"Lagian ngapain kamu ikut mereka main sejauh itu?" Ibu mencoba menenangkan ku dengan pertanyaan yang membuatku semakin tidak tenang. Hari itu seperti beberapa hari yang pernah aku lalui,  dimana hari yang akan berakhir dengan tangisan ku karena hardikan ayah sepulangku bermain dengan anak laki-laki sebayaku.
Ayah memberi ku nama gadis berharap anaknya kelak akan berprilaku manis, lemah gemulai, santun dan segala sifat positive yang dimiliki anak gadis. Ayah mungkin tak pernah menyangka doa yang disematkannya didalam namaku takan berpengaruh karena si empunya nama adalah aku.
Ayahku lahir di keluarga sumatra dimana ada ribuan aturan yang mengalir untuk para anak gadisnya. Dan hal yang sangat aku benci didunia ini adalah 'aturan'.
Aku tidak ingat sejak kapan aku membenci nya. Aturan-aturan itu terus membatasi ruang gerakku. Saat itu saat aku kecil banyak hal yang terjadi yang berujung tangisan yang membuat ku benci masa kecilku
Suatu hari aku pulang dari sekolah dalam keadaan letih. Dirumah ada banyak tamu. Saudara ayah dari kampung. Ayah menyuruh ku untuk cium tangan kepada mereka satu persatu. Aku lupa ada berapa namun seingat ku, aku cukup pegal menunduk dan menciumi tangan-tangan berbau tembakau itu.
Aku lelah saat itu, ingin rasanya setelah bersalaman aku lari ke kamar dan rebahan barang sekejap. Namun itu hanya menjadi angan, ternyata tamu ayah akan pulang. namun dikeluarga asal ayah ku, pantang tamu pulang sebelum makan jamuan tuan rumah. Bukan, bukan makan sekedar yang ada di meja tamu . Ini jamuan benar-benar jamuan. artinya aku harus membantu ibu memasak dan menyiapkan makanan layak untuk tamu ayah.
"Ibu aku cape, ingin istirahat" rajuk ku di dapur sambil membantu ibu
"Sebentar nak kamu kupas ini saja sambil duduk, sisanya biar ibu" rayu ibu sambil menggiring ku ke pojok dapur.
Anak ibu dan ayah bukan hanya aku seorang. di depan ada kaka laki2 ku sedang asik nonton tv. Dan di luar rumah ada adik laki-laki ku sedang adu kelereng dengan anak-anak satu komplek, mereka sudah ada dirumah dari sebelum tamu ayah datang sudah bernapas ringan dari tadi. Namun tak ada yang membantu ibu di dapur .
Bukan karena abang tak perhatian namun ayah selalu melarang abang membantu ibu jika aku dirumah. 'itu bukan pekerjaan anak laki-laki katanya' ah entah siapa yang memberi label gender pada suatu pekerjaan rasanya aku ingin memaki dan kabur kerumah sahabat ku anya yang tak jauh dari rumah ku . Setidaknya disana aku bisa menyabotase kasurnya barang sesaat.
Namun ibu sudah memasang mata memperhatikanku takut2 anak gadisnya akan melakukan hal-hal aneh yang memang sedang berputar-putar di otak ku.
Saat-saat seperti ini ibu selalu waspada memperhatikan ia akan mencoba mengurangi kemungkinan hardikan ayah yang akan melayang padaku kapan saja aku melakukan ide gilaku. Sekali dua ibu berhasil memegang keadaan sisanya kecolongan dengan akhir ibu mengelus dada. Ayah naik pitam dan aku menangis sambil mengeluarkan unek-unek ku. Ibu selalu menjadi tameng yang terkadang gagal berfungsi dengan baik .
****
"Kamu ga pulang lagi liburan kali ini?" Terdengar suara sayu ibu dari sebrang sana.
