Chereads / Into The Dream / Chapter 9 - 09 - Tanganku Membengkak

Chapter 9 - 09 - Tanganku Membengkak

Aku tak merasa ada sensasi aneh saat tiba-tiba aku berpindah dari kamar apartemenku ke sebuah ruangan yang berisikan banyak senjata di dindingnya. Ruangan yang diterangi oleh cahaya obor ini kukenali sebagai gudang senjata Lug di dalam gua. Tempat yang kudatangi bersama Carina pada kunjunganku di hari sebelumnya.

Aku berusaha melihat ke sekeliling untuk mencari robot pembuat itu senjata di sini, tapi aku tak bisa memutar leherku untuk menengok ke arah lain. Pandanganku terpaku pada dua kapak besar yang disusun menyilang. Tanpa aba-aba apapun dari diriku sendiri, tubuhku bergerak ke arah kapak itu. Tanganku bergerak mengambil kedua kapak dari tempatnya dipajang. Meskipun kukira kapak itu akan sangat berat, aku tak mendapatkan kesulitan apapun untuk mengangkatnya. Kedua kapak itu sudah berada di tanganku, tapi apa yang akan kulakukan dengan kapak ini? Mengapa aku mengambilnya?

Lug, yang pasti merasakan kehadiranku, keluar dari bengkel kerjanya dan mengeluarkan bunyi decit keras. Sepertinya ia mengomel karena aku masuk tanpa izin dan mengambil senjata seenaknya. Namun, sekuat apapun aku berusaha membuka mulut untuk menyapa dan menjelaskan tindakanku padanya, tak ada suara yang keluar. Kakiku malah bergerak sendiri, aku berjalan pelan ke arah Lug sambil menenteng kedua kapak besar tadi tanpa mengacuhkan decit protes darinya. Semua kulakukan bukan karena kehendakku sendiri, tubuhku sama sekali tak bisa kukendalikan.

Melihatku terus mendekat, Lug merentangkan kedua tangannya sambil terus berdecit seperti seolah ingin mencegahku melangkah lebih dekat. Aku juga sebenarnya tak ingin mendekatinya. Bahkan sebenarnya aku tak ingin berada di sini. Tapi segigih apapun aku berusaha menghentikan langkahku, aku tak berhasil. Kedua kakiku terus melangkah ke arahnya. Sial! Bagaimana ini... Bagaimana caraku berhenti.

Beberapa langkah sebelum aku berada tepat di hadapannya, tubuhku tiba-tiba melompat sambil mengayunkan kedua kapak. Lalu dengan satu tebasan cepat, kapak itu memutus kedua tangan Lug yang tengah membentang. Alih-alih darah, ia mengeluarkan percikan listrik dari tangannya yang putus. Robot pria tua itu meraung kesakitan, mengeluarkan suara decit yang akan membuat siapapun yang mendengarnya bersimpati.

Terguncang dengan apa yang baru saja kuperbuat, aku hanya bisa berdiri diam di depan Lug yang sudah kehilangan dua tangan mekaniknya, merasakan keterkejutan yang sangat sulit dijelaskan. Selagi aku memandanginya, Lug berbalik lalu lari terbirit-birit menuju ruang bengkelnya. Tapi dengan ketiadaan dua tangannya, ia tak bisa membuka pintu ruangannya sendiri. Ia melirikku dengan tatapan ngeri seolah aku adalah makhluk yang sangat mengerikan.

Aku masih terus mencoba mengambil alih tubuhku. Berusaha agar aku tak melakukan hal yang lebih buruk lagi. Tapi tetap tak ada hasil. Tangan kananku malah mengacungkan kapak yang masih kupegang tepat ke arah kepala Lug.

Tidak… Tidak… Jangan!

Aku melempar satu kapak sampai menancap ke kepala si pria tua malang di depanku. Membuatnya roboh begitu saja tanpa bergerak sedikitpun. Ia mengeluarkan beberapa percikan listrik lagi sebelum cahaya di matanya padam. Aku membunuh Lug dengan senjata ciptaannya sendiri.

Apa yang baru saja kulakukan? Mengapa aku melakukannya? Sekali lagi aku mencoba segala cara agar aku bisa menggerakkan tubuhku sesuai keinginanku sendiri. Tapi tubuhku malah melompat lebih tinggi lagi, kali ini bahkan sampai menembus atap gua, dan dalam sekejap kini aku berdiri di atas lembah hijau, tak jauh dari pohon besar tempatku dipeluk Carina kemarin.

Sial, apa lagi sekarang...

