Aku mendengar teriakan seorang wanita, dan karena terkejut dengan suaranya, aku spontan menunduk untuk menghindari bola bersayap menghujam tubuhku. Belum sempat melihat siapa sang pemilik suara, aku mendengar ia berteriak lagi, "cari tempat berlindung!"
Tak perlu disuruh dua kali, aku segera berlari menuju sebuah batu besar tak jauh dari tempatku terjatuh tadi. Jantungku berdegup sangat kencang di persembunyianku saat itu, yang sebagian besarnya karena aku tak tahu apa yang sedang terjadi. Aku menunggu beberapa saat, tak berani menampakkan diri. Aku begitu terguncang.
Karena tak terdengar suara apapun setelahnya, aku jadi penasaran untuk mengintip dan melihat siapa wanita yang berteriak tadi. Tepat di tempatku berdiri sebelumnya, seorang wanita berambut biru menyala tampak sedang menghunus sebilah pedang dan mengayunkannya ke arah bola bersayap yang tadi hampir menyerangku. Dengan sekali sambaran saja ia berhasil mengenai salah satu bola itu. Anehnya, bola itu tak terbelah dua. Alih-alih tubuhnya berpendar menjadi kilauan cahaya yang kemudian meledak dengan bunyi letupan nyaring.
Melihat kawannya lenyap, bola bersayap lainnya memekik marah dan terbang cepat tak beraturan tepat ke arah wanita berambut biru itu berdiri. Sang wanita bergeming di tempatnya. Dengan tatapan lurus, ia menanti kawanan bola yang siap memborbardirnya dengan hujaman paruh mereka yang banyak. Mata sang wanita berpedang tak berkedip, menatap tajam ke depan. Saat burung itu hampir mengenainya, ia kembali mengayunkan pedang untuk mengenai salah satu bola yang menyerangnya. Menyebabkan ledakan kecil lain di pedangnya saat burung itu lenyap menjadi kilau cahaya. Kemudian ia berguling dengan gesit untuk menghindari serangan bola yang tersisa. Mereka terus memekik sambil menyerang bersamaan. Dari tempat persembunyianku, suara itu sangat mengintimidasi, tapi si wanita tampaknya sama sekali tak terpengaruh. Ia berkali-kali menghindar sambil menyabet bola yang berada dalam jangkauan pedangnya.
Tak sampai satu menit, bola tadi sudah seluruhnya meletup dan lenyap dari tebing itu.
Aku yang memandangi dari kejauhan hanya bisa terpukau, masih tak percaya dengan pertarungan yang baru saja kusaksikan. Menghadapi makhluk yang mampu bergerak cepat seperti tadi, wanita itu sama sekali tak terluka.
Ia melambaikan tangan ke arahku dan memanggil dengan nada ceria, "Kau mau sampai kapan bersembunyi di sana? Ke marilah."
Aku berjalan dengan ragu-ragu, takut bila ada bola bersayap yang luput dari sambaran pedang si wanita. Aku melihatnya memperhatikanku dengan penuh senyum.
Setelah berada di dekatnya, aku baru menyadari bahwa wanita ini hampir sama tingginya denganku. Sekitar 180 sentimeter. dengan aku hanya sedikit lebih tinggi darinya. Ia memakai pakaian terusan yang mirip gaun dan menutupi lutut serta pundaknya. Warna gaun yang ia kenakan mirip dengan rambutnya, biru menyala seperti kristal. Di pinggangnya terlilit sebuah sabuk berwarna putih yang bagian kepalanya berbentuk beruang dengan warna emas. Pedang yang ia gunakan untuk menghabisi kawanan bola tadi kini ia selipkan pada sabuknya tanpa sarung. Kakinya terbungkus sepatu kulit coklat yang menutupi mata kaki. Aku berdiri satu meter di depannya dan dari jarak sedekat ini, ia tampak cantik dan anggun sekali. Ia seperti orang yang hanya ada di dalam khayalanku selama ini. Matanya yang juga berwarna biru terbuka lebar, mengesankan kalau ia adalah orang yang ceria dan bersahabat, hidung mancungnya sangat sesuai dengan bentuk wajahnya yang memanjang sementara bibirnya berwarna merah dan tipis. Kuperkirakan ia seumuran denganku.
