"Bundaaaa... Aku berangkat"
Aku yang tergesa-gesa langsung naik mobil dan siap diantar ayah berangkat sekolah.
Ini hari pertamaku menjadi murid SMK Dharma. Dari awal memang aku tidak berminat sekolah di SMA, alasannya karena aku ingin seperti ayah.
Ayah memiliki perusahan kecil di bidang interior. Bukan menjadi desainer interior atau pebisnis, aku ingin menjadi seorang arsitek yang membangun gedung pencakar langit di Indonesia.
Bundaku memiliki toko kue yang ditangani langsung oleh bunda, membuat kuenya dengan tangannya sendiri. Bunda sibuk sekali mengurus 3 toko kuenya itu. Aku tidak punya kakak ataupun adik.
Oke, lanjut di sekolah.
Sudah banyak siswa baru yang berdatangan. Aku datang 10 menit sebelum bel, dan menurutku ini telat sekali.
Aku menuju kelasku di pandu kakak kelas, aku sesekali menoleh kanan kiri memperhatikan murid-murid baru yang berkeliaran di taman sekolah.
Aku masuk kelas dan duduk di baris ketiga di dekat jendela menghadap lapangan belakang. Sudah ada tas di bangku sampingku tapi tidak ada pemiliknya.
Kringggg..
Bel masuk nyaring ditelinga.
Anak laki-laki dengan tinggi lebih dari 170 cm itu tiba-tiba duduk disampingku. Aku mencuekinya saja, biar dia saja yang pindah atau besok aku yang pindah.
Sepertinya dia juga tidak nyaman duduk denganku saat ini. Karena setelah dia duduk, dia seperti mencari tempat duduk yang lain tapi semua sudah penuh dan guru sudah masuk kelas.
Kudengar dia menghela nafas, mungkin dia menyerah dengan keadaan. Haha.
Seperti biasa saat baru masuk sekolah, perkenalan. Ke depan kelas satu persatu sesuai arahan bu Wati, guru matematika. Giliran anak laki-laki di sampingku yang maju.
"Nama saya Erzani Putra dari SMP Kartika. Saya masuk di jurusan gambar bangunan ini karena saya suka menggambar"
Aku yang memperhatikan dia membatin "Oh Erza namanya"
Setelah dia, aku yang memperkenalkan diri di depan kelas. "Halo nama saya Kalea Maharani, panggil lea aja. Saya dari SMPN 01. Saya masuk di jurusan ini karena memang keinginan saya dari dulu. Terima kasih."
Aku duduk dan beberapa detik sebelum benar-benar duduk, Erza berkata pelan "Lea" tanpa menoleh kearahku.
..
..
Aku sedang berada di meja belajarku, mengerjakan tugas sambil memutar lagu kpop kesukaanku.
Ini sudah semester keduaku di SMK Dharma. Maaf aku skip karena memang tidak spesial seperti yang diharapkan.
Aku yang memang susah bergaul ini belum mendapat teman yang benar-benar selalu bersamaku. Terkadang aku sendiri atau memaksakan diri untuk ikut bersama teman-teman perempuan, tapi kebanyakan aku hanya diam dan sesekali ikut tertawa saat mereka melontarkan lelucon.
Mereka selalu menawariku pergi kekantin bersama atau hanya sekedar ngerumpi saat jamkos, tapi kebanyakan kutolak. Aku membawa bekal dan tidak suka terlalu menggunjing orang.
Setelah mengerjakan tugas, aku pergi ke market di depan komplek rumahku. Menaiki sepeda dengan santai sambil melihat rumah-rumah yang ada di komplek. Ada yang terlihat mewah, ada yang sederhana, ada yang kuno dan ada yang terlihat menyeramkan karena tidak dirawat.
Saat sampai di market, aku mengambil beberapa snack dan minuman dingin serta es krim. Aku memang suka membeli banyak sekalian, supaya tidak bolak-balik ke minimarket.
Ada anak laki-laki yang mungkin belum masuk sd mengambil snack tepat disebelahku, diikuti anak laki-laki lain yang tidak asing untukku.
"Eh.." Aku melihatnya sedikit terkejut.
"Ngapain kamu disini Kal?" Tanya Erza yang sedikit tersenyum menyapaku.
"Beli jajan. Ini adekmu?" Sambil menunjuk anak laki-laki itu yang sedang mendongak menatapku dengan mulut sedikit terbuka.
"Iya" Erza menggandeng adiknya dan kuakhiri dengan berpamitan dengannya.
