Chereads / KONJUNGSI / Chapter 3 - Pertanyaan Mudah Tapi Sulit Dijawab

Chapter 3 - Pertanyaan Mudah Tapi Sulit Dijawab

Percayalah, kamu itu sahabat terbaik. Ada kapan pun bahkan saat aku merasa pelik. Sekarang aku sedang menunggumu di depan rumah. Ada seseorang yang ingin aku ceritakan, karena dia membuatku merasa nyaman.

Bipin, yang tidak sabar ingin bercerita.

***

Bipin : Kamu hari ini ngampus nggak?

Satu pesan muncul membuat Krisna meraih hpnya dengan cepat. Sial, ternyata semudah itu menghentikan lamunan Krisna.

Krisna : Ngampus sih, paling sebentar lagi. How?

Bipin : Enggak, cuma mau ngasih pantun aja.

Krisna : Jalan-jalan ke kota Kembang.

Bipin : Tjakep.

Krisna : Jadi malu.

Bipin : Najis.

Krisna : ....

Krisna is typing ...

Krisna : Jadi intinya mau gimana nih?

Bipin : Oiya, lupa. Bareng yak. Kamu ambil ijazah jam berapa?

Krisna : Bisa. Jam 10.

Bipin : Sip. Jemputnya nggak usah mepet di rumah ada gorengan.

Krisna : Lah sama. Kirain ada pantun.

Bipin : Aku habis nanyain ibu nih. Kira-kira, di dapur masih ada pisau nganggur atau enggak.

Krisna : *emot ikon ketawa miring sambil nangis jumlahnya tiga biji*

Bipin : Eh, eh, kalau bisa sih jemput sekarang. Sekalian mau cerita.

Krisna : Bentar mandi dulu.

Bipin : Sip bos.

Pesan itu masuk jam setengah sembilan tadi. Pesan yang membuat Krisna segera bergegas, meninggalkan kopinya yang sedikit lagi hanya tersisa ampas. Jarak rumah Krisna dengan rumah Bipin membutuhkan waktu tempuh setengah jam. Hal ini membuat Krisna harus secepat mungkin sampai ke rumah Bipin. Setidaknya ia tidak kehilangan banyak waktu untuk mendengarkan cerita dari orang yang dikenalnya sejak lama itu. Belum lagi, beberapa jalan sudah mengenal macet.

***

Setengah jam sudah berlalu, motor Krisna mulai kelihatan dari balik jendela. Bipin kemudian membukakan pintu sambil memegang handuk yang ia usapkan ke rambut.

"Parkirin situ aja," kata Bipin sambil mengeringkan rambut.

"Sip," balas Krisna dengan acungan jempol.

"Bentar, aku keringin rambut dulu," Bipin meninggalkan Krisna untuk berdandan.

"Sip," kata Krisna sekali lagi.

Krisna lalu berjalan dengan pelan dan mulai duduk di depan rumah. Ia menaruh tasnya di samping. Dan benar apa yang dikatakan Bipin melalui pesan singkat, di depan Krisna sudah tersedia gorengan satu piring lengkap dengan cabai rawit. Krisna bahkan tidak kaget dengan hal ini, karena Bipin selalu melakukan ritual yang sama; menyediakan makanan di meja supaya orang yang menunggunya tidak mati kelaparan. Nahas, Bipin lupa menyediakan minum. Padahal minum lebih penting bagi Krisna setelah berusaha melewati beberapa jalan yang sedikit macet. Dan hey, bukankah memegang stang sambil memutar gas juga bisa membuat orang dehidrasi?

"Hari ini kamu ambil ijazah? Oya, ini minumnya. Sorry-sorry, kelupaan." tanya Bipin setelah selesai menyisir rambut sambil duduk di samping Krisna.

"Iya. Lho, kamu ngampus emang mau ngapain?" tanya Krisna pendek.

"Mau ketemu dosen pembimbing. Mau nanya buat ujian," balas Bipin. Situasinya memang sedikit berbeda, Krisna sudah wisuda sementara Bipin masih menunggu jadwal ujian.

"Terus baliknya nanti gimana?"

"Tenang. Nanti sama mas pacar. Hehe."

