Chereads / KONJUNGSI / Chapter 5 - Ketinggalan

Chapter 5 - Ketinggalan

"Sudah semuanya? Ada yang ketinggalan?"

"Uuh," Krisna mengawang, ia sedang mengingat daftar barang yang harus dibawa pulang. Buku sama pakaian sudah dipaketin, titipan Agis udah dibawa, oleh-oleh udah dibeli, laptop sudah masuk tas, kata Krisna dalam hati.

"Udah semuanya kok, Budhe."

"Baguslah kalau sudah semua. Kalau gitu makan dulu aja biar enggak kelaperan pas pulang."

"Iya, budhe."

Ini adalah waktunya pulang ke Jakarta. Kini waktunya telah tiba setelah banyak hal terjadi di Jogja. Semua orang sudah lengkap di rumah. Pakdhe memutuskan untuk libur dari kegiatannya pergi ke sawah dan Budhe memilih membuat masakan paling istimewa; sayur daun pepaya, gudeg, ikan goreng, sambel bawang, dan pelengkapnya adalah kerupuk. Komplit sekali. Tiga orang duduk bersama mengitari meja makan. Sederhana tapi terasa hangat.

"Enak, Krisna?" Tanya Pakdhe Mus di tengah sedang makan.

"Enak banget, Pakdhe."

"Yo sudah jelas ya? Memang budhemu itu pinter masak. Hahahaha," tawa pakdhe cair.

"Haha," begitu juga Krisna. Sedangkan budhe hanya tersenyum.

"Tambah-tambah, Krisna. Biar makin kangen sama Jogja. Ahahaha."

"Iya, pakdhe."

Tidak perlu menunggu lama, Krisna langsung menyambar irus untuk mengambil sayur daun pepaya. Dia lalu mengambil sambel bawang untuk ditaruh di tepi piring. Tangannya belum bisa berhenti, selanjutnya mengambil kerupuk dan dicocolkan ke sambal. Krauk. Dengan satu gigitan kerupuk berhasil disikat.

Krisna kemudian mengambil satu gelas air putih dan mulai meminumnya. Sesekali dia melihat sudut-sudut ruangan. Ada yang ia sadari, jikalau rumah ini sebentar lagi akan terasa sepi. Hanya tersisa dua orang yang sedang menikmati masa tua.

"Budhe."

"Iya, le?"

Bagaimana pun memulainya, pembicaraan ini jelas akan tidak menyenangkan.

"Setelah Krisna pulang, rumah ini pasti sepi ya."

Pakdhe dan budhe saling memandang. Keduanya melempar senyum. Ada rasa kagum karena anak yang mereka didik mulai dewasa.

"Kenapa, pakdhe, budhe?" Tanya Krisna heran karena mendapati keduanya malah tersenyum.

"Tenang, Krisna," kata Pakdhe sambil meletakkan gelas, "Tadi malam masmu, Nugi, telpon."

"Mas Nugi?" Tanya Krisna balik. Mas Nugi adalah anak Pakdhe Mus yang terakhir dari empat bersaudara. Beberapa kali Krisna sempat bertemu dengan Mas Nugi dan kebanyakan ketika libur akhir tahun atau hari besar lainnya.

Tentu saja ritual libur semacam itu terjadi karena Mas Nugi bekerja sebagai perantauan. Ia sejak lama bekerja di Bandung dengan gaji yang lumayan. Keputusannya itu juga yang membuat Mas Nugi mendukung Krisna untuk hidup di Jogja. Tentunya supaya Krisna bisa menemani kedua orang tua Mas Nugi.

"Iya, tadi malam telpon lama. Kayaknya masmu itu lagi pengen ngobrol banyak. Dia juga bilang katanya mau pulang."

"Maksudnya pulang, pakdhe?" Tanya Krisna ingin diperjelas.

"Keluar, Krisna," kata budhe menyaut, "Masmu mau keluar dari kerja terus bikin usaha. Katanya dia sudah merasa cukup. Mungkin duitnya udah banyak. Hahaha," tawa budhe sebagai penutup. Budhe tampak senang dengan keputusan Nugi. Akhirnya ia bisa dekat dengan salah satu anaknya.

"Jadi ora usah khawatir, Krisna. Mas Nugi sekeluarga sudah siap nemeni pakdhe, budhemu."

