Chereads / Into The Dream / Chapter 5 - 05 - Senjata Pertamaku

Chapter 5 - 05 - Senjata Pertamaku

Teman Carina ternyata adalah pria tua pendek yang membagikan balon dalam mimpiku sebelumnya!

Pria ini sungguh ada di depanku sekarang. Wajahnya kini terpampang jelas, tak lagi terlihat samar seperti di mimpi. Matanya yang berwarna kuning seperti lampu menyorot ke arahku dengan tatapan kurang ramah. Hidung besar dan kendur memenuhi wajah yang sudah banyak keriput di mana-mana. Mulutnya hampir tak terlihat karena tertutup jenggot yang tumbuh menjuntai sampai ke dada. Ia memakai pakaian yang sama persis sejauh yang kuingat. Aku ingat ia memang pendek, tapi tak menyangka bahwa ia hanya sekaki Carina. Kedua tangannya memegang perkakas yang lebih besar untuk ukuran pria kecil sepertinya.

"Kau jangan diam saja!" Carina melambaikan tangan ke arahku agar aku segera sadar. "Kenalkan, ia Lugaianom. Atau panggil saja ia Lug. Aku juga memanggilnya begitu karena nama panjangnya merepotkan. Lug adalah pembuat senjata. Pedangku juga hasil karyanya loh."

Namanya memang sulit sekali disebut. Aku hanya bisa bengong begitu dijelaskan oleh Carina, tapi karena tak ingin dikira kurang sopan, aku mengenalkan diriku pada Lug. Pria tua itu membalas perkenalanku dengan bunyi decit aneh.

"Maaf?" tanyaku.

"Dia itu robot," bisik Carina. "Tapi tenang saja, ia mengerti apa yang kau ucapkan."

Aku berusaha untuk tetap memakluminya walau pikiranku dipenuhi tanda tanya. Selesai berbicara padaku, Lug melanjutkan kegiatannya yang sempat tertunda. Kuperhatikan ia sedang membentuk sebuah mata tombak dengan palu dan sejenis pencapit di tangannya.

Karena Lug sudah lanjut bekerja, aku melihat ke sekeliling ruang kerjanya. Ruangan ini bersisi enam. Satu sisinya terdapat semacam perapian yang sangat panas untuk melebur logam yang ia bentuk menjadi beragam senjata. Aku bisa melihat masih ada bahan lain yang ia lebur di sana. Di sisi lain ada bahan-bahan kulit dan potongan kayu besar yang masih belum dibentuk. Ada juga bak besar berisi air untuk mendinginkan senjata yang sudah dibentuknya. Bengkel ini panas dan sesak sekali, walau hal itu tampaknya tak mengganggu Carina dan Lug.

Carina sibuk mengobrol dengan Lug tentang sesuatu. Aku tak tahu bagaimana Carina bisa mengerti Lug. Aku sih paham bahwa Carina sedang mengenalkanku pada temannya dan menjelaskan dari mana aku berasal, tetapi respon Lug sama sekali tak bisa kutangkap artinya. Suaranya tetap hanya berupa decit aneh yang tak sesuai dengan wajahnya yang terlihat galak. Lug sesekali menengok ke arahku dengan ekspresi datar yang hanya kubalas dengan senyum kikuk.

Untuk saat ini aku hanya bisa memandangi pekerjaan Lug membuat senjata. Sebentar saja, ia sudah menyelesaikan tombak yang sedari tadi dikerjakannya. Kuakui ia memang handal. Tangan kecilnya seperti bukan penghalang untuk menciptakan senjata yang berukuran lebih besar dari tubuhnya.

"Aku meminta Lug membuat senjata untukmu," ujar Carina setelah selesai mengobrol dengan teman uniknya itu.

"Eh, kau sungguhan?" tanyaku agak terkejut. Aku tak tahu apa yang dipikirkan Carina untuk memberiku senjata. Aku tak pernah memegang apapun sebelumnya.

"Tentu," Carina mengangguk. "Kau bilang saja ingin dibuatkan senjata jenis apa padanya."