Aku kembali melompat tinggi ke depan. Sekali lompatan saja, mungkin aku sudah mencapai jarak 50 meter. Aku melompat beberapa kali ke arah yang kusadari adalah kebun Peony! Untuk apa aku ke sana? Apakah peri itu bisa menolongku?

Seketika aku sadar.

Tidak, jangan ke sana, pikirku. Setelah membunuh Lug, aku tak ingin mencelakai Peony juga. Tapi sia-sia saja aku berusaha berontak. Aku terus melompat sampai tiba di depan pohon tempat tinggal Peony, lalu bersiul seperti yang Carina lakukan saat kami berkunjung ke sini. Si peri keluar menyambut kehadiranku. Ia terbang mengelilingi tubuhku seperti yang ia lakukan saat kami pertama kali bertemu.

Aku baru ingin menjulurkan tangan kananku untuk memberi tempat Peony mendarat, namun entah mengapa malah tangan kiriku yang bergerak menangkap tubuh Peony yang sedang terbang. Peganganku sangat erat sampai ia tercekik. Ia tak dapat berteriak atau bahkan berbicara sedikitpun. Nafasnya terengah-engah saat udara tak dapat masuk ke paru-parunya. Bukannya melonggarkan genggamanku padanya, tangan kiriku malah mencekik Peony dengan lebih keras lagi. Tubuhnya yang sudah lemas masih tak kulepas. Alih-alih aku malah menguatkan cengkeramanku padanya sampai tubuhnya meledak hancur menyisakan asap hijau yang memenuhi kebun.

PEONY!! PEONY!!!

Teriakan penuh derita itu sama sekali tak terdengar, tertahan begitu saja tanpa bisa mulutku gaungkan.

Tak sempat menyesali dan berduka atas kepergian Peony akibat perbuatanku sendiri, kakiku melompat tinggi lagi kembali ke arah lembah hijau. Aku tak tahu kemana aku dibawa kali ini. Aku bahkan hampir selalu menutup mataku menahan air mata akibat kematian Peony. Hanya itu yang bisa kulakukan. Aku punya firasat tentang tempat pemberhentianku selanjutnya.

Lompatan terakhir mendaratkanku di tempat yang sangat kukenal di dunia ini. Tebing berumput yang sudah 2 kali menjadi tempatku muncul saat masuk ke sini. Aku memandang ke arah teluk di bawah. Ombak di teluk seperti sedang mengamuk sekarang. Bahkan sampai hampir menyentuh tempatku berdiri. Angin juga bertiup jauh lebih kencang daripada biasanya, menyapu air mataku sebelum sempat terjatuh.

"ZANEEEE!!"

Suara seorang wanita berteriak memanggilku dari belakang. Suara Carina, wanita ahli pedang yang menyelamatkanku dari serangan bola meledak saat pertama kali tiba di dunia ini. Biasanya aku akan senang mendengar suaranya. Tapi untuk kali ini aku tak ingin ia ada di dekatku. Entah apa yang akan diucapkannya bila ia tahu aku telah membunuh dua teman baiknya?

Aku menengok ke arahnya yang sedang berlari ke arahku. Rambut birunya berkibar tertiup angin, menimbulkan pemandangan yang menyesakkan dada. Jangan ke sini Carina, batinku. Aku baru saja melakukan hal yang buruk pada teman-temanmu.

Saat tiba di hadapanku, ia berhenti sejenak. Ekspresi wajahnya terlihat amat sedih dan terpukul. Ia terus mengeluarkan air mata sambil sesenggukkan. Ada apa dengannya?

"Zane, aku merindukanmu,",isaknya.

Eh, apa? Apa Carina belum mengetahui nasib Lug dan Peony? Kenapa ia malah datang ke sini dengan tangisan dan bilang ia merindukanku? Tapi jangankan bertanya seperti itu, membalas ucapan rindunya pun aku tak bisa. Aku membisu di depan sosoknya yang sedang menangis, tanpa bisa melakukan apapun. Tanpa bisa menghiburnya sedikitpun.

Carina memelukku dengan erat. Berbeda dengan saat di pohon besar, kali ini rasanya sama sekali tak nyaman. Isak tangisnya terus terdengar. Suaranya pilu sampai aku juga ikut terus menangis bersamanya. Meski aku senang dengan pelukannya, untuk kali ini aku lebih memilih ia mendorongku dari atas tebing saja. Biarkan aku terseret ombak sampai ke tengah laut.

Masih dengan perasaan campur aduk, tanganku bergerak sendiri lagi. JIka keadaannya sedang tak dipenuhi keanehan seperti ini, tentu aku mengira aku akan balas memeluknya juga. Tapi lagi-lagi aku dibuat terkejut oleh diriku sendiri, tubuh di luar kendaliku ini. Aku menarik kedua sai yang entah bagaimana sudah terselip di ikat pinggangku. Aku tak sadar aku membawa kedua sai ini. Carina kelihatannya tak menyadari hal itu, ia terus memelukku sambil menangis.