"Owh," ada jeda "Eh, mas pacar? Jangan bilang kamu balikan?" Tanya Krisna sambil menduga.

"Hehe."

"Bi?"

"Iya."

Sudah kuduga, batin Krisna karena beberapa hari sebelum ini Bipin masih bercerita tentang orang yang sama.

"Kamu yakin, kan?"

"Yakin Krisna. Aku percaya aja sih kalau sebenarnya kami tuh cuma butuh waktu aja. Ya, semacam butuh jeda gitulah. Sama-sama lagi bosen aja sih."

Krisna pun sedikit terdiam. Memang tidak bisa dipungkiri untuk hubungan empat tahun pacaran, rasa bosan bisa saja muncul. Tapi mungkin sebenarnya masalahnya bukan sekadar bosan.

"Padahal kemarin sempet bilang, 'Kayaknya kita udahan'," kata Krisna berusaha mencari celah.

"Hehe, ya gimana ya, Krisna. Namanya juga masih sayang. He."

Topik ini jelas tidak akan beralih untuk beberapa menit ke depan. Bipin sedang menceritakan hubungan dia dengan pacarnya yang baru dua minggu putus, dan balikan lagi. Ia bahkan terlihat cukup senang, wajahnya seringkali mengembang, seolah baru saja kehilangan sesuatu tapi berhasil menemukannya kembali.

"Yang ngajak balikan duluan?"

"Dia. Kemarin dia sempet mampir ke rumah. Ngobrol cukup lama, terus minta maaf gitu."

Krisna pun juga cukup tahu hubungan keduanya. Bipin dan pacarnya bertemu ketika kuliah. Hubungan keduanya mereka cukup hangat. Bahkan saling menjaga satu sama lain. Hanya saja keduanya sedikit renggang akhir-akhir ini. Malah hampir kandas. Krisna sempat menduga, mungkin karena sebentar lagi pacar Bipin akan kembali ke Jakarta dan keduanya mau enggak mau harus menjalani LDR (Long Distance Relantionship). Pihak ketiga yang seringkali jadi alasan hubungan kandas yang disebut, jarak.

"Teruskan, Krisna," Bipin kembali melanjutkan ceritanya, "Untuk merayakan balikannya aku sama dia, kita besok berencana mau pergi ke Pasar Jajan. Mana yang ngajak duluan dia lagi. Kamu kan tahu sendiri, biasanya aku duluan yang sering ngajakin dia, kalau ada acara kayak gini."

Perkataan, kamu kan tahu sendiri, adalah tanda yang cukup jelas seberapa sering Krisna mendengar Bipin cerita tentang pacarnya. Bipin masih senyum-senyum sendiri. Terlihat manis dan begitu bahagia. Kata Krisna, "Seneng banget sih, kayaknya."

"Hehe. Menurutmu?"

"Ya, ya, ya."

"Eh, kamu enggak mau ke Pasar Jajan gitu?"

"Belum ada rencana sih. Belum ada yang ngajak juga."

"Ya elah, makannya cari pacar dong."

"Eh, mulai sombong. Mentang-mentang habis balikan."

Bipin hanya membalas dengan menjulurkan lidah. Sebaliknya, Krisna hanya mampu membalas dengan mengunyah gorengan. Tanpa perlawanan.

Sesaat kemudian Bipin melihat jam di hpnya, katanya, "Yuk ah, Kris, sambil lanjut di jalan."

"Yuk lah."

Pukul setengah sepuluh pagi jalanan Jogja terasa cukup sepi. Aktivitas kerja dan sekolah yang sudah dimulai di tempat masing-masing membuat jalanan cukup lega. Kali ini Krisna mengendarai motor dengan santai.

"Eh, emangnya kamu udah pacaran berapa kali sih?" Tanya Bipin sambil membonceng Krisna. Ia kembali melanjutkan topik pembicaraan yang sempat mengudara di depan rumah. Belum sempat menjawab, Bipin kembali melanjutkan, "Sebentar aku ingat. Dua kali ya? Pertama waktu awal kuliah. Terus cuma bertahan beberapa bulan lalu putus. Terakhir jadian sama Ruti, satu tahun pacaran, putus juga. Bener kan ya?"