Aku rasa aku langsung mencintai wanita ini...
"Bagaimana? Aku hebat, kan?" Suaranya terdengar lembut dan renyah, berbeda dengan saat ia berteriak sebelumnya. Ia bertanya begitu sambil menyunggingkan senyum hangat padaku.
Aku... Aku... Mengapa ia sangat menawan sekali...
Lama aku terdiam karena tertegun oleh wajah dan suaranya yang amat memikat. Ini pasti mimpi yang sangat indah.
"Aku mengajakmu bicara, tahu," kata wanita itu. Bibirnya yang tadi tersenyum kini cemberut karena aku tak menanggapinya pertanyaannya.
Aku segera sadar dan menjawab cepat, "eh, ya. Kau hebat sekali." Lalu aku tersenyum canggung karena tak tahu apa lagi yang mau kukatakan. Aku benar-benar salah tingkah.
"Menarik," balasnya. "Kau tak mau tahu monster apa yang nyaris membahayakanmu tadi?"
"Oh, k-kau benar," jawabku terbata. "Memangnya makhluk apa tadi?"
"Aku menyebutnya sebagai bola meledak. Kau tahu, mereka berbentuk bola dan mereka bisa meledak," wanita itu menjelaskan.
Penjelasannya membuatku bengong. Gampang sekali ia memberi nama untuk makhluk tadi. "Bola meledak?"
Mendengar pertanyaanku, wanita itu merengut. "Ih iya, kan sudah kubilang tadi. Bola itu akan meledak begitu ia menyentuh tubuhmu. Mereka bisa membuatmu hancur berkeping-keping loh."
Aku bergidik ngeri dan merasa beruntung bola tadi tak sempat mengenaiku. Yang membuatku merasa lebih nyaman, wanita berpedang ini ternyata orang yang menyenangkan. Sifatnya jauh lebih hangat daripada penampilannya yang terkesan dingin.
"Kau sangat luar biasa," aku memujinya. "Kau melawan mereka dengan begitu mudah."
Ia hanya cengar-cengir dan lalu memberi kode padaku untuk duduk di tepi tebing. Aku langsung mengikutinya dan berdua kami memandangi matahari terbenam di bawah sambil merasakan hembusan angin laut yang menerpa wajah kami. "Bola meledak mudah dikalahkan. Fokus saja pada pergerakan sayapnya dan kau pasti bisa menghindari serangan mereka. Aku sudah sering melawan monster yang jauh lebih berbahaya. Gini-gini aku kuat loh." Ia mengatakan kalimat terakhirnya dengan penuh jumawa.
Aku sedikit kaget dengan perkataannya. "Eh, apakah di sini banyak monster lain?"
"Kau pasti bukan dari dunia ini ya?" tanyanya. Ia tak menjawab pertanyaanku.
Aku tersentak, aku tahu bola-bola tadi bukan makhluk yang bisa kutemui di tempat lain, tapi apakah sekarang aku ada di dunia yang berbeda?
"Memangnya kita ada di mana sekarang?" tanyaku sambil mengerutkan kening, kebingungan.
Raut wajahnya terkesan santai saja, seakan ia sudah tahu duluan kalau aku baru pertama kali ke tempat ini. "Benar kan. Dari seorang teman, aku dengar dunia ini bernama Erdma. Kadang-kadang ada manusia lain yang mendadak muncul sepertimu sekarang. Aku sudah menduga sejak pertama kali melihatmu."
"Jadi, aku bukan yang pertama kali ke sini ya?" aku kembali bertanya.
"Bukan. Aku tak ingat sudah ada berapa orang yang datang ke Erdma. Tapi bisa kupastikan kalau mereka semua lari saat ada bahaya mendekat, bukan malah menyambutnya dengan gembira," katanya sambil menatap langit dan siul-siul. Meledek tingkah lakuku.
"Iya, iya. Kuakui aku memang bodoh tadi. Aku kan tak tahu bola meledak itu berbahaya." Perkataanku disambut tawa darinya. Sial. "Lalu di mana orang-orang tadi? Apa mereka tinggal di sekitar sini?" aku lanjut bertanya.
