Pendar lampu berwarna kuning mengitari jalan utama dari stan jajanan yang ada. Beberapa lampu menyala warna putih namun tidak mengurangi suasana temaram. Dekorasi dari kayu dan bambu menghiasi beberapa sudut, dilengkapi lampu berkelap-kerlip. Di titik yang lain tidak jarang ditemui beberapa sepeda ontel dan hasil kerajinan sebagai pajangan. Orang-orang berlalu-lalang, sejenak berhenti untuk membeli, atau terus berjalan sambil memilih. Suasana Pasar Jajan cukup ramai malam ini.
Ini adalah kesekian kalinya Pasar Jajan berlangsung. Sebuah acara yang menampilkan jajanan pasar, olahan ukm, dan kerajinan tangan. Seringkali orang-orang sengaja terjebak di acara ini. Membeli makanan untuk memanjakan mulut sambil membuka obrolan dengan orang yang dibawanya setelah melakukan janjian. Pun di sinilah Alya. Seperti yang sudah dijanjikan, ia datang malam ini bersama pacar.
Marilah berkenalan, Farhan Hirmawan. Teman-teman sering memanggilnya Awan. Tapi keluarga di rumah kadang masih memanggilnya Farhan. Satu panggilan yang tersemat sewaktu kecil. Panggilan ini kemudian digunakan Alya kepada Awan sebagai panggilan sayang. Toh, kalau Alya memanggilnya copet takutnya Awan malah digebukin. Ehm, enggak lucu ya? Oke, mari lanjut saja.
"Han, ke sini dulu. Kayaknya ini enak deh. Beli yuk," kata Alya berhenti di sebuah stan yang menjual makanan bertabur wijen.
"Yang ini?"
"Iya. Enggak mau ya?" Alya memang seperti itu, selalu memikirkan perasaan orang lain.
"Boleh."
Awan lalu menunggu di samping Alya. Keduanya diam sambil menunggu penjual memasukan makanan dalam bungkus kertas. Pada diam itulah Alya memerhatikan Awan. Ia masih belum percaya bahwa keduanya sudah berpacaran selama empat tahun.
Mulanya pertemuan itu terjadi karena keduanya tergabung dalam satu kelompok pada inisiasi universitas. Setelah itu keduanya sering bertemu di lorong-lorong depan kelas atau pada satu mata kuliah umum. Berlanjut mulai berbalas pesan lalu akhirnya keduanya pun jadian.
Awan memiliki tinggi 168 cm dan berambut cepak. Termasuk laki-laki yang cukup ambisius dan pintar. Pada wisuda yang belum lama berlangsung, ia menjadi salah satu mahasiswa yang lulus dengan predikat cum laude. Ia bahkan sudah mendapat kabar bahwa salah satu perusahaan yang berpusat di Jakarta telah menerimanya. Sekaligus menjadi satu hal yang membuat Alya sedikit bertanya. Apakah ia mampu mengimbangi lelaki yang ada di sampingnya itu.
Meskipun begitu, Awan adalah orang yang baik, pengambil keputusan yang cepat, dan penyemangat yang baik disaat orang lain kebingungan.
Awan sadar jika sedari tadi sedang diperhatikan. Ia kemudian mengangkat kedua alisnya, seolah sedang bertanya, "Kenapa?"
Alya hanya membalas dengan satu senyuman, lalu berkata, "Enggak papa. Seneng aja. Yuk?"
"Ya, bayar dulu dong."
"Oh iya, lupa."
Langkah keduanya berlanjut. Alya berjalan sedikit lebih cepat karena ia melihat satu stan sedang menjual berbagai jenis gelang. Awan kemudian mengimbangi langkah kaki.
"Kayaknya, gelang di situ bagus," kata Alya menoleh ke Awan.
"Boleh juga kalau ada yang bagus."