"Iyaaaa."

"Yak elah Krisna, emang kamu nyari yang kayak gimana sik? Yang ada lesung pipitnya? Pinter masak? Atau yang kalau sendawa bisa keluar api?"

"Naga kali, keluar api?"

"Lah kan kalau keluar paku dikira pesulap."

"Geblek."

Motor Krisna berhenti sejenak karena lampu merah. Krisna kemudian mengarahkan pandangannya ke sebelah kiri. Ia ingat akan sesuatu.

"Bi, kamu ingat nggak sih, malam-malam ban motorku bocor terus kita dorong sampai lampu merah ini."

"O iya, ingatlah. Mana udah malam banget itu," Bipin sangat ingat kejadian itu. Keduanya harus mengalami kejadian apes saat ingin pulang dari rumah teman.

"Terus, ini kalau belok ke kiri berarti ke warung gado-gado yang pernah kita cobain itu kan?"

"Iya. Mana enak lagi tuh gado-gado."

"Banget," kata Krisna setuju.

"Udah lama enggak makan ke sana."

Lampu lalu lintas menyala hijau tanda motor harus kembali melaju.

"Kapan gitu aku lewat depan situ lho, Kris. Sekarang makin rame."

"Oh ya? Gara-gara kita kali."

"Emang enggak tanggung-tanggung sih, gorengan aja enak."

Beberapa motor mendahului Krisna. Di antara lalu lintas yang lengang keduanya diam sejenak sambil menikmati perjalanan. Gerak roda dua yang terus maju seolah menjadi kendaraan yang sedang melintasi lorong waktu. Membuka beberapa ingatan yang semakin pekat jika dirasakan.

"Krisna?"

"Ya?"

"Kamu bakal kangen Jogja nggak?" Tanya Bipin memecah, pertanyaan ini tentu saja sangat retoris.

"Kangenlah, Bi. Kamu bakal kangen aku nggak?"

"Menurutmu? Kalau ngaku temen sih, tetep ngasih kabar meski udah di Jakarta."

"Hehe. Tenang-tenang nanti video call deh."

Bipin hanya diam. Ia merasakan perpisahan akan segera datang.

Kali ini motor mulai memasuki area parkiran. Seusai memarkirkan motor, keduanya mulai berjalan menuju gedung kampus. Beberapa meter di depan mereka, terlihat teman Bipin bernama Rara melambaikan tangan lalu menyapa, "Bipin, jadi ketemu dosen?"

"Jadi Ra, bareng aja."

"Tapi, aku ke kantin bentar. Nanti ketemu di depan ruang fakultas aja ya."

"Oke-oke."

Bipin dan Krisna kemudian melihat Rara berlalu. Sambil berjalan Bipin gantian bicara dengan Krisna.

"Bipan, Bipin, Bipan, Bipin. Gara-gara kamu nih, yang lain ikutan manggil Bipin," Bipin protes dengan Krisna yang entah sejak kapan mengubah namanya.

"Lho, kan bener? Bintang Sekar Kalyani. Bintang. Bi, Bi, Bipin," kata Krisna mencari alasan rasional padahal jika didengar memang tidak masuk akal.

"Kalyani, Krisna. Al, Al, Alya," kata Bipin menirukan Krisna. Tiba-tiba mata keduanya saling bertemu.

Hening.

"Ah, terserah kamu aja lah," kata Bipin tidak betah dengan tatapan Krisna.

Bipin mulai berjalan. Sebaliknya, Krisna berhenti sejenak sambil melihat Bipin dari belakang. Persis saat Krisna melihat Bipin untuk pertama kalinya. Langkah Bipin sedikit cepat, rambutnya yang dikuncir kuda perlahan mengikuti gerak tubuhnya.

Krisna tersenyum tipis. Ia mulai menghela napas dan berusaha mengingat pertanyaan Bipin saat mereka berbincang di atas motor.

"Emang kamu nyari yang kayak gimana sik?"

Dalam gerak yang masih diamati, dalam diam tetapi rasa tidak bisa berhenti, Krisna menjawab dalam hati, "Yang kayak kamu, Alya."