Krisna hanya bisa tersenyum. Ada rasa senang dan kelegaan di sana. Apa yang dia khawatirkan tentang keluarganya pelan-pelan mulai terlepas.

"Sudah. Habiskan makanmu, Kris. Habis itu kita siap-siap. Sebentar lagi Mas Agus mau menjemput," kata budhe sambil membereskan piring yang sudah kosong.

"Iya, budhe," kata Krisna menghabiskan suapan terakhir.

Tin..tin.. bunyi klakson mobil terdengar dari arah depan rumah.

"Panjang umur. Nah itu mas Agus sudah di depan."

Mas Agus adalah salah satu tetangga Pakde Mus. Sudah menjadi kebiasaan bagi Mas Agus untuk membantu pakdhe jika butuh kendaraan. Kadang pergi kondangan bersama rombongan atau belanja mencari bibit tanaman. Biasanya ia sering ditemani Krisna yang siap siaga jika Mas Agus kecapekan di balik kemudi. Maka kabar Krisna mau pulang ke Jakarta membuat Mas Agus kehilangan salah satu teman untuk diajak jalan-jalan.

Sepuluh menit kemudian Krisna dan pakdhe-budhe keluar dari rumah. Ketiganya siap mengantar Krisna ke bandara, termasuk Mas Agus.

Krisna membawa satu koper dan satu tas yang melekat di punggung. Ia kemudian berjalan menuju belakang mobil untuk membuka pintu. Ia mengangkat koper dan meletakkan tas ransel di bagian belakang. Krisna membutuhkan sedikit gerakan supaya kedua barang tersebut dapat tersusun rapi.

"Bisa Krisna?" Tanya Mas Agus karena siapa tahu Krisna butuh bantuan.

"Bisa Mas Agus. Ini mah enteng."

"Sip."

Krisna selesai dengan tasnya, ia menutup pintu belakang dan berjalan ke depan.

"Sorry lho mas jadi ngerepoti," kata Krisna karena tidak enak hati meminta Mas Agus mengantar dia ke bandara.

"Santai Krisna, kamu sudah aku anggep keluarga sendiri. Jam berapa pesawatnya, Kris?"

"Jam 11, mas."

"Wah-wah bakal enggak punya temen kamu, Gus, buat diajak mancing," kata budhe.

"Iyo iki, budhe," jawab Mas Agus.

"Berangkat sekarang Krisna?" Tanya budhe kepada Krisna.

"Iya budhe."

"Sudah yakin enggak ada yang ketinggalan?"

"Yakin!" kata Krisna menjawab budhe dengan mantap.

Semua orang sudah di dalam mobil. Roda berputar pelan menyapu debu, tanda mobil mulai melaju.

***

Seseorang sedang berjalan tergopoh keluar dari kamar tidur. Rambut panjang yang berantakan malah membuat ia terlihat seperti seekor Singa sehabis mengamuk. Cara ia berjalan terlihat tidak seimbang. Sangat begitu jelas karena ia belum sempat mengumpulkan nyawa yang tercecer entah ke mana. Mungkin salah satunya terlempar dan tersesat di kolong tempat tidur. Dengan pandangannya, ia melangkahkan kaki ke dapur. Sesampainya di ambang pintu, ia mengarahkan pertanyaan pada ibunya dengan kepala yang sedikit menyembul.

"Ma, sekarang jam berapa?"

Di tengah sedang mencuci piring, ibunya melihat ke arah jam dinding.

"Jam 10," jawab ibunya pendek.

"Aduh kesiangan," kata si rambut Singa. Ralat, kata Alya.

"Gimana enggak kesiangan, alarm bunyi aja kamu enggak bangun," protes ibunya Alya. Alya memang mengatur alarm di hp pukul delapan pagi. Tapi sepagi apapun dia berencana nyatanya alarm itu tidak mempan.

"Hehe," jawab Alya polos sambil mengambil gelas untuk minum air putih.

"Emang kamu mau ke mana?"

"Lho mama lupa kalau Krisna hari ini mau pulang Jakarta?"

"Oya, sekarang ya? Ya udah, cepet sarapan terus mandi, mumpung masih sempet."

