Ann membalas pesan untuk mengatakan aku harus datang pukul empat sore di tempat yang ia tentukan. Karena saat ini masih pukul delapan, aku masih bisa tidur beberapa jam lagi. Terus terang saja, aku merasa kelelahan setelah masuk ke dunia Carina. Seperti tak tidur sama sekali. Apalagi aku juga tidur dini hari. Kupejamkan mata dan berharap aku bisa menyambung mimpiku sebelumnya. Pertemuan dengan Carina.
***
Aku berjalan sendirian di jalanan ramai di tengah kota yang nuansanya seperti film tahun sembilan puluhan. Mobil dan kendaraan lain berseliweran memenuhi ruas jalan. Ratusan orang berlalu-lalang, tampak sibuk dengan urusan mereka masing-masing. Mengikuti langkahku, terbang seorang peri mungil yang wajahnya sangat menggemaskan. Ia melambaikan tangan sebelum mendarat tepat di pundakku. Aku menyaksikan adegan ini seperti saat sedang menonton film, tak ada yang bisa kulakukan selain mengikuti alurnya.
Aku terus melangkah menyusuri jalan didampingi sang peri sampai kami bertemu dengan seorang pria tua pendek yang tengah menjajakan balon pada orang-orang yang lewat. Pria tua itu mengenakan pakaian yang amat mencolok, senada dengan warna-warni balon di tangannya. Ia memakai celana panjang kebesaran berwarna ungu, jaket bulu tebal hijau menyala, sepatu lari warna kuning, serta di kepalanya menjunjung tinggi topi lancip putih polkadot merah. Saat kami lewat di depannya, ia memberiku balon berwarna merah yang kuterima tanpa pikir panjang.
Aku dan sang peri lanjut berjalan. Ia dengan bersemangat menunjuk sebuah mobil penjual es krim di dekat persimpangan. Mobil itu dikerubungi oleh banyak orang yang mengantre. Kami lalu menghampiri kerumunan itu dan ikut masuk dalam antrean.
Saat sudah berada di belakang orang-orang yang mengantre, aku baru menyadari kalau mereka semua bertubuh transparan. Aku bisa melihat menembus tubuh dan pakaian mereka. Orang-orang ini tampaknya tak menghiraukan kehadiran kami. Ketika barisan hanya menyisakan sedikit orang di depanku, aku melihat mereka yang sudah menerima pesanan mereka lenyap begitu saja, tak bergabung dengan keramaian di jalan.
Tunggu, siapa mereka ini? Aku menyadari bahwa sedari tadi aku tak bisa melihat dengan jelas wajah semua orang yang ada di jalan ini. Sang pria tua penjual balon dan barisan orang di depan mobil es krim ini tak memiliki wajah yang jelas. Hanya sang peri saja yang wajahnya bisa kukenali.
Antrean orang yang ingin mencicipi es krim makin berkurang hingga aku sudah berada di depan. Kulihat pria yang berdiri di dalam mobil es krim itu bukanlah pria biasa. Ia tak mengenakan baju, yang menampilkan tubuh merahnya yang kekar dan besar. Di rongga yang seharusnya ada mata, berkobar nyala api berwarna putih yang amat menyilaukan. Hidungnya sudah koyak, tak lagi utuh. Dari mulutnya yang lebar terjulur lidah panjang yang terus bergerak seiring ia menyiapkan es krim. Kepalanya yang gepeng dipenuhi empat tanduk. Dua mengarah ke atas, dua lainnya ke bawah. Anehnya, aku sama sekali tak merasa ngeri melihat penampilan makhluk luar biasa ini.
Ia memberiku es krim yang sudah jadi dengan juluran lidahnya. Tanpa menaruh sedikitpun rasa curiga, aku langsung memakan es krim itu dan seketika kepalaku terasa seperti membeku dan perutku mual. Aku langsung memuntahkan isi perutku. Hal itu tampaknya tak disukai pria penjual es krim. Ia melilit tubuhku dengan lidahnya sampai aku kesulitan bernafas.
***
Aku bangun dengan nafas terengah dan kepala tertutup bantal. Tak ada pria merah penjual es krim di dekatku.