Kutarik kedua sai keluar dari ikat pinggangku. Kini kedua ujung sai itu tepat berada di belakang punggung Carina. Siap menghujam menembus dadanya kapan saja.

Tidak… Jangan Carina juga. Jangan dia. Kumohon…

Percuma. Aku menancapkan kedua sai sampai menembus tubuhnya, membuat ia tersentak kaget dan seketika memuntahkan banyak darah. Wajahnya yang sudah terlepas dari pundakku kini melihat ke arahku seolah tak percaya dengan apa yang kulakukan padanya. Bukannya mencabut sai itu, tanganku malah menusuknya lebih dalam lagi. Dengan satu hentakan kuat, saiku kini menusuk dadaku juga. Tubuh kami disatukan dengan sai yang menembus tubuh kami berdua.

Aku mengeluarkan darah yang sama banyaknya dengan Carina. Sehingga sebentar saja kakiku sudah terasa lemas dan tak kuat berdiri menahan bobot tubuh kami berdua. Kepala Carina sudah terkulai lemas di pundakku.

Aku mundur beberapa langkah sambil berusaha mempertahankan keseimbangan. Sayangnya, sudah hampir tak ada tenaga tersisa untuk itu. Kami yang sudah tiba di ujung tebing kini terjatuh ke arah teluk dengan posisi Carina masih memelukku, sedangkan tanganku ada di pegangan sai. Tubuh kami membentur karang besar dan membuat kami terpelanting dengan keras, menimbulkan rasa sakit yang tak terbayangkan di tubuh, juga hatiku. Ombak besar lalu datang untuk menyapu kami ke laut yang dingin..

Jadi, ceritanya seperti ini saja ya? Aku merasa sedikit bahagia karena bisa disatukan dengan Carina sampai akhir. Ombak lain menerjang dan aku tak bisa melihat apapun lagi.

***

Aku terbangun dengan air mata berlinang membahasi pipi. Sekujur tubuhku lemas dan menggigil hebat. Aku juga merasakan sakit yang teramat sangat di tangan kiriku. Aku mencoba mengangkatnya agar bisa melihat apa yang menyebabkan rasa sakit itu. Tapi jangankan mengangkat, menggerakan ujung jarinya pun terasa sangat sulit. Terpaksa aku menggeser tubuh sedemikian rupa agar aku bisa melihat tangan yang sakit.

Walau hanya diterangi lampu tidur, aku bisa melihat tanganku makin membengkak dan berwarna seperti daging busuk. Dari lubang bekas gigitan tikus di Erdma, cairan menjijikan mengalir keluar. Baunya seperti tempat pembuangan sampah. Lama aku melihat tanganku tanpa tahu apa yang harus kulakukan. Aku hanya bisa melamun dengan beragam pikiran buruk mengisi kepalaku.

Kutengok jam menunjukkan pukul 4 pagi. Masih terlalu dini untuk bangun dan bersiap kerja. Tapi, dengan kondisi tanganku yang seperti ini, apakah aku bisa kerja? Sial, susah sekali menenangkan pikiranku. Belum selesai dengan mimpi barusan, sekarang aku sudah harus memikirkan hal yang lebih gawat lagi.

Karena terlalu banyak pikiran yang memenuhi otak, aku tak tidur lagi di sisa pagi itu. Aku merenung tentang mengapa aku melakukan sesuatu setega tadi di mimpiku. Aku sangat berharap kejadian yang tadi hanya mimpi buruk belaka, bukannya aku benar-benar masuk ke sana dan membunuh semua orang yang kukenal di dalamnya. Kuharap semua yang ada di Erdma masih baik-baik saja. Carina, Lug, dan Peony, mereka masih ada untuk menyambutku bila aku bisa masuk ke sana lagi nanti. Perasaan berdosa ini sangat sulit untuk dihilangkan. Bisa-bisanya aku melakukan itu semua. Bisa-bisanya aku tak punya kendali atas diriku sendiri.

Tapi, aku juga jadi menemukan sedikit sisi terang. Dua kali aku ke sana, aku selalu bisa mengontrol diriku sendiri. Aku bisa sebebasnya bergerak sesuai keinginanku. Mimpi tadi seperti mimpi buruk yang sesekali kualami, di mana aku tak punya kontrol penuh akan apa saja yang kulakukan. Lagipula, bisa saja tadi hanya mimpi buruk akibat luka di tanganku yang mendadak jadi sesakit ini. Tapi, kalau kalian pikir aku membayangkan kemungkinan terbaik ini dengan santai sambil tersenyum cerah, kalian salah besar. Aku memikirkan semua ini sambil menahan air mata akibat kesedihan dan rasa sakit di tangan kiriku.

