"Apakah sudah selesai?"
Suara yang muncul dari belakang membuat Diah terkejut, ia membalikan tubuhnya dan melihat kakaknya berdiri di belakangnya. "Mas Indra."
Yah dia adalah kakak keduanya yang bernama Indra dan sebentar lagi akan menikah setelah ia memperkenalkan calon istrinya.
"Butuh bantuan?" tawar Indra dan berjongkok di dekat adiknya.
Diah menggelengkan kepalanya. "Tidak perlu, sebentar lagi selesai."
Indra menatap adiknya yang tengah memasukan pakaiannya ke dalam koper dengan pandangan dalam, dia mengangkat tangannya dan mengelus kepala Diah. "Jangan khawatir sekolah itu cukup baik dan aku akan meminta temanku untuk memperhatikanmu."
"Jangan merepotkan orang lain." Diah menarik resletingnya dan menutup kopernya. "Aku bisa mengurusi diriku sendiri."
"Tidak apa-apa, belajarlah dengan baik dan tidak perlu terlalu perduli dengan nilaimu, jangan sia-siakan masa mudamu." Dengan suara lembut Indra menasehati adiknya agar tidak terlalu fokus dengan belajar. "Tidak apa-apa nilaimu jelek lebih baik utamakan kebahagiaanmu sendiri."
Diah mengangguk pelan dan berjalan menuju ranjangnya untuk berbaring kemudian menutupi tubuhnya dengan selimut.
"Selamat malam," ucap Indra lalu mematikan lampu dan menutup pintu kamar dengan pelan.
oOo
"Eh mbak Nadia," seru Diah sedikit terkejut ketika melihat calon istri kakaknya tengah berdiri di dekat mobil.
Dengan senyum ramah Nadia membalasnya. "Pagi Diah."
"Ah pagi mbak," balasnya dan melihat kakaknya tengah membuka bagasi mobil dan memasukan kopernya.
"Mas mengajak mbakmu untuk mengatarmu ke sekolah baru," sahut Indra sambil menutup pintu bagasinya.
"Mbakmu?" Diah menaikan sebelah alisnya. "Mas belum resmi tapi sudah seenaknya mengklaim mbak Nadia."
"Yah ini latihan sebelum resmi," elak Indra.
"Halah bilang aja mau kencan, kenapa harus pakai alasan untuk mengantarkan ku ke sekolah," ujar Diah sambil memutar matanya.
"Ayo cepat masuk ke mobil mumpung jalanan masih sepi." Indra mengedikan dahunya dan menyuruh adiknya segera masuk ke mobil dan tentunya dia memintanya duduk di kursi belakang sedangkan kursi depan untuk Nadia.
"Setelah menemukan istri, adiknya malah ditelantarkan," cibir Diah dan masuk ke kursi belakang.
Indra mengabaikan cibiran adiknya dan masuk ke kursi depan kemudian menyalakan mobil untuk meninggalkan halaman rumahnya.
Sejujurnya Diah bingung dengan kakaknya Indra, reputasinya yang suka gonta-ganti pacar cukup terkenal dikalangan pertemanannya dan Diah juga mengetahuinya. Indra pernah berkata hal tersebut ia lakukan karena ia ingin mengenal karakter perempuan-perempuan itu sebelum memutuskan menikah dan menghabiskan masa tua. Dia tidak membutukan perempuan yang sempurna tapi hanya butuh perempuan yang mau menghabiskan waktu dengannya.
Tetapi Diah tidak menyangkan Indra akan memilih Nadia sebagai pasangannya. Tidak ada masa pedekate maupun pacaran. Mereka langsung memutuskan menikah setelah mengutarakan perasaan masing-masing. Bahkan Nadia mengatakan segala kekurangannya di hadapan orang tuanya agar mereka mempertimbangkan kembali kebahagianan Indra jika mereka menikah.
Orang tuanya cukup puas dengan kejujuran Nadia dan menyetujui pernikahan mereka, tidak apa-apa jika dia memiliki kekurangan lagipula tidak ada yang sempurna di dunia ini. Mereka menghargai kejujurannya dan sikap dewasanya yang cukup cocok dengan Indra.
Setelah perjalanan yang memakan waktu hingga 1 jam mereka akhirnya sampai ke sekolah Diah yang baru. Sekolah ini bernama SMA Bunga Bangsa yang berada di pinggir kota namun memiliki fasilitas yang cukup baik dan memiliki asrama bagi siswa yang jarak rumahnya jauh.