"Baiklah," jawabku singkat.

Perlu waktu cukup lama untuk memikirkan senjata apa yang sesuai untukku. Aku sungguh kepikiran kapak yang kulihat di ruang sebelah. Tapi menggunakan kapak pasti tak mudah dan berat. Mana bisa aku memakai senjata seperti itu. Aku sebenarnya ingin meminta pedang yang sama seperti Carina karena tampilannya keren. Pedang itu punya bentuk yang mirip dengan katanya dengan sedikit modifikasi. Kalau aku punya senjata yang sama, aku bisa minta diajarkan beragam teknik padanya. Namun aku membatalkan rencana itu karena takut terlihat bodoh di hadapannya. Carina dan Lug memandangiku dengan tak sabaran. Akhirnya aku minta dibuatkan Sai yang sesuai dengan ukuran tubuhku.

Carina bingung dengan pilihanku. Aku jadi perlu menjelaskan padanya bahwa aku sangat menyukai Raphael dalam serial Teenage Mutant Ninja Turtles, dan aku ingin memakai senjata yang sama dengannya. Carina makin bingung karena ia tak tahu apa itu mutan atau ninja. Kuhabiskan waktu untuk menunggu Lug membuat Sai dengan menjelaskan pada Carina segala yang aku tahu tentang mutan dan ninja.

"Kau harus mengenalkanku pada Raphael. Aku ingin bertarung dengannya."

Beruntung percakapan absurd itu selesai lima belas menit kemudian saat Lug sudah menyelesaikan permintaanku. Aku diberikan dua buah Sai sepanjang empat puluh sentimeter yang sangat sesuai dengan apa yang kumau. Mata Sai ini berkilau memantulkan cahaya api dari perapian. Bagian pegangan Sai dilapisi kulit yang membuatnya sangat nyaman digenggam. Lug juga memberi hiasan batu ruby pada bagian antara mata sai dan pegangannya. Ini senjata yang sangat indah, kagumku. Selagi aku masih sibuk memandangi senjata pertamaku, Lug memberi ikat pinggang agar aku tak kerepotan menyimpannya saat tak kugunakan. Aku benar-benar seperti anak kecil yang diberi permen kapas, senang sekali rasanya.

Terakhir, Lug juga memberi sepatu yang pas untuk ukuran kakiku. Modelnya hampir mirip dengan sepatu Carina. Aku langsung melepas sepatu yang kupinjam darinya dan mencoba sepatu baru itu. Sepatu ini lebih ringan dan tak membuatku sakit. Aku makin kegirangan.

"Dasar kau ini," sela Carina di tengah rasa senangku dengan semua pemberian dari Lug, "petualangan yang sebenarnya baru akan dimulai loh. Ucapkan terima kasih pada Lug, kita pergi."

Benar juga ya. Aku kan tak mungkin diberi senjata ini kalau tidak untuk digunakan. Aku membungkuk pada Lug serta mengucapkan terima kasih untuk senjata dan sepatu yang ia berikan. Sekali lagi ia hanya membalas dengan suara decit aneh. Aku baru menyadari matanya tak pernah berkedip.

Aku dan Carina keluar dari bengkel Lug dan kembali ke ruang penyimpanan senjata. Sekali lagi aku berhenti untuk mengagumi semua ciptaan ini. Aku tak percaya semua senjata berukuran besar di sini dibuat oleh Lug yang mungil.

"Yang kau lihat belum semuanya," celetuk Carina santai. "Ini hanya salah satu dari empat gudang Lug."

Lug mungkin sangat bosan terus berada di gua ini hingga ia membuat banyak senjata yang mungkin takkan ia gunakan.

"Lalu, kenapa kau menyuruhku untuk meminta senjata?" tanyaku. "Kau tak akan mengajakku bertarung melawan monster menakutkan, kan?"

"T-Tidaak. Tidak kok." Carina agak terbata-bata menjawab pertanyaanku. "Kita hanya akan pergi berburu kelinci."