"Tidak," ucapnya dengan nada tak seriang sebelumnya. "Mereka tidak pernah tinggal untuk waktu yang lama. Mereka akan memudar seiring waktu berjalan dan aku tak pernah bertemu mereka lagi setelahnya. Kau ini sebenarnya berasal dari mana sih? Kadang aku juga ingin memudar seperti kalian untuk tahu jawabannya."
Jelas saja aku tak bisa langsung menjawab pertanyaannya. Aku masih belum tahu tempat seperti apa Erdma ini sebenarnya. Dari tempat kami duduk sekarang, Erdma tampak sama seperti dunia yang kutinggali. Pemandangan di atas sini memang menakjubkan, tapi itu saja. Hanya kehadiran bola bersayap tadi yang membuatku agak yakin kalau aku sedang tak berada di dunia yang kutinggali.
"Aku tak tahu," jawabku. "Mungkin aku tak berasal dari dunia yang sama dengan dunia ini. Rasanya sedikit berbeda."
Wanita di sebelahku terdiam memandangi lautan luas di depan kami, dan tak mengucapkan apa-apa lagi.
Aku memandangi wajahnya sambil berpikir bagaimana ia bisa sampai terjebak di dunia yang menurutnya penuh dengan monster berbahaya. Sekilas aku melihat wajah yang tampak kesepian. Ia pasti sering menantikan kehadiran manusia lain sebelumnya. Tapi apakah benar aku akan memudar dan tak pernah bisa menemuinya lagi? Meskipun langsung disambut oleh bahaya di menit pertamaku berada di Erdma, aku menyukai pemandangan di sekitar sini. Lautan yang terbentang luas, matahari terbenam, serta awan di langit yang juga tak kalah mempesona. Meski terkesan normal-normal saja, aku belum pernah melihat yang seperti ini sebelumnya. Begitu juga satu pemandangan lagi yang paling indah yang pernah kulihat, wanita berambut biru di sebelahku.
Tidak... Tidak... Aku memikirkan apa sih!
Aku menggelengkan kepala berusaha menyingkirkan pikiran yang memenuhi kepalaku. Aku sudah punya Ann, dan aku amat mencintainya. Tapi kalau melihat sifat sang wanita berpedang yang ternyata sangat hangat dan menyenangkan, membuatku memikirkan bagaimana bila aku tak pernah bertemu dengannya lagi. Aku perlu bertanya lebih banyak padanya mengenai Erdma dan juga tentang dirinya. Aku lupa satu pertanyaan paling penting.
"Err, omong-omong, siapa namamu?" tanyaku.
"Panggil saja aku Carina," jawabnya. "Aku juga belum tahu namamu loh."
Benar, bisa-bisanya kami belum berkenalan sejauh ini. Aku terlalu fokus pada cerita dan keindahan wajahnya. "Aku Zane. Ceritakan dong bagaimana kau bisa ada di dunia ini."
Carina mengangguk-angguk kecil. "Baiklah, Zane. Bagaimana, ya? Aku hanya ingat aku terbangun di pinggir pantai dalam keadaan lemah dan kelaparan. Itulah pertama kalinya aku berada di Erdma. Selebihnya aku berpetualang saja dan bertemu makhluk lain yang jadi temanku."
"Lalu, kenapa kau tidak memudar seperti manusia lainnya?" aku bertanya lagi.
Carina melayangkan matanya ke arah langit. "Itulah yang ingin kuketahui," katanya. "Tapi karena tak memudar, kugunakan kesempatan itu untuk mencari tahu lebih banyak lagi tentang Erdma sampai aku hampir mengenali seluruh tempat di sini. Selain monster berbahaya, Erdma punya banyak sesuatu yang indah loh." Carina menutup ceritanya dengan satu senyuman manis.
Senyum itu pasti salah satu hal yang paling indah di dunia ini...
Cerita tadi membuatku berpikir lagi. Bagaimana bila aku tak memudar dan kembali ke dunia asalku? Bagaimana bila aku turut terjebak di Erdma dan harus mencari jalan keluar bersama Carina? Bagaimana perasaan Ann? Aku menimbang sisi baik dari tiap kemungkinan. Jika aku kembali, aku punya Ann. Jika terjebak, aku akan bersama Carina. Seketika rasa khawatirku pudar dan aku senyum-senyum sendiri membayangkan bahwa dua kemungkinan itu bisa sama baiknya.