Sungguh ini bukan mimpi yang kuharapkan. Sudah tak bertemu Carina, aku malah nyaris terbunuh hanya karena makan es krim. Karena masih mengantuk dan lelah, aku lanjut tidur lagi. Aku tak bermimpi setelahnya.
Aku terbangun pukul tiga sore dengan bersemangat. Aku langsung masuk kamar mandi dan mempersiapkan diriku untuk bertemu Anastasia di tempat yang sudah kami sepakati. Pakaian tidurku kubiarkan saja tergeletak di kasur tanpa kurapikan. Biar nanti malam saja setelah pulang kencan.
Selesai berpakaian, aku segera menuju tempat janjian kami dengan naik bus. Sampai di sana, Anastasia sudah menunggu. Ia sampai dua menit sebelumnya dan karena aku sama sekali tak telat, aku terhindar dari masalah.
Ann menyambutku dengan ceria, seolah ia tak melalukan hal yang aneh malam sebelumnya. Aku sih tak mempermasalahka, aku lebih suka melihatnya yang seperti itu. Ini jauh lebih baik daripada aku langsung disuguhi wajah cemberut. Ia bertubuh mungil. Puncak kepalanya hanya setinggi daguku. Rambut panjangnya yang bergelombang ia cat pirang. Matanya berwarna coklat cerah. Hidung dan bibir mungil menghiasi wajahnya yang bulat. Ia melengkapi penampilannya dengan kawat gigi yang ia pakai hanya sebagai aksesori. Giginya sudah amat rapi.
Ann mengajakku berkeliling pusat perbelanjaan dengan antusiasme tinggi. Ia memegangi tanganku dengan erat dan oleh karena itu aku beberapa kali harus mengimbangi langkah cepatnya. Ia masuk dari toko pakaian satu ke toko pakaian lain, terus menanyakan "ini cocok untukku tidak?" tiap kali menemukan pakaian yang ia sukai. Pertanyaan yang perlu kujawab dengan sangat hati-hati atau ia akan merajuk lagi.
Ia membeli banyak pakaian dan aksesori seperti gelang dan jam tangan. Sebagai pacar yang baik, aku kebagian peran untuk memegangi tas belanja yang semakin lama semakin menumpuk. Aku tak tahu kapan ia akan berhenti karena ia masih berkeliling dengan semangat yang tak berkurang sedikitpun. Tanganku sudah dilupakan olehnya. Meskipun begitu, aku memandanginya dengan perasaan bahagia.
Kami beristirahat setelah ia mengeluh capek. Padahal kan harusnya aku yang mengeluh duluan. Kami berhenti di kedai es krim dan makanan ringan. Aku memesan semangkuk es krim rasa coklat, panekuk buah, serta beberapa kue manis. Ann hanya memesan es krim berukuran kecil karena katanya ia takut gemuk. Aku mencemoohnya dalam hati.
"Aku minta maaf, Zane," Ann membuka pembicaraan.
Aku menatapnya lekat. "Untuk kejadian semalam?"
Ann mengangguk. "Ya, aku tahu itu bodoh. Tapi aku punya alasan sendiri."
Aku menunggu ceritanya sambil menggigit panekuk.
"Ini tentang Amy," lanjut Ann. "Di dekat meja yang kita duduki, aku lihat pria yang sedang dekatnya makan bersama wanita lain. Padahal pria itu menyuruh Amy untuk tetap di apartemennya karena ia bilang ia punya bisnis yang harus diurus. Nyatanya pria itu malah bermesraan dengan wanita lain. Jadi aku ingin melapor pada Amy dan mengajakmu keluar. Karena kau tak mau, aku sendiri saja ke tempatnya." Ann terus memasang wajah kesal saat menceritakan itu. Ia menghabiskan es krimnya sendiri dan mengambil jatahku.
Amy adalah teman dekat Ann. Aku sudah sering bertemu dengannya dalam kencan bersama pacarku. Di antara teman Ann yang lain, memang hanya Amy yang kesulitan mencari pasangan. Padahal ia lumayan cantik.
"Aku benci pria yang berselingkuh!" kata Ann nyaris berteriak saking kesalnya. "Kau tak bertemu dengan wanita lain kan semalam?"