Mendengar kami akan berburu kelinci, aku jadi sedikit ragu. Memang apa salah kelinci itu hingga harus diburu? Aku mungkin takkan tega menyakiti mereka.

Cara mengambil jalan yang berbeda dari jalan kami masuk tadi. Lorong yang kami lewati kini sedikit menanjak dan lebih sempit.

"Kita tak lewat jalan tadi?" tanyaku.

"Tidak," jawabnya. "Ikuti aku sajalah. Tempat yang akan kita tuju nanti lebih menyenangkan." Setelah berkata begitu ia mengedipkan satu matanya.

Aku jelas tak percaya mendengar kata menyenangkan darinya, apalagi kalau ia mengucapkannya dengan gestur seperti tadi. Tabiatnya sulit dipercaya. Tapi karena pengetahuanku tentang dunia ini masih sangat minim, aku tetap mengikutinya.

Kami berjalan beberapa menit melalui jalan yang terus menanjak dan hal itu membuatku merasa kelelahan. Apalagi semakin lama kami berjalan, aku merasa gua ini semakin panas.

"Kita tak sedang berada di bawah gunung berapi, kan?" tanyaku sambil mengusap keringat. Lorong yang kami lalui saat ini lebih terasa panas lagi.

Aku menyadari kalau penerangan di lorong ini bukan lagi disebabkan oleh  obor yang menyala. Lorong ini terang karena cairan lava meleleh keluar dari sela dinding gua hingga ke lantai. Pantas saja panas betul!

"Tidak ada gunung berapi di dekat sini, Zane," jawab Carina. "Aku sudah mengenal hampir seluruh jalan di gua ini kok."

Selesai berkata begitu Carina mendadak berhenti hingga aku hampir menabraknya. "Beritahu dong bila kau ingin berhenti!" protesku.

"Tempat ini bisa jadi tempat latihan yang bagus untukmu," kata Carina sambil melihat ke sekeliling bagian gua yang panas itu.

"Memangnya ada apa di sini?" tanyaku yang juga ikut memperhatikan seluruh bagian gua yang tempat kami berdiri sekarang. Lorong gua yang sedang kami lalui memang sedikit luas. Tapi selain lava yang meletup-letup, hampir tak ada lagi yang bisa kulihat. Ia kan tak perlu sengaja latihan di tempat yang sepanas ini. Kecuali kalau ia memang berniat menyiksaku.

"Kau mundur dulu deh," pinta Carina tanpa menjawab pertanyaanku. "Perhatikan gerakanku."

Aku mundur dengan langkah gemetar. "Kita akan melawan apa?" tanyaku dengan suara tegang yang tak bisa kusembunyikan. Aku sempat ingin menyesali harapanku untuk bisa berteman dan berpetualang bersama Carina. Saat-saat seperti inilah yang tak kusukai.

Kali ini bahkan Carina sama sekali mengabaikanku. Ia berjalan menuju salah satu sumber lelehan lava di dinding dengan pedang terhunus. Alih-alih menebas dengan mata pedangnya, ia mengetuk dinding yang tak dialiri lava dengan gagang pedang. Carina melakukannya beberapa kali sampai aku melihat ada sesuatu yang keluar dari lubang tempat lava berasal. Makhluk itu menyeruak dari dinding sambil disertai bunyi mendengking yang bergema di seluruh lorong gua.

Aku berjengit menyaksikan makhluk tak biasa itu perlahan menampakkan wujudnya. Hampir saja aku menjerit melihat makhluk sepanjang setengah meter dengan bentuk seperti campuran cacing dan laba-laba merayap dan mendengking marah ke arah Carina. Makhluk itu berwarna senada dengan lava tempat tinggalnya. Kakinya yang banyak bergerak mondar-mandir mengelilingi temanku.

Carina melompat untuk menjauh dari makhluk yang ingin menyerangnya. Ia memasang kuda-kuda bertarung, bersiap melawan si laba-laba, atau entahlah apa nama monster itu. Sang monster berkaki banyak berdengking sekali lagi lalu menyemburkan lava tepat ke badan Carina, yang dihindarinya dengan satu gerakan cepat.