Sudah lama sekali sejak aku memutuskan kuliah di kota lain lalu mencoba hidup mandiri dengan tidak bergantung pada nafkah yang ayah kirim setiap bulan. Alih-alih meminta uang kuliah aku lebih memilih mencari kegiatan yang menghasilkan uang. Apa saja yang menghasilkan mulai dari menjadi crew dalam suatu acara yang kebetulan salahsatu pencentus EO nya adalah teman sendiri, menjadi helper photographer, badut dadakan apa saja yang menghasilkan dan tidak mengganggu kuliahku.
Bukan-bukan karena ayah tak mampu menopang kehidupan perkuliahan ku. Ini lebih karena ego, penolakan dan usaha pembuktian yang aku coba lakukan. Usaha ini bukan tanpa sebab.
Saat itu aku lulus dengan nilai yang lumayan memuaskan. abang dan ibuku sangat senang saat itu tampak raut bangga memancar dari wajah mereka.
Ayah?, Aku juga bisa merasakan kebahagian dari pancaran wajah ayah raut kebanggan yang tak bisa ditutupi. Namun raut itu berubah ketika aku bilang aku akan mencoba mendaftar di universitas ku yang sekarang.
"Ga boleh! , Anak perempuan itu ga bagus tinggal jauh dari rumah! Kamu masih punya ayah dan kakak kamu cuman boleh keluar kalo ada laki-laki lain selain kami yang membawa mu menjadi keluarga" tegas ayah saat itu
"Tapi ayah jurusan yang aku tuju yang bagus ya disana" keluh ku lemas. Aku tau apapun alasanku ayah takan merelakanku jauh dari rumah.
Beribu alasan telah aku lontarkan. Dan jawaban ayah tetap 'tidak' . Aku kehilangan harapan. Rasanya aku ingin menyerah saja. Sampai suatu titik aku terbangun dari tidurku. Rasanya semua kata penolakan ayah menusuk-nusuk hatiku yang sudah terluka sejak lama.
Tanpa sadar aku menitikan air mata. Sedu sedanku mungkin terdengar ke kamar kakak yang tepat berada diaebelah kamarku. Ia mengetuk dengan pelan dan membukanya sambil memanggil namaku. Aku tidak menjawab. Dan seperti mengerti apa yang menggangguku kakak memeluk ku dengan erat . Bisikan nya saat itu menguatkan pendirianku untuk pergi.
Aku mendaftar diam-diam semua dokumen yang membutuhkan tanda tangan telah siap dengan tandatangan abang. Aku mendaftar tanpa sepengetahuan ayah dan ibu. Hanya aku dan abang yang tau. Saat pengumuman memajang namaku sebagai salahsatu siswi yang lulus seleksi baru aku memberi tahu ayah. Dengan harapan ayah akan menerima telanjur basah. Namun perkiraan aku salah. Aku tetap menemui penolakan. Ayah tak mau mengeluarkan biaya kuliahku jika aku memaksa mendaftar disana. Untungya aku masih punya tabungan. Dengan itu dan bantuan dari kakak yang sudah memiliki sedikit penghasilan dan sedikit uang dari ibu yang diberikan secara diam-diam akhirnya aku pergi merantau kekota lain untuk mengejar anganku.
Kota ini terasa asing bagiku. Butuh banyak adaptasi tentang banyak hal. Dari bahasa kebiasaan dan banyak lagi. Untungnya aku telah banyak diterpa dengan banyak hal sehingga hal baru takan menyurutkan ku untuk tetap hidup.
Hidup. Ya hidup sudah cukup lama aku tak merasa benar-benar hidup seperti sekarang. Hidup yang benar-benar hidup. Dulu saat aku masih tinggal bersama keluarga hidup memang terasa lebih mudah makan, tidur, pulsa , listrik semua sudah tersedia namun entah mengapa aku tidak benar-benar merasa hidup.
Sekarang saat semua yang ingin dimiliki membutuhkan usaha untuk meraih nya dan terkadang usaha itu membutuhka keringat darah untuk diraih namun aku lebih merasa hidup. Karena pilihan hidupku yang seperti ini membuat aku lebih cepat dewasa dibanding teman-teman sebayaku.