Alya hanya menanggapinya dengan duduk di meja makan. Sekarang ia melakukan kegiatan yang sempat tertunda karena kepanikannya tadi, melamun sambil mengumpulkan nyawa. Ia kembali meminum segelas air putih sambil mengingat bahwa tidurnya tadi malam tidak nyenyak. Sebelum terbangun ia sempat bermimpi. Pada ingatan yang samar-samar, mimpi itu sedang menggambarkan satu situasi, Alya sedang duduk bersama Krisna di salah satu sudut perpustakaan kampus. Saking gemasnya, Alya sempat mencubit pipi Krisna. Hanya itu. Hanya itu yang bisa dia ingat dari mimpinya sebelum bangun. Sebegitunyakah kepergian Krisna sampai-sampai terbawa mimpi? Tanya Alya dalam hati.

Pandangan Alya beralih pada ibunya yang sedang sibuk beres-beres tapi tanpa suara keluar dari mulut. Tidak seperti biasanya.

"Mama, kepikiran apa gitu?" Alya bertanya dengan satu dugaan. Mungkin ibunya gelisah dalam pikir.

Ibu mendengar pertanyaan itu dan mulai menanggapinya dengan berjalan mendekat ke Alya, jawab ibu, "Itu bapakmu kemarin telpon mbakmu, Laras."

Alya memang pandai membaca orang lain. Melalui situasi, perilaku, dan kepekaan yang ia punya, seringkali pertanyaan Alya datang tepat pada waktunya.

"Apa katanya?"

"Ya bapak cuma mengingatkan kalau mbakmu jangan terlalu sibuk kerja. Kalau mau menikah ya buruan nikah. Dia kan perempuan, keburu tua nanti."

"Lho bukannya sudah pacaran sama Mas Rendra?"

"Iya, tapi kayaknya dua-duanya belum kepikiran nikah."

"Mama kepikiran itu?"

"Iya jelas mama kepikiran. Bukannya gimana-gimana. Ibu tahu niat bapak itu baik. Tapi ibu juga kasihan sama mbakmu kalau ditekan. Dia mungkin enggak mau buru-buru."

Sampai di sini Alya semakin yakin jika sifat memikirkan perasaan orang lain ini menurun dari siapa. Terlebih ini semakin kentara karena menyangkut urusan keluarga.

"Ya, mama cuma mau cerita. Mama tahu kok mbakmu itu sudah dewasa. Sudah bisa mikir, jadi dia pasti tahu apa yang terbaik buat dia."

"Udah buruan makan terus mandi. Oya, titip salam buat, Krisna ya," kata ibu menambahkan.

"Iya," kata Alya sambil tersenyum. Ia merasa senang ibunya mau bercerita.

***

Pukul 10:15 Krisna telah sampai di bandara. Waktu yang masih lama sebelum pesawatnya berangkat. Sementara itu, beberapa pesan mulai bermunculan di grup salah satu aplikasi chatting. Grup ini berisikan teman-teman kuliah yang sering main bareng dan mereka sepakat untuk mengantar Krisna pulang. Kebanyakan pesan isinya hampir sama, menanyakan Krisna sampai di mana dan mau berangkat jam berapa ke bandara.

Di antara beberapa pesan yang masuk, ada satu pesan yang baru saja muncul.

Alya : Sudah di bandara?

Krisna langsung membuka pesan itu dan bergegas membalas.

Krisna : Sudah, Bi.

Alya : Oke-oke. Ini aku baru mau otw.

Krisna : Hati-hati, Bi. Palingan pesawatnya juga delay.

Krisna tidak mau Alya terburu-buru.

Tidak lama kemudian dari arah lain datanglah beberapa teman Krisna. Mereka menyalami pakdhe, budhe, dan Mas Agus, sebelum pada akhirnya bersalaman dengan Krisna. Mereka lalu menyelimuti salah satu titik ruang tunggu dengan canda dan obrolan ringan.

"Gila, akhirnya malah Krisna yang lulus duluan," kata salah satu teman bernama Devan.

"Bener-bener. Aku kira kamu duluan, Van," kata Gilang.

"Enak aja. Apa kabar skripsiku yang sering kena coret karena masih salah mulu."

"Ahaha," mendadak tawa mulai pecah.

"Ya, kalian segeralah nyusul Van, Lang, Tio, David. Terus semangat, bentar lagi selesai kok." kata Krisna menyemangati keempat temannya yang masih berjibaku dengan skripsi.

"Kamu juga, Kris. Jangan lupa kasih kabar," kata David, "Eh, Alya enggak dateng, Kris?"

"Tadi sih baru otw."

"Owh."