"Sekolah yang bagus," ujar Nadia ketika melihat bangunan sekolah yang besar di bandingkan sekolahnya dulu.
Indra menyapa satpam dan mengatakan tujuannya agar memperbolehkannya untuk masuk, lalu satpam tersebut dengan ramah menganggukan kepalanya lalu membuka gerbang agar mereka bisa masuk. Setelah memarkirkan mobil mereka akhirnya keluar dan Indra mengeluarkan koper Diah dari bagasi.
"Kalian pergilah ke asrama dulu dan aku akan menemui temanku." Indra menyerahkan peta sekolah pada Nadia.
Nadia mengangguk mengerti dan mengambil alih koper Diah dari tangan Indra.
"Jika sudah selesai aku akan menunggu kalian di koperasi dekat kantin lantai dua."
"Mas sudah kukatakan jangan melakukan hal yang merepotkan." Diah mengerutkan dahinya tidak senang karena merasa seperti anak kecil yang butuh pengawasan ekstra.
"Dengarkan kata masmu, aku hanya ingin ada yang memperhatikanmu dan tidak ingin kejadian dulu terulang kembali," kata Indra tegas.
"Ta-tapi ..."
"Tidak apa-apa dengarkan masmu, semua ini demi kebaikanmu juga." Suara Nadia membujuk Diah agar menerima pengaturan kakaknya. "Tapi jangan lakukan hal yang berlebihan Indra," katanya kemudian menatap Indra.
"Aku mengerti." Indra tersenyum senang karena calon istrinya mendukungnya.
Diah menghela nafas dan akhirnya menerima. "Ok, tapi jangan berlebihan mas."
Indra mengangguk mengerti dan segera meninggalkan mereka untuk menemui temannya yang berprofesi sebagai guru di sekolah ini.
"Ayo ke asramamu," ajak Nadia sambil melihat peta di tangannya.
"Iya mbak," jawab Diah dan berjalan di sampingnya.
oOo
Seorang pemuda dengan kemeja yang tidak dikancingkan sepenuhnya berjalan memasuki kantin sambil membawa jas yang tersampir dibahunya. Kantin masih terlihat sepi karena ini memang masih jam pelajaran, tetapi pemuda tersebut dengan santainya memasuki kantin tanpa khawatir.
Ia melihat teman baiknya tengah duduk di meja sebelah utara dan segera mendekatinya.
"Dimana Rey?" tanya pemuda itu dan meletakan jasnya dikursi.
"Belum datang," jawab temannya sambil meminum jusnya.
Pemuda itu mendengus kesal dengan tabiat teman satunya yang sangat sulit dibangunkan, bahkan mereka harus bekerja sama untuk membangunkannya hingga membuat kerusuhan yang membuat penghuni asrama lain terganggu. Tetapi sayangnya dia tak kunjung bangun dan membuat mereka menyerah lalu meninggalkannya.
Dia cukup kagum dengan ibunya yang bisa membesarkan anak seperti itu.
"Sialan gue ingin meninju muka jeleknya," kata pemuda itu sambil mengepalkan tangannya.
"Salah lo juga gak periksa pekerjaan yang dia tawarkan dan asal trima," sahut temannya acuh.
"Gue gak memiliki waktu untuk mencari perkerjaan lain kerena mereka hampir mengetahui pekerjaan asli gue," desisnya tajam dan memandang langit penuh kebencian.
Temannya terdiam ketika mendengar perkataannya, dia tahu apa yang terjadi padanya dan cukup bersimpati dengan hidupnya hingga tidak bisa melakukan sesuatu dengan bebas. Ia harus menyembunyikan kemampuan aslinya agar tidak menarik perhatian 'mereka' karena jika tidak dia akan terbawa ke dalam arus deras yang penuh bahaya.
"Cih pasti 'mereka' suka sekali melihat hidup gue menderita." Pemuda itu menyambar jus temannya dan membuang sedotan kemudian meminum isinya.
"Itu punya gue! Beli aja sendiri!" ujar temannya kesal.
"Malas Bi," jawab pemuda itu singkat.
"Sialan lo Fan,"
"Kemarin lo kemana? Kenapa gak balik ke asrama?" tanya Abi sambil menaikkan sebelah alisnya.
Rifan meminum jus hingga tetes terakhir dan membuat cup-nya ke dalam tempat sampah. "Setelah kemarin dipecat, gue pergi ke warnet."
