Di belahan dunia mana pun, tidak mungkin seorang laki-laki dan perempuan bisa sahabatan. Percaya sama aku. Aku nih, aku sudah banyak mendengar cerita tentang hal semacam ini. Faktanya pasti seperti ini, salah satu dari mereka pasti ada yang naksir, dan kenapa juga aku harus mengalaminya. Kenapa nggak dimulai dengan sebuah kuis? Misalnya, sebuah kota akan terkena hujan jika ditutupi awan cumulonimbus, betul atau salah? Yang ada malah muncul pertanyaan, jika aku mengungkapkan perasaan apakah ini akan merusak persahabatan?
Krisna, ternyata juga bisa mengeluh.
***
Tidak ada yang lebih menyenangkan daripada menikmati pagi di Jogjakarta. Menikmati pagi dengan segelas kopi dan ditemani gorengan yang dibuat sendiri.
Ehm, ralat-ralat.
Lebih tepatnya gorengan yang dibuatkan oleh Budhe Mus. Baginya di kota ini, ia tidak merasa terburu-buru atau sedang dikejar sesuatu.
Kedatangannya di kota ini terjadi saat dia menginjak bangku SMA. Oleh orang tuanya ia ditugaskan belajar mandiri sambil menemani pakdhe dan budhenya yang untuk sementara ditinggal anak-anaknya merantau keluar kota.
Advis Krisna Atmaja. Datang dari Jakarta meninggalkan kedua orang tua dan satu adik perempuan yang saat itu mau memasuki SMP. Setelah beberapa tahun berlalu, kini Krisna sebentar lagi akan pergi dari Jogja.
Padahal rasa-rasanya ia baru kemarin datang ke kota ini. Tapi tahu-tahu sekarang ia sudah tumbuh 171 cm. Rambutnya juga sudah dipotong rapi. Sangat jauh dari sebelumnya, berambut gondrong seperti mahasiswa tingkat akhir kebanyakan.
"Jadi ngambil ijazah ke kampus jam berapa?"
"Oh. Paling habis ini, pakdhe," kata Krisna sedikit kaget sembari memberi ruang untuk pakdhenya yang ingin bergabung di teras rumah. Sekarang terdapat dua gelas kopi di atas meja. Sementara itu, perlahan gorengan mulai hangat.
"Tadi malam ibumu telfon, Kris."
"Oya? Ngobrolin apa pakdhe?"
"Ya, biasa. Nanyain soal sawah, sekarang lagi panen apa, sama nanyain kabar kamu. Kayaknya dia kangen."
"Haha. Dia emang gitu sih, pakdhe. Padahalkan pas wisuda saja ketemu."
"Ya, wajar sih Krisna. Namanya juga kangen. Hahaha," tawa Pakdhe Mus memecah.
Obrolan di teras rumah memang cukup sering terjadi (kalau Krisna tidak bangun kesiangan juga sih). Bahkan Krisna sering diingatkan pakdhe untuk menyelesaikan skripsi di teras ini. Biasanya kalau sudah begitu Krisna hanya bisa membenarkan posisi duduk sambil mengunyah gorengan. Dikejar untuk segera lulus adalah hal paling tidak menyenangkan bagi seorang mahasiswa.
Di teras itu juga Pakdhe Mus sering melakukan serangan tajam, mengingatkan Krisna untuk segera mengerjakan revisian. Maklum saat itu Krisna semakin malas-malasan setelah dihabisi dosen penguji ketika ujian. Bahkan ia sempat kepikiran jangan-jangan sedang salah jurusan. Mungkin baiknya dulu mengambil pertanian, bukan malah sok-sokan mempelajari kejiwaan.
Tapi sekarang tampaknya obrolan terdengar lebih santai. Tidak ada lagi topik yang membuat keduanya merasa canggung.
"Oya kamu sudah beli tiket pulang, le?"
"Belum pakdhe."
"Lho-lho, kok belum? Harus segera beli lho, Krisna."
"Iya pakdhe."
"Atau jangan-jangan masih betah di Jogja?" Tanya budhe tiba-tiba menyusul sambil membawa gorengan yang masih tersisa di wajan.
"Hehe ya gitulah, budhe," jawab Krisna dengan polos.
"Bapak mau berangkat jam berapa? Nanti kesiangan lho," tanya budhe kepada suaminya. Sekarang obrolan sedikit bergeser. Karena ini masa tanam padi, jadi Pakdhe Mus harus pergi ke sawah untuk memupuk tanaman.
Sebaliknya, obrolan dengan pakdhe dan pertanyaan budhe barusan, membuat Krisna mulai kepikiran. Kuliah sudah selesai dan tinggal beberapa hari lagi ia akan meninggalkan Jogja. Tanpa ia duga ingatan-ingatan kecil tanpa jeda mulai bermunculan di kepala.
Krisna ingat pertama kali memutuskan pergi ke Jogja. Ia diantar oleh kedua orang tua dan adiknya bernama Agis, sambil mengunjungi pakdhenya setelah sekian lama tidak bersua. Beberapa hari mereka menyempatkan untuk berlibur. Lalu pada akhirnya memutuskan berpisah untuk sementara waktu di sebuah stasiun.
Seperti perpisahan pada umumnya, siang itu stasiun kereta diselimuti suara yang berat dan wejangan untuk jangan lupa makan, jaga kesehatan, serta nasihat-nasihat lain supaya Krisna baik-baik saja di luar sana.
Krisna menangkap pesan itu dengan baik. Pun dengan Agis, wajahnya terlihat sendu melihat kakaknya yang sebentar lagi akan berlalu.
"Mas, liburan dulu. Hohohoho," kata Krisna berusaha menghibur Agis.