Kejadian di hari pertama sekolah itu membuatku dan Erza masih sebangku hingga sekarang. Tapi aku dan dia yang sama-sama tidak banyak bicara ini belum sedekat yang lainnya, juga tidak secanggung yang dilihat. Bahkan sesekali dia menawariku bekal yang dia bawa dari rumah, tapi aku selalu menolak. Aku tidak terbiasa meminta bahkan ketika aku ditawari.
Line
Ada notifikasi saat aku lagi sedang menonton NCT Daily di Youtube.
Erza: Nyontek PR-nya dong.
Baru saja bertemu dengannya. Erza itu memang sering sekali mencontek PR-ku, padahal saat di sekolah dia mengerjakan sendiri. Bahkan terkadang nilainya lebih bagus dariku. Dia juga sering memprotes hasilku yang menurutnya salah, ganjal, ataupun yang dia tidak tahu. Merepotkan.
..
..
Dita -teman sekelasku- mengajakku pergi menonton film di bioskop sepulang sekolah. Teman sekelasku banyak yang ikut, katanya. Tapi aku tidak bisa naik motor dan dita sudah membonceng rina, begitu juga dengan temanku yang lain.
"Ikut nonton?" Anak laki-laki yang sedang fokus dengan ponselnya itu menanyaiku.
Aku yang juga mengecek ponselku menjawab "Tidak"
"Ayo ikut, aku bonceng"
"Kamu tidak bonceng yang lain?"
"Tidak"
"Emm.. Oke" Jawabku yang sedikit ragu. Ini pertama kalinya aku pergi dengan teman-teman SMK-ku, dan ini juga pertama kalinya aku menonton di bioskop. Haha. Norak kan?
Alasannya karena bunda belum mengijinkan aku, tapi setelah aku masuk SMK, bunda menyetujuinya asalkan pulang tidak terlalu malam.
Aku yang senang karena akan menonton film langsung mengabari bunda via whatsapp.
Lea: Bun, sepulang sekolah aku menonton film dengan temanku.
Bunda: Langsung pulang nanti. Apa uangmu tidak kurang?
Bunda memang selalu menanyakan uang yang kupunya. Bunda takut kalau nanti temanku makan, aku tidak bisa makan karena uangku tidak cukup. Begitu katanya.
Lea: Untung Lea bawa dompet bun.
Aku menonton film komedi rekomendasi dita. Film yang baru dirilis tiga hari lalu. Aku hanya menuruti saja, karena memang ini kali pertamaku.
Sambil menunggu film dimulai, kami makan dulu. Memesan nasi goreng dan jus alpukat, ada yang memesan mie goreng atau hanya memesan minuman. Sesekali tertawa karena lelucon Ahmad -temanku yang suka sekali melawak.
Film pertama yang kutonton di bioskop tidak mengecewakan, sungguh membuatku terus tertawa hingga akhir. Begitu juga dengan temanku dan juga penonton. Mengesankan.
Setelah keluar dari parkiran motor, satu persatu berpamitan pulang.
"Dimana rumahmu? Apa tidak jauh dari market yang waktu itu?" Anak laki-laki yang memboncengku bersuara sambil sesekali melihatku dari spion sebelah kiri.
"Turunkan aku disitu saja. Aku bisa berjalan kaki dari sana."
"Tidak boleh. Pria tidak boleh melakukan hal itu. Aku akan mengantarmu sampai rumah. Dimana rumahmu? Masuk komplek?"
Aku tersenyum mendengar jawabannya. "Iya masuk komplek, nanti kuarahkan"
"Rumahku juga masuk komplek, Blok G. Kalau rumahmu?"
"Blok B. Aku jarang bertemu denganmu" Kudengar dia tertawa kecil, entah apa yang dia tertawakan.
Sepanjang perjalanan, aku dan dia tidak berbicara sekalipun setelah menanyakan rumahku tadi. Sesekali dia menyanyi dengan nada yang tidak jelas. Aku mendengarnya meskipun suaranya pelan.
Mungkin dia bosan.
Aku sudah sampai di depan rumahku, melepas helm dan menanyakan sesuatu kepada Erza. "Helm-nya kubawa atau kamu yang bawa?" Tadi aku dipinjami rina, karena rumah rina dekat dari sekolah, dia mengambilnya untukku.
"Aku bawa saja" Erza mengambil helm yang kusodorkan lalu menggantungnya di setir sebelah kiri sambil dia pegangi.
"Terima kasih. Mau mampir dulu?" Aku menawarinya mampir kerumahku, itu pesan bunda. Siapapun yang mengantarku, harus selalu kutawari. Setidaknya minum dulu atau berpamitan dengan bunda.
Dia tersenyum. "Apakah ada makanan?"