Aku jadi salah tingkah ditanya seperti itu. Aku teringat mimpiku bersama Carina dan sebisa mungkin menjaga mulutku agar tak keceplosan mengucapkan iya. "T-tidak kok," kataku buru-buru. "Aku bertemu Ollie semalam. Aku mentraktirnya makan dan kami main game sampai larut." Aku tahu ia takkan suka aku bermain game terlalu lama. Tapi itu lebih baik daripada mengatakan aku bermimpi bertemu seorang wanita cantik.
Ann juga tahu aku dan Ollie sering main game bersama. Tapi tampaknya ia masih belum percaya. Ia menatap mataku dengan curiga. "Nanti aku tanya padanya."
Aku hanya bisa meringis.
Ia menghabiskan es krimku dengan raut wajah puas.
"Omong-omong, Zane, " kata Ann. "Semalam aku bicara pada teman-temanku tentang rencana libur musim panas kami. Kami akan menyewa resor di pinggir laut. Kau harus ikut."
Sudah pasti aku tak diberi ruang untuk menolak ajakannya. Tapi boleh juga kalau menginap di pinggir laut. Aku suka suasananya.
"Memangnya kalian mau ke mana sih?" tanyaku.
"Ikut sajalah nanti, kau akan melihatnya sendiri. Ada pantai yang ingin aku kunjungi. Aku melihat iklannya di internet dan menanyakan teman-temanku apakah mereka tertarik pergi ke sana. Jadi deh kami sepakat nemilih jadwal di musim liburam nanti." Ann terus memutar bola matanya saat bercerita, seakan ia sudah membayangkan bagaimana keseruan liburan itu. Kalau begini aku takkan bisa menolak ajakannya.
"Ya sudah, aku juga akan ikut," kataku. *Siapa saja yang akan pergi?"
Ann langsung gembira mendengar responku. Raut kesal di wajahnya hampir tak tersisa. "Aku, Amy, Laura, dan kau. Kau boleh ajak Ollie juga. Mungkin ia akan cocok dengan Amy.".
Ann lanjut bercerita mengenai rencana liburannya. Pakaian apa yang akan ia kenakan, tempat yang tak boleh dilewatkan, juga kegiatan apa saja yang mau ia lakukan. Kami memesan beberapa mangkuk es krim dan beberapa porsi makanan ringan lagi. Ann sudah lupa kalau sebelumnya ia bilang takut gemuk.
Pusat perbelanjaan itu sudah hampir tutup saat kami memutuskan untuk keluar dan pulang ke apartemen masing-masing. Aku masih harus memegangi tas belanjanya sementara ia asik berjalan di depan dengan hanya satu tangannya memegang tas belanja kecil. Sungguh adil sekali.
Aku memperhatikan Ann dari berjalan dari belakang dan merasa aku pernah melihat hal ini sebelumnya. Tapi aku lupa tentang apa. Jadi untuk sementara aku tak terlalu memikirkan hal itu.
Aku menumpang taksi yang sama dengannya. Aku membantunya mengeluarkan tas belanja saat ia sampai terlebih dahulu di apartemennya, lalu aku melanjutkan perjalananku berdua bersama sang pengemudi. Ann melambaikan tangan lalu berbalik dan masuk ke dalam gedung
Saat itu aku kembali mengingat perasaan aneh saat memperhatikan Ann tadi. Aku benar-benar tak tahu kenapa dan entah apa yang membuatku merasa seperti itu. Lama aku memikirkannya sampai aku sampai di depan apartemenku. Aku membayar ongkos lalu keluar taksi.
Aku langsung bersiap-siap mandi begitu masuk ke kamarku. Di kamar mandi, aku berusaha menenangkan pikiranku dari hal aneh tentang Ann. Ini bukan firasat buruk. Hanya saja ada yang tak biasa darinya, dan aku baru menyadari hal itu.
Karena belum mengantuk, aku tak langsung merebahkan diri. Aku belum beres-beres kamar karena tidur seharian dan langsung berangkat menemui Ann.
Aku menarik piyama yang kupakai semalam dan langsung menelan ludah karena tak percaya dengan apa yang kulihat.
Aku terduduk lemas.