Beberapa orang juga berdatangan di stan itu, sehingga membuat Alya dan Awan harus mencari ruang untuk mengambil gelang yang ingin dicoba. Beberapa orang mulai bergeser. Sekarang Alya dan Awan tepat di depan stan. Di sinilah pembicaran dimulai.
"Jadi rencanamu setelah ini apa, Han?"
"Rencana?"
"Iya."
Hubungan keduanya yang sempat putus membuat Alya dan Awan kehilangan keran komunikasi. Sejak saat itu, baru kali ini obrolan mendalam tentang keduanya dimulai lagi.
"Em, pulang ke Jakarta. Menuhin panggilan kerja."
"Terus habis itu beli rumah?" Tanya Alya karena dulu Awan pernah bercerita pengen cepet-cepet punya rumah sendiri.
"Tentu dong. Tapi pelan-pelan sih, rumah di Jakarta mahal," kata Awan sementara Alya meminum air putih dari botol tumbler yang dibawanya.
"Bener-bener. Kata Krisna juga begitu."
"Oh iya, Krisna jadi pulang kapan?" Tanya Awan teringat Krisna karena Alya menyebut namanya. Krisna memang terkadang jadi topik pembicaraan keduanya. Selain bersahabat dengan Alya, lelaki berzodiak Aries itu juga sering membantu Awan jika ada masalah kecil dengan Alya. Bahkan Krisna beberapa kali membantu Awan menyiapkan surprise ulang tahun untuk pacarnya itu.
"Katanya sih minggu depan."
"Oh. Masih betah kayaknya ya di Jogja?"
"Kayaknya sih iya. Kamu juga kan?"
"Hehe," tawa Awan mengiyakan Alya.
Keduanya sedari tadi hanya melihat tanpa berencana membeli (dasar kebiasaan). Tapi pembicaraan sepertinya belum bisa berhenti.
"Terus selain beli rumah?" Tanya Alya melanjutkan topik.
"Mungkin menikah. Nikahin kamu?"
"Uhk, uhk," Alya tersedak saat meminum.
"Eh, kamu enggak papa, Al?"
"Enggak papa kok. Cari air tebu yuk, Han. Aku pengen yang manis-manis."
Obrolan sempat terhenti. Alya buru-buru mengubah topik karena cukup kaget. Mau tidak mau langkah keduanya berlanjut mencari air tebu. Kali ini mereka beriringan, jalan utama juga semakin ramai dan beberapa titik mulai terjadi kerumunan. Semua orang yang datang ke tempat ini mempunyai topik yang berbeda-beda. Seperti halnya berbagai siaran radio, mereka yang datang ke tempat ini sedang fokus pada frekuensinya masing-masing.
"Kalau kamu?" Kini giliran Awan yang bertanya sambil berjalan.
"Aku. Yang jelas sih pengin segera lulus. Habis itu mencari kerja. Sama pengin beliin ibuk tas dari hasil kerjaku sendiri."
"Menikah?"
"Menikah?" Tanya Alya mengulangi Awan.
"Iya."
"Emm, aku enggak buru-buru kok, Farhan. Tapi enggak usah khawatir. Pelan-pelan aja. Kan kita juga baru mulai lagi," kata Alya berusaha meyakinkan Awan. Ia tidak mau Awan terlalu kelelahan hanya karena memaksakan diri terhadap rencananya. Selebihnya Alya juga belum bisa jujur bahwa dia belum punya gambaran untuk menikah dengan Awan. Dia membutuhkan waktu untuk menata kembali setelah sebelumnya hubungan ini nyaris kandas. Tetapi Awan sepertinya sudah mantap dengan rencana yang ada di kepalanya.
Alya berhasil menemukan air tebu yang dia cari. Dan karenanya botol yang dia bawa sudah terisi air berasa manis. Beberapa meter dari tempat mereka membeli minuman terdapat satu kursi panjang terbuat dari bambu. Sengaja diletakkan untuk pengunjung yang merasa kelelahan berjalan atau sekadar duduk untuk keperluan yang lain (mengamati, mengobrol, dan bermain sulap). Lho kan siapa tahu?