Aku mundur beberapa langkah dari mereka sambil menjauhi dinding gua. Monster itu terus mengdengking sebelum menyerang dengan semburan lava dari mulutnya. Semua serangan itu sama sekali tak mengenai Carina. Ia dengan gesit terus melompat dan berguling.

Lantai dan dinding gua yang terkena semburan lava dari mulut si laba-laba meleleh hingga menimbulkan lubang-lubang kecil. Aku bergidik ngeri membayangkan bagaimana bila semburan itu mengenai kulit.

Terus mengeluarkan lava membuat tubuh si laba-laba mulai kehilangan warnanya. Monster itu kini terlihat lebih redup daripada saat ia pertama kali keluar dari sarangnya. Suara dengkingan yang jauh lebih keras terdengar sebelum si monster melompat ke arah Carina. Ia menyambut serangan itu dengan satu ayunan pedang dan seketika tubuh monster tadi sudah terbelah dua tepat pada bagian kepala.

Aku hanya bisa bengong saja.

"Sebenarnya aku bisa langsung mengalahkan monster itu," kata Carina dengan wajah yang sama sekali tak terkesan. "Aku sengaja berlama-lama agar kau mempelajari cara mereka menyerang. Mereka akan selalu mengeluarkan suara sebelum menyemburkan cairan panas. Jadi kau harus bersiap-siap saat itu. Sekarang giliranmu. Ingat, kau hanya punya dua detik sebelum mereka menyemprotmu."

Dua detik… Bahkan kalau aku diberi waktu satu menit pun aku rasa masih belum cukup.

Walaupun begitu, aku memasang posisi di dekat aliran lava lain di dinding. Aku melihat ke arah Carina yang dibalasnya dengan anggukan untuk memberi semangat padaku. Sangat berhasil, kuakui.

Aku mengetuk dinding di dekat aliran lava beberapa kali dengan gagang saiku. Aku sedikit panik saat sang monster keluar lebih cepat dari yang dilawan Carina tadi. Aku langsung saja mundur tanpa menunggu ia keluar seutuhnya.

Walau memegang dua sai sekaligus, aku tetap tak merasa aman. Aku langsung melompat menjauh saat monster itu mendekat. Karena tak bisa mendekatiku, si monster mengeluarkan dengkingan keras dari jarak tiga meter.

"Sekarang, Zane!"

Aku melompat minggir dari semburan lava yang jaraknya hanya beberapa senti saja dari ujung hidungku. Sayangnya aku malah terpeleset saat mendarat hingga tak bisa langsung menyerang balik. Aku berguling ketika monster itu mendekat lagi.

Beberapa semburan lava lainnya berhasil kuhindari hingga aku sudah hafal akan pola serangan si monster. Aku berhasil membuat ia kehilangan warnanya.

"Ia akan melompat!" teriak Carina di belakangku.

Aku menarik nafas panjang sambil memegang erat kedua sai di tanganku, mengambil ancang-ancang untuk serangan terakhir. Kali ini si monster bahkan tak repot-repot merayap mendekat. Dari jarak yang cukup jauh, ia langsung saja melompat, mengarahkan mulutnya ke kepalaku. Aku hanya punya sekian detik saja untuk ini. Tanpa menghindar lagi, aku menusukkan dua saiku tepat ke arah mulut tempat si monster mengeluarkan lava. Monster itu terkulai lemas di ujung mata sai. Aku buru-buru menyingkirkannya.

Hal pertama yang kulakukan adalah menengok ke Carina. "Aku berhasil!"

Carina membalasnya dengan mengacungkan kedua jempolnya dan tersenyum lebar. "Aku tahu kau pasti bisa."

Aku tak tahu mana yang lebih membuatku bahagia, mengalahkan monster penyembur lava, atau dipuji Carina. Pipiku pasti sekarang sama merahnya dengan lava di yang dikeluarkan monster tadi.