Mereka kemudian menemani Krisna di sisa waktu tunggu. Terlihat Gilang dan Riyan sedang bermain hp, pakdhe-budhe serta Mas Agus sedang sibuk mengobrol. Sebaliknya, Krisna masih berharap Alya segera datang.

Tersisa 20 menit lagi sebelum Krisna masuk pesawat dan dari kejauhan orang yang diharapkan akhirnya datang. Ia datang dengan memakai hoodie berwarna merah maroon, celana jeans, dan rambut panjang yang tergerai. Terlihat santai tapi tetap cantik. Ia mulai menyalami satu per satu. Alya lalu mendatangi Krisna yang mulai berdiri dari tempat ia duduk.

"Sorry, sorry, aku bangun kesiangan."

"Pesawatnya belum berangkat kali."

Keduanya kemudian duduk dan agak berjarak dengan yang lain. Orang lain tampaknya paham jika keduanya butuh mengobrol setelah Alya datang sebagai orang terakhir.

"Jadi mau pulang nih?" tanya Alya bercanda.

"Haha iya," jawab Krisna. Dua orang ini saling bicara tapi pandangan lurus ke depan. Tidak ada satu pun yang berani memulai untuk saling menatap.

"Enggak kerasa ya waktu cepat berlalu."

"Iya," kata Krisna pendek.

Mereka mendadak terkunci dalam diam. Alya berusaha memutar otaknya untuk mencari topik sebelum suasana sendu ini menguasai.

"Jadi rencanamu setelah ini apa, Kris?" tanya Alya.

"Cari kerja di Jakarta, Bi. Kemarin-kemarin sudah dateng ke jobfair, beberapa kali ikut psikotes tapi belum ada yang tembus. Siapa tahu di Jakarta bisa lebih beruntung. Hehe."

"Cari kerja emang susah ya?"

"Ya, gitulah," jawab Krisna, "Tapi sebenarnya aku pengin nyantai dulu sih. Sudah lama enggak menikmati suasana rumah."

"Ya tapi nyantainya nggak usah kelamaan."

"Iya, tahu."

"Oh iya, Agis apa kabar?" Alya jadi teringat adik Krisna karena tadi sempat membicarakan tentang rumah.

"Baik sih, sehat, dan sudah mulai kuliah."

"Oh ya?"

"Iya, Bi. Dia sempet heboh tuh soalnya berhasil keterima di kampus ternama."

Perlahan keduanya berbicara saling berhadapan. Mulanya Krisna mengarahkan perhatian ke Alya selanjutnya Alya pun juga mengikuti.

"Keren. Ikut bangga sih kamu."

"Pastilah, Bi."

"Kamu dapet salam tuh dari ibuk," kata Alya mengatakan titipan dari ibu.

"Wah, salam balik kalo gitu. Tolong bilangin ke tante buat ngingetin anaknya, kalo ada temen main ke rumah jangan lupa dikasih minum," kata Krisna bercanda.

"Ih ngaco. Cuma kemarin ya aku kelupaan. Biasanya juga kamu ngambil sendiri."

"Eh, Bi. Bentar lagi ujian kan?" tanya Krisna karena sebentar lagi Alya ujian skripsi.

"Iya. Mana aku dapet dosen penguji Pak Ilham lagi. Dia kan dosen killer."

"Bisalah kalo kamu. Nanti aku semangatin dari Jakarta."

"Makasih Krisna," kata Alya sambil tersenyum.

Obrolan semakin mengalir dan tidak terasa jam menunjukkan waktu keberangkatan. Krisna mulai menggendong tasnya dan bersiap menarik koper.

"Sudah mau berangkat ya, le?" Tanya Budhe.

"Iya, budhe."

Krisna lalu bersalaman sambil berpelukan satu per satu dengan teman-temannya. Semua temannya berpesan hampir sama, "Hati-hati, Krisna. Pokoknya saling berkabar aja."

Ia beralih ke Mas Agus, "Hati-hati, Kris. Ojo lali mampir rumahku kalo lagi di Jogja."

Selanjutnya, dengan Pakdhe Mus dan budhe, "Hati-hati, jaga kesehatan, lekas dapet kerja ya, Kris. Titip salam juga buat bapak, ibu, sama adikmu."

"Iya, pakdhe, budhe."

Terakhir inilah saatnya, dua orang sahabat yang segera berpisah dalam hitungan menit. Alya dan Krisna berpelukan, keduanya melepas peluk, lalu Alya berkata, "Hati-hati."