"Makasih ya, Han udah ngajak jalan. Hehe," kata Alya sambil duduk.
"Sama-sama, Alya."
"Mau habiskan?" Tanya Alya menawarkan kue terakhir yang mereka beli.
Awan mengambil kue terakhir dan mulai memakannya.
"Farhan, kira-kira yang datang ke tempat ini berapa ya?"
"Banyak sih. Mungkin 350 atau 500? Kenapa?"
"Kamu tahu enggak sih kalo orang yang di sini hanya sekadar datang setelah itu pindah."
"Iya tahu."
"Sama enggak sih kayak akhir-akhir ini. Setelah dulu datang sekarang kayak banyak yang pindah. Kebanyakan teman udah lulus terus balik ke asal mereka. Kamu udah lulus, Krisna udah lulus, dan makin ke sini kita bakal jarang ketemu karena perpindahan."
Alya meminum air tebu yang dia beli setelah menerimanya dari Awan, lalu kemudian melanjutkan, "Aku bakal kangen, Han sama...," ada jeda, banyak sekali ingatan yang muncul di kepala Alya. Tentang keseruan yang terjadi bersama Krisna, teman-teman Alya, Awan, dan hal lain yang terasa menyenangkan jika dilakukan tidak sendiri. Terlebih lagi untuk nama yang pertama kali muncul. Entah kenapa akhir-akhir ini malah sering membayangi ingatan Alya. Belum lagi persahabatan keduanya sudah terjalin selama tujuh tahun. Selama itu Alya belum pernah terpikir jika keduanya akan terpisah. Segalanya terasa membingungkan dan tidak mudah untuk diurai, kata Alya melanjutkan, "bakal kangen sama, sama... Sama semua, semuanya, Han."
"Sama. Aku bakal kangen sama Jogja."
"Han, aku boleh jujur?"
"Iya, kenapa?"
"Han, aku seneng bisa balik sama kamu. Tapi aku juga takut, ini pertama kalinya kita LDR."
Alya mengulang topik yang sama. Sebelum pembicaraan ini terjadi keduanya sempat berdebat tentang hubungan jarak jauh. Konflik semakin meruncing dan mengubah dua orang yang bertahan dengan argumen masing-masing. Keduanya sama-sama jenuh, tersulut emosi marah, dan memutuskan untuk berakhir.
Tapi setelah kejadian itu mereka berusaha sama-sama mendewasa dan memutuskan untuk kembali. Awan mengusap tangan Alya dengan penuh kehati-hatian, berusaha memberikan ketenangan. Ia tahu karena ketakutan terkadang bisa mengendap-endap bagaikan pencuri.
"Percaya sama aku, kita hadapi jarak ini bersama-sama. Sekarang kan banyak cara biar kita bisa terhubung, kan?"
"Iya, aku tahu Han. Tapi aku masih takut aja."
"Atau aku perlu bolak-balik Jogja-Jakarta?"
"Ih, enggak usah lebay deh."
"Ya sudah. Kita coba. Toh kita juga belum mengalaminya. Siapa tahu enggak seburuk yang kamu bayangkan?"
"Kalau aku kangen?"
"Chat aku, aku akan segera telpon kamu."
"Kalau aku kebelet berak?"
"Mulai deh," kata Awan sambil mencubit hidung Alya.
Alya dan Awan menghentikan pembicaraan. Keduanya tanpa berkata dan hanya saling melempar senyum. Alya menyentuh hidungnya, berusaha memeriksa apakah indra penciumannya itu masih utuh. Satu tangan lagi sedang bersiap-siap mencubit perut Awan sebagai serangan balasan. Dalam hitungan detik satu, dua, tiga!
"Eits, enggak kena," kata Awan menghindar.
"Farhann! Sakit tahu!"
Suasana mulai mencair. Sebuah ikatan saling percaya mulai terbangun kembali.