"Kau membuatku curiga, tahu," Carina mengagetkanku dari lamunan. "Aku tak tahu ya, tapi bila kau tak bisa balik lagi ke duniamu, aku pasti akan jadi temanmu, dan semoga saja seperti itu." Ia mengatakan kalimat terakhirnya dengan pelan dan malu-malu, yang membuat wajahnya terlihat makin cantik.
Aku sama sekali tak mengira di malam kencan gagalku bersama Ann, aku malah bertemu dengan Carina. Aku tersenyum padanya. Kurasa sama sekali bukan hal yang buruk untuk berteman dengan wanita sehebat Carina.
"Tapi apa benar tak ada manusia lain di Erdma?" tanyaku. Aku khawatir juga bila memang kami satu-satunya di dunia ini. Aku takut bila sesuatu terjadi padanya, aku sama sekali tak bisa membantu.
Carina mencabut satu helai rumput kering dan meniupnya hingga terbawa angin laut. "Tidak ada, bisa dibilang hanya ada kita saja saat ini. Manusia lain yang sudah memudar tak pernah kutemui lagi. Bahkan setelah aku berkeliling mencari ke seluruh penjuru."
Hatiku mencelos mendengarnya. Aku sampai tak ingin kembali ke dunia asalku hanya demi bisa menjadi temannya dan memecahkan misteri yang menyelubungi Erdma, begitu pula dengan misteri mengapa ia tak bisa keluar dari sini.
Aku baru sadar dari lamunanku saat Carina mendekatkan wajahnya. "kau merasa bersalah ya bila tak bisa kembali ke sini lagi untuk menemaniku?" tanyanya dengan tatapan yang sangat jahil.
"Kau bisa membaca pikiranku ya?" aku balik bertanya. Pertanyaan yang hanya dibalas dengan tawa kecil.
Entah sudah berapa kali aku dibuat tersipu malu olehnya. Meski begitu, aku juga senang melihatnya bahagia.
Kami kembali terdiam sambil memandangi matahari yang kini sudah hampir sepenuhnya tenggelam, membuat langit menjadi lebih indah lagi. Selama itu pula aku memikirkan petualangan seperti apa yang akan kuhadapi bila aku memang ditakdirkan untuk berteman dengannya. Jika tidak bisa seperti itu, aku juga perlu memikirkan cara untuk berbaikan dengan Ann. Yang mana saja pasti sulit. Aku kadang lebih nemilih melawan naga yang ada di game yang kumainkan dibanding harus berurusan dengan Ann saat ia sedang marah.
Karena aku tak mengatakan apa-apa, Carina menanyaiku tentang bagaimana awalnya aku bisa terdampar di Erdma. Dari caranya bertanya, ia pasti sudah sering menanyakan hal ini kepada orang lain sebelumku.
Aku bercerita tentang pertengkaranku dengan Ann di restoran hingga kejadian selanjutnya di mana aku berbaring tanpa bisa tertidur karena memikirkannya. Aku sebenarnya ingin bilang kalau Ann itu hanya sekedar teman, tapi lidahku malah keceplosan bilang ia adalah pacarku. Aku takut Carina cemburu atau merasa aku bukanlah orang yang setia. Memang terdengar percaya diri sekali, tapi--
"Pacar itu apa sih?"
Pertanyaan Carina membuatku ternganga. Aku tak menyangka ia akan menanyakan pertanyaan sepolos itu. Tapi bila dipikir-pikir lagi, wajar saja ia tak tahu, ia kan hampir selalu sendirian di dunia ini.
"Pacar itu seperti teman dekat," jawabku singkat karena tak tahu bagaimana harus menjelaskannya.
Carina berpikir sejenak. "Kalau begitu kau mau jadi pacarku tidak?"
Aku merasa amat berdosa padanya...
Semoga saja Ann tak pernah mengetahui apa yang sudah terjadi di sini antara aku dan Carina. Ia pencemburu berat!