"Iya."

Hanya itu yang bisa mereka katakan.

Krisna mulai berjalan menjauh dan melambaikan tangan. Semua orang yang mengantarnya membalas dengan hal yang sama. Hingga akhirnya langkah Krisna terhenti setelah cukup jauh beberapa meter. Alya menghentikannya dengan satu panggilan.

"Krisna!" panggil Alya dari kejauhan. Krisna terpaksa berhenti.

"Tunggu-tunggu, ada yang ketinggalan," kata Alya sambil berlari kecil menuju Krisna.

"Apa, Bi?"

Alya lalu mengeluarkan satu barang dari saku hoodie merah maroon.

"Headset, Kris. Dulu kan aku pernah ngerusakin headsetmu. Nah sekarang aku ganti. Hehehe."

"Oalah, ya ampun. Aku aja udah lupa, Bi. Enggak usah diganti juga enggak papa kali."

"Ye, tapikan aku mau ganti," kata Alya sedikit ngotot.

"Iya, iya. Ya udah aku terima ya."

"Sip. Makasih ya, Krisna."

"Sama-sama, Bi."

Keduanya lantas berdiri berhadapan saling mematung. Krisna sudah melewati banyak hal. Seperti misalnya tadi pagi mengobrol dengan pakdhe, budhe, dan Mas Agus. Mendapat perpisahan dari teman-temannya sambil memberi semangat untuk menyelesaikan kewajiban. Lalu di hadapannya sekarang ada seorang yang ia sukai. Bagi Krisna ini menjadi perasaan yang tidak tersampaikan hingga waktunya tiba-tiba sudah habis.

Sementara itu, Alya mengalami mimpi aneh sebelum ke tempat ini, duduk bersama Krisna di satu tempat dengan mendaratkan satu cubitan di pipi Krisna. Apa Alya? Satu cubitan di pipi? Bukannya itu wajar sebagai seorang sahabat?

Ia juga sempat mendapat cerita dari ibunya tentang seorang kakak yang dikejar untuk segera menikah. Membuat Alya menggunakan kemampuannya untuk "membaca orang" di waktu yang tepat. Sekarang di hadapan Alya ada seorang sahabat yang mau beranjak pergi, tiba-tiba muncul di mimpi, dan menimbulkan perasaan yang susah teridentifikasi. Alya seolah berdiri di tengah-tengah kabut. Dan mungkin benar adanya, terkadang seseorang baru mulai menelisik perasaan di saat perpisahan akan datang.

Hubungan macam apa ini? Kamu tidak bisa menahan tetapi juga tidak mau dia pergi.

Pada satu tempat seperti ini, di mana perpisahan dan perjumpaan saling bertemu, malah semakin mendramatisir perasaan. Membuat mata Alya berkaca-kaca dan membuat Krisna tidak betah ingin mengusap rambut Alya.

Dengan beberapa gerakan, Krisna nekat mengusap rambut Alya.

"Aku balik ya, awas kalo kangen."

"Idih, kamu kali."

Keduanya saling diam. Alya menatap Krisna dengan tajam, penuh kecurigaan. Sekali lagi Alya mengamati perilaku, pelan-pelan membaca rasa, dan dengan dugaan yang ada di kepalanya.

Jangan-jangan, ah tidak mungkin, kata Alya dalam hati.

Alya memilih mengganti pertanyaan, "Kamu pengin ngomong sesuatu gitu nggak?"

Krisna kaget dan memilih menarik tangannya dari kepala Alya. Dia berhasil terbaca oleh Alya.

Keduanya masih terdiam. Ada suara lirih mengartikan perasaan.

Aku sayang kamu. Alya, kata Krisna dalam hati.

"Yang akur sama Awan," Krisna memilih jawaban lain. Ia benar-benar berada di garis tipis antara persahabatan dan perasaan suka. Memilih memendam mungkin akan lebih baik daripada garis itu benar-benar terputus.

"Diterima wejangannya, boskuu," balas Alya dengan acungan dua jempol di muka.

"Bye, Bipin."

"Bye, Krisna." Keduanya saling melambaikan tangan.

Mungkin tidak ada barang yang ketinggalan dibawa oleh Krisna. Tetapi pada satu bandara, sangat jelas terasa, bahwa ada satu rasa tertinggal di Jogjakarta.