"Lah kemarin kan sudah. Masak liburan lagi. Aneh," kata Agis polos.
"Bercanda. Jadi anak yang baik di rumah ya."
"Iya."
Potongan ingatan yang lain pun lalu menyusul. Krisna juga ingat pertama kali diajak pakdhe pergi ke sawah. Ia mulai diajari bagaimana menanam bibit cabai yang benar, memupuknya dengan sabar, sampai diajak mengambil cabai yang siap petik. Padahal hal-hal semacam ini, hanya bisa ia temui dalam sebuah video game yang sering dimainkannya di rumah.
Melompat. Kepalanya kini dipenuhi ingatan pertama kali ia memasuki bangku kuliah. Kadang, bayang-bayang tempat yang sering ia kunjungi juga bermunculan. Warung burjo yang sering buat nongkrong, kosan teman untuk numpang tiduran, sampai mengelilingi sudut kota hanya untuk sekadar mencari angin. Atau berusaha bangun sepagi mungkin untuk nyobain gudeg paling enak, kalau perlu pergi dini hari untuk nyobain mie ayam.
"Haah," Krisna menghelas napas, sebelum meraih kopinya. Sepertinya ini akan menjadi kereta pikiran yang sulit dihentikan.
Tapi dari semua hal yang telah terjadi di Jogja, sepertinya pertemuan dengan Alya adalah hal yang paling mudah untuk diingat. Perjumpaan keduanya dimulai ketika pembagian kelas SMA terjadi. Pagi itu, Alya mencari kelas saat kondisi sekolah sudah mulai ramai.
"Sepuluh C, sepuluh C, sepuluh C," kata Alya sambil menyapu pandang untuk mencari kelas yang ia maksud.
"Kayaknya sebelah sana deh," sambar Krisna dari samping kanan. Sementara, Alya hanya menoleh dan diam beberapa detik. Alya kaget, karena ada murid yang lebih tinggi daripada dia datang tiba-tiba.
"Mau cari bareng?" tanya Krisna menawarkan diri.
"C juga?"
"Iya. Krisna," kata Krisna memperkenalkan diri sambil menyusuri beberapa kelas.
"Alya," jawabnya pendek.
Alya adalah cewek periang dan menyenangkan. Kali pertama saat pertemuan itu terjadi, rambut Alya sedang dikuncir kuda. Yang sepertinya akan membuat para cowok mudah untuk tertarik. Dan seperti yang sudah bisa ditebak (tanpa harus pergi ke ahli nujum) Krisna sangat tertarik dengan Alya.
"Jadi mau lanjut kuliah di mana?" tanya Alya setelah tiga tahun bersama.
"Yang jelas sih masih di sini. Cuma masih bingung. Kamu?" kata Krisna menanggapi. Kelulusan sebentar lagi tapi Krisna masih belum punya gambaran ingin melanjutkan kuliah di mana.
"Ya, kan kemarin-kemarin udah aku kasih tahu."
"Oh, iya. Lupa."
"Kalau kamu bingung, cari tahu aja kamu sukanya apa. Atau enggak, cari alasan kenapa kamu harus milih jurusan itu."
"Gitu ya?" kata Krisna sambil menusuk bakso dengan garpu.
"Kecap dong, tumben sambelnya pedesan."
"Biasanya, kan emang gitu," kata Krisna karena Alya mengeluh kepedesan.
"Iya dong. Paling enggak, itu sih yang ngebuat aku milih jurusan yang aku pengin," kata Alya sambil membubuhkan kecap ke dalam mangkok bakso.
Krisna cukup ingat tentang obrolan itu. Sebuah obrolan penting saat ia kebingungan memilih jurusan kuliah.
Sambil mengambil segelas kopi, Krisna memutuskan untuk menghentikan lamunannya. Ia menyesap kopi, perlahan menghirup aromanya, dan dengan cepat menyadari jika pagi ini menjadi salah satu hari paling melankolis.
"Cah bagus sedang mikirin apa?"
"Hehe. Nggak papa budhe," jawab Krisna seiring dengan meletakkan gelas di meja. Pakdhe sudah berangkat ke sawah sedari tadi. Kini tersisa mereka berdua di rumah.
"Enggak kerasa ya Kris, bentar lagi selesai."
"He. Iya, budhe."
"Padahal kayaknya baru kemarin kamu datang ke Jogja," Budhe membuka obrolan dengan topik yang tak jauh berbeda. Entah kenapa budhe merasakan hal yang sama. Seolah-olah budhe jadi seorang cenayang yang bisa membaca pikiran Krisna.
"Tahu-tahu udah gede begini. Bakal kangen budhe nggak nih?" tanya Budhe melanjutkan.
"Pastilah budhe. Bakal kangen."
"Kalau ada waktu jangan lupa main ke sini lho ya."
"Bukannya itu hukumnya wajib ya, budhe? Hehe."
"Haha. Bisa aja kamu, le, le."
Budhe melanjutkan, "Jadi ingat waktu dulu kamu pertama kali tinggal di rumah ini. Kamu sempet nggak bisa tidur semalaman."
Krisna hanya tersenyum kecil, pertanda setuju dengan perkataan budhe. Saat itu, ia memang tidak bisa tidur sampai hampir tengah malam. Ia sedang merasa di dunia yang belum bisa dikenali. Kamar tidur yang masih terasa asing dan bau rumah yang belum membuat ia merasa betah. Tapi sekarang, rumah ini malah jadi bagian berat untuk ditinggalkan.
Tiba-tiba suasana sejenak hening. Keduanya mulai merasa bahwa perpisahan sudah semakin dekat.
Memang sewajarnya begini ya? Saat perpisahan atau meninggalkan tempat, sebuah kenangan pasti terasa lebih pekat.