"Tadi kau bilang kau dengar tempat ini bernama Erdma ya? Dari siapa kau mendengarnya?" Aku buru-buru mengalihkan pembicaraan tanpa menjawab pertanyaannya.
"Aku punya beberapa teman kecil," Carina menjawab. "Mengapa aku tak mengajakmu menemui mereka ya? Kenapa sih kau hanya mengajakku mengobrol saja dari tadi?"
"Jangan salahkan aku," aku memprotes. "Aku kan tak tahu kau kau punya teman yang bisa kau tunjukkan."
Rasa penasaranku mulai muncul. Seperti apa rupa teman kecil yang Carina maksud? Jika Carina benar, sudah jelas teman kecil ini bukanlah manusia. Lalu apa?
"Ya sudah," kata Carina. "Ayo berangkat sebelum benar-benar gelap, atau kau akan diterkam oleh monster besar." Ia lalu bangkit dan langsung pergi meninggalkanku begitu saja.
"Tunggu aku dong!" Aku berlari mengejarnya.
Setelah berjalan beberapa saat, Carina membawaku menuju sebuah jalan kecil yang tersembunyi di balik semak menuju ke bagian bawah tebing. Jalan itu sendiri begitu kecil dan tak rata sampai di beberapa bagian aku harus memiringkan badanku sedemikian rupa agar bisa melaluinya. Carina terus berjalan di depanku tanpa kesulitan sama sekali. Sementara di belakangnya, aku berjalan dengan sangat hati-hati agar tak tergelincir. Salah langkah sedikit saja, batuan karang di bawah siap menyambut kepalaku untuk dipecahkan.
Aku merasa makin lama semakin dingin saja di bawah sini. Mungkin karena sudah hampir malam. Aku lupa menjelaskan, aku terbangun di dunia ini dengan pakaian yang kupakai sebelum tidur, piyama putih berlengan pendek dan celana panjang dengan warna yang sama. Aku juga tak memakai alas kaki! Tentu saja itu sangat menyiksaku di jalan berbatu ini.
Sekian lama berjalan, kami sampai di sebuah jalan yang terputus karena longsor dan menyisakan celah sepanjang satu setengah meter. Tanpa aba-aba apapun, Carina melompati celah itu. Ia berhasil sampai di sisi seberang dengan mulus. Aku hanya memandanginya dari tempatku berdiri. Aku tak bisa mengikutinya. Jika tak berhasil mencapai sisi lainnya, aku akan terjatuh sekitar lima belas meter menuju karang yang hampir tak kelihatan lagi.
Dari ujung satunya, Carina tersenyum girang padaku. "Mudah, kan? Kau tinggal melompat saja dan kau sampai deh."
Aku sangat ingin menempeleng kepalanya. Sayangnya untuk melakukan itu, aku juga harus melompat terlebih dahulu.
Aku tak mau terlihat seperti pengecut di depan Carina. Mungkin bila kucoba memang semudah yang ia lakukan tadi. Dengan satu tarikan nafas panjang, aku mengambil ancang-ancang untuk melompat. Setelah menghitung sampai tiga, aku mendorong tubuhku ke depan untuk berlari dan melompat.
Saat berada di udara, aku merasa lompatanku sangat bagus. Aku yakin aku bisa sampai di sisi seberang dengan mudah. Saat itulah aku mendengar sesuatu yang tak bagus.
"Zane, tubuhmu memudar!"
Sungguh pemilihan waktu yang tepat, Carina. Sangat tepat. Aku jadi semakin mencintaimu deh.
Karena terkejut, aku terpeleset saat mendarat hingga tubuhku terdorong ke belakang, ke arah celah yang terbuka.
Carina berusaha menarik tanganku namun sayangnya sudah terlambat. Aku terjatuh tanpa bisa ditahan lagi.
Tinggal tiga meter sampai kepalaku membentur sebuah karang besar yang siap meretakkan tengkorakku saat begitu aku mendarat.
Dua meter... Oh, aku akan merindukan Carina.
Satu meter... Aku panik dan berteriak kencang.
"AAAAAAARRRRRRRGGGGH!"
Sepuluh sentimeter dan petualanganku segera berakhir...
Kepalaku menghantam karang tajam.