Tak ingin kehilangan momentum, aku meminta Carina untuk membiarkanku melawan monster itu beberapa kali lagi, yang langsung disetujui olehnya. Ia memperhatikanku selagi aku terus mengalahkan beberapa monster dengan cukup mudah. Aku mengakhiri latihanku dengan mengalahkan dua monster sekaligus.

Carina tersenyum melihat kemajuanku dalam waktu yang sangat singkat itu. Beberapa kali ia memujiku yang membuat wajahku pasti lebih merah lagi.

Selesai dengan latihanku, kami melanjutkan perjalanan yang tertunda sebelumnya. Aku merasa sangat bersemangat setelah apa yang kulakukan tadi berhasil membuat Carina bangga. Perjalanan menjadi sunyi karena aku lebih banyak bermain dengan saiku sambil membayangkan aku menusuk monster-monster yang lebih berbahaya.

"Belum saja kau melawan rusa bersayap delapan," celetuk Carina.

Suasana kembali sunyi karena aku sibuk memikirkan bentuk monster yang Carina sebut.

"Oh ya, Carina," kataku untuk memecah keheningan, "bagaimana kau bisa mengerti apa yang Lug katakan?"

Terus terang saja aku penasaran karena Lug sama sekali tak berbicara bahasa manusia.

Carina melambatkan langkahnya. "Aku rasa suara yang ia keluarkan punya pola tersendiri, yang entah bagaimana bisa kumengerti. Mungkin kalau kau menangkap pola itu, kau juga akan paham apa yang ia bicarakan."

"Lalu untuk apa ia membuat senjata sebanyak itu?" tanyaku lagi, masih sama penasaran dengan sebelumnya.

"Aku tak tahu. Mungkin karena ia sudah tua, jadi ia membuat senjata hanya sebagai hobi saja." Carina tampaknya tak keberatan kutanya terus.

"Lalu bagaimana kau bisa bertemu dengannya? Gua ini kan sangat berbelit-belit." Aku memikirkan pertanyaan ini karena jalan yang kami ambil melewati banyak cabang dan persimpangan.

Carina mengangguk-angguk sabar. "Aku sudah bilang padamu sebelumnya, aku sudah lama di dunia ini. Aku sudah berkelana ke banyak tempat dan suatu hari tak sengaja bertemu dengannya. Kami berteman baik sejak saat itu."

Tak lama setelah Carina menjawab pertayaan terakhirku, kami tiba di  lorong yang hanya berupa tangga yang terus naik. Panjang sekali tangga itu sampai kakiku lemas. Aku iri dengan kekuatan Carina.

Aku minta istirahat beberapa menit untuk melemaskan kaki-kakiku, lalu lanjut berjalan lagi setelah kurasa sudah cukup kuat. Carina menunjuk sebuah pintu tingkap di langit-langit gua. "Satu jalan lagi lalu kita akan keluar."

Carina menyodok pintu itu dengan pedangnya hingga terbuka sedikit. Seutas tali muncul tepat di hadapan kami. Carina cuek saja menaiki tali itu, mendahaluiku. Aku menundukkan kepala agar tak ketahuan mengintip.

Giliranku. Aku lumayan kesulitan menaiki tali itu karena tak biasa olahraga. Carina sampai harus menarik tali itu agar aku bisa lebih mudah naik.

Ruangan yang kami masuki sangat sempit. Hanya cukup untuk kami berdua berdiri hadap-hadapan dengan jarak sekitar empat puluh senti. Walau begitu, aku hampir tak bisa melihat langit-langit ruangan ini. Juga hanya ada satu obor yang menerangi.

Belum sempat bertanya ke mana lagi kami setelah ini, mendadak obor mati, menyisakan kami dalam kegelapan total.

"Carina?" Suaraku kentara sekali panik. Aku tak siap dengan kegelapan ini.

Tak ada jawaban sama sekali. Aku bahkan tak merasakan kehadiran Carina, seolah ia ikut hilang ditelan kegelapan.

Aku melangkah maju sambil meraba-raba dinding. Saat itu juga ada seseorang yang mengalungkan tangannya di leherku.

Aku mendengar suara isakan yang kukenal.

"Ann?"