"Eh lo di pecat?" Abi menatapnya tidak percaya.
"Ini semua gara-gara cewek yang memberikan ulasan buruk ke gue," katanya sambil menggebrakan meja.
"Mungkin pelayaanan lo kurang memuaskannya" celetuk Abi dengan nada ambigu.
"Sialan omongan lo terlalu ambigu!" Rifan menatapnya tajam penuh peringatan.
"Sebenarnya apa yang terjadi?" tanya Abi penasaran.
Pemuda itu menceritakan hal yang dia alami kepada temannya, hingga menyebutkan sikap 'ramahnya' untuk 'membantu' tapi malah dibalas dengan ulasan buruk yang diberikan gadis itu. Oleh sebab itu ia tidak berkonsentrasi dengan benar dan membuat pekerjaannya berantakan sehingga dia dipecat.
Abi yang mendengar ceritanya tertawa dengan bebas didepan wajahnya hingga membuatnya kesal.
"Diam!" bentak Rifan dengan tatapan tajam.
"Lagipula lo mengejeknya pendek dan gemuk pantas saja dia seperti itu," kata Abi di sela-sela tawanya. "Dengar, jangan pernah membahas tinggi badan apalagi berat badan pada cewek kalau enggak ingin habis," nasehatnya.
"Ketularan Rey ya?" Rifan mengalihkan pandangannya karena tidak ingin melihat wajah temannya yang menyebalkan.
Pandangannya tanpa sengaja jatuh pada sosok yang terlihat akrab dan tidak bisa hilang dari pikirannya, ia mengerutkan keningnya bingung karena melihatnya tengah duduk di kursi taman dengan koper di sebelahnya.
"Eh Bi SMP sebelah lagi di renovasi ya?" Ia menendang kaki temannya yang masih menertawakannya.
Abi mencoba menghentikan tawanya dan menjawab. "Seingat gue enggak."
SMA mereka dan SMP sebelah terkadang bergabung jika salah satu bangunan memperlukan renovasi dan membutuhkan gedung untuk tempat mengajar atau keperluan lain.
"Lalu kenapa anak SMP itu ada di sini?" Ia menunjuk pada gadis kecil yang tengah memainkan ponselnya. "Dia Bi yang memberikan ulasan buruk ke gue."
"Yang mana?" Abi cukup penasaran dengan gadis yang memberikan ulasan buruk kepada Rifan.
"Oh ya gue lupa lo enggak bisa mengenali wajah orang lain," katanya dengan tajam penuh sindiran.
"...."
"Sialan! jika lo bukan teman gue, pasti gue akan menghajar lo hingga babak belur." Abi menarik kerah pakaiannya dan memberinya tatapan peringatan kemudian meninggalkan Rifan penuh amarah.
"Yeeee... ngambekkan." Rifan menyeringai melihat kepergian temannya setelah mendengar kalimat yang tidak dia sukai.
Pemuda itu mengalihkan pandangannya kembali pada gadis itu dan melihat ada orang yang datang menghampirinya sambil membawa kertas. Dia menompang wajahnya dengan tangan kanan dan melihat mereka tengah berbicara, ia menarik sudut bibirnya ketika berpikir bahwa gadis itu akan berada di sekolah ini.
Sepertinya dia bisa membalas dendam kecilnya.
Tiba-tiba perempuan yang berada disamping gadis itu menoleh ke arah lantai dua dan melihat keberadaan Rifan. Hal itu membuat tubuh Rifan membeku dan refleks membalas tatapannya, ia menyipitkan matanya dan terlihat menyelidik ke arah perempuan itu.
"Ada apa kak Nadia?" Suara gadis disampingnya membuat perempuan itu mengalikan pandangannya.
"Tidak apa-apa Diah, ayo ke kamar asramamu kemudian bertemu dengan mas Indra." Perempuan itu mengalihkan perhatiannya dan berjalan mendahului Diah.
Diah bingung dengan apa yang terjadi dan melihat ke arah lantai dua namun tidak melihat apa-apa, ia mengedikan bahunya tidak perduli dan berjalan mengikuti Nadia.
Di sisi lain, Rifan tengah bersembungi di balik pagar gelap yang membatasi pandangan orang dari lantai bawah dengan lantai atas dan mengatur nafasnya yang terengah-rengah karena ketahuan mengawasi seseorang.
"Siapa perempuan itu?"
-TBC-