Jam sudah menunjukkan pukul 5 pagi saat kuputuskan untuk mandi dan menjernihkan pikiranku. Biasanya cara ini akan berhasil. Meski pagi ini aku harus susah payah membuka pakaian tidur karena satu tanganku sulit sekali kugerakkan. Karena itu juga, aku menghabiskan waktu lama untuk mandi. Baru pukul 6 aku menyelesaikan kegiatan mandi pagiku. Pikiranku sudah sedikit lebih rileks.

Sebenarnya, aku ingin menghubungi Anastasia untuk bilang aku tak bisa bekerja karena tanganku seperti ini. Tapi mengetahui aku tak punya alasan kuat untuk menjelaskan kenapa tanganku begini, hal itu akan lebih merepotkan. Ditambah aku meninggalkannya begitu saja kemarin saat jam pulang kerja. Ia pasti akan berpikir macam-macam. Aku jalan dengan wanita lain, main game sampai pagi lagi, atau hal lain yang sama sekali tak mungkin kulakukan. Padahal aku bahkan tak keluar dari kamar.

Jadilah aku langsung berpakaian untuk siap-siap bekerja. Setelah perjuangan hebat memakai pakaian hanya dengan satu tangan, aku menyalakan ponselku untuk menghubungi Anastasia. Hari ini hanya ada 2 panggilan tak terjawab dan 7 pesan belum dibaca darinya, semua untuk memastikan apakah aku bermain game atau tidak. Aku menelponnya untuk memberi tahu bahwa aku sudah bangun dan benar-benar tak main game lagi, juga memintanya datang lebih awal ke kantor dan menemuiku di meja kerjaku. Ia tak bertanya banyak. Sepertinya ia tahu bahwa aku benar-benar serius kali ini.

Setelah selesai menelepon Anastasia, kuputuskan untuk membuat susu hangat untuk menemani pagi yang muram ini. Ini bukan pekerjaan yang sangat merepotkan untuk dikerjakan dengan satu tangan. Meski aku juga harus berjuang lebih keras sih. Tapi bagaimana lagi? Tangan kiriku masih sangat sakit dan sulit digerakkan. Walau rasanya sudah tak seburuk saat baru bangun tidur tadi.

Satu pertanyaan mendadak melintas di pikiranku. Bagaimana aku harus menyembunyikan kondisi tanganku?

Aku tak mungkin memakai sarung tangan di musim seperti sekarang. Hal itu justru akan menimbulkan kecurigaan dari teman-teman kantorku yang melihat. Ann sih bisa kujelaskan, tapi aku tak mungkin mengatakan kepada seluruh orang kantor mengapa aku begitu.

Aku akhirnya memutuskan untuk memakai jaket yang tak terlalu tebal, sekedar hanya untuk menyembunyikan tanganku saja di dalam sakunya.

Setelah meminum habis susu hangatku, merenungi mimpi semalam dan tanganku yang sakit, aku memutuskan untuk langsung saja berangkat kerja walaupun waktu masih menunjukkan pukul 7.15.

Perjalanan ke kantor kali ini memakan waktu 25 menit. Karena jam masuk masih sangat lama, aku yang pertama tiba di ruanganku. Baguslah, aku bisa menghindari obrolan tak perlu saat sedang bertindak seaneh pagi ini. Sebelum sampai dalam pun aku hanya menemui seorang penjaga keamanan yang tak banyak bicara. Sejauh ini tak banyak rintangan yang kulalui untuk menyembunyikan bekas luka mengerikan ini.

Kumanfaatkan kesunyian pagi hari untuk menyelesaikan pekerjaan yang tersisa kemarin. Ini sama sekali tak mudah. Aku perlu mengangkat tangan kiriku dengan tangan satunya agar bisa ada di atas keyboard komputer yang kugunakan. Beruntungnya lagi, aku masih bisa menggerakkan jariku sedikit. Cukup untuk menekan tombol-tombol pada keyboard. Meskipun tiap kali menekan tuts, ada sedikit rasa nyeri yang mesti kutahan.

Salah satu kelemahanku saat sedang fokus bekerja adalah aku sama sekali tak memperhatikan sekeliling. Hal ini kadang membuatku tak sadar seseorang sudah ada di belakangku. Ada seseorang yang menarik tangan kiriku yang bengkak dan hal itu membuatku menjerit keras karena rasa sakitnya tak bisa kutahan lagi.

"Diam, bodoh!" kata orang itu sambil menampar pipiku.