"Selalu"
"Lain kali saja Kal. Sudah malam" Dia tertawa kecil lalu menyalakan motornya.
"Mainlah kerumahku, ajak adikmu. Sepertinya aku menyukainya" Aku tertawa kecil.
"Masih terlalu kecil Kal" Dia tertawa kecil lagi. "Sudah ya aku pulang" lanjutnya.
"Terima kasih sudah mengantarku, hati-hati"
Tanpa disadari, saat aku berbicara dengannnya, bahasaku baku. Tidak santai seperti aku mengobrol dengan temanku yang lain. Itu semua karena Erza yang memulainya. Jadi aku terbawa.
Bunda menghujaniku dengan berbagai pertanyaan. Tentang bagaimana filmnya, siapa teman-teman yang bersamaku, dan siapa yang mengantarku pulang.
Bunda itu mengkhawatirkan aku atau kepo sih! Tapi selalu kujawab dengan sejujur-jujurnya, karena memang itu kebiasaan bunda saat mengobrol denganku.
..
..
Wahh
Aku melihat seseorang yang sedang duduk di gazebo depan kelasku. Tampan sekali. Tapi sepertinya aku baru melihatnya sejak aku masuk sekolah ini.
Mungkin kakak kelasku yang baru menyelesaikan praktek industrinya -magang. Aku masuk ke kelas dan memperhatikannya lewat jendela.
"Hayooo suka kakak yang mana nih?" Dita tiba-tiba berada disampingku sambil memperhatikan segerombolan kakak kelas yang kulihat sejak beberapa menit yang lalu.
Aku yang tidak mau dipermalukan hanya mengelak. "Gue cuma ngelamun aja kok dit"
Dita yang masih memperhatikan kakak kelas itu berkata lagi "Jangan suka pacar gue ya lu!" Dia mengerutkan dahinya dan menatapku tajam.
"Yang mana pacar lu? Emang mereka siapa? Kakak kelas ya?" Aku menanyainya karena aku kepo tentang siapa pria yang kuperhatikan sedari tadi, semoga bukan pacar dita.
"Yang berdiri sambil ngakak tuh" Dita menunjuk seseorang yang untung saja bukan kakak yang kutaksir itu. "Lu suka yang mana? Gue kenalin ya."
Aku yang terkejut dengan tawaran dita hanya menatap dita sambil tersenyum.
Kringggg
Bel masuk berbunyi menyelamatkan aku dari tawaran dita yang tidak mau kuiyakan dan ragu untuk kutolak. Bisa saja besok aku tidak menyukainya lagi, pikirku.
Karena aku hanya melihatnya sebentar dan tidak mengenalnya. Aku selalu seperti itu, menganggap yang tampan seolah seperti aku sedang menaksirnya. Dasar lea!
"Bisa tidak aku mengajakmu pergi nanti malam?" Erza menanyai sesaat setelah aku duduk.
Aku terkejut dengan pertanyaan. Aku mengalihkan pandangan dan bertanya "Maaf tapi nanti malam aku akan pergi dengan bunda."
Aku bohong soal itu, karena mungkin akan canggung sekali pergi dengannya. Apalagi berdua.
"Tidak apa-apa. Lain kali juga bisa."
Lain kali?
Berarti apapun yang terjadi dia tetap mengajakku pergi?
Aku yang masih terkejut dengan ajakannya tidak menjawab. Hanya tersenyum canggung.
Malam itu aku hanya dirumah saja. Menemani ayah yang sedang mengecek desain-desain interior 3D yang sudah di print. Aku rajin menanyakan sesuatu ke ayah dan ayah yang tidak bosan-bosannya menjelaskan padaku. Bunda menonton tv sambil mengupas apel untukku dan ayah.
Line
Notifikasi yang membuatku dan ayah menghentikan pembelajaran.
"Siapa dek?" Bunda menanyaiku.
Melihat nama 'Erza' yang tertera di layar. Aku menjawab bunda "Temen bun"
Erza: Bagaimana kalau besok saja, Kal?
Aku menuju kamar. Tidak mau diejek bunda dan ayah karena ada yang mengajakku pergi, apalagi itu pria.
"Kenapa pergi dek?" Bundaku penasaran.
Aku yang sudah naik tangga menjawab bundaku dengan volume suara yang kukeraskan "Temenku minta potoin catetan bun"
Lea: Apanya?
Erza: Pergi denganku, Kal.
Erza: Besok hari sabtu, jadi punya banyak waktu.
Lea: Aku menemani bunda bekerja. Maaf.
Untuk kedua kalinya aku menolak ajakan Erza. Aku takut. Tapi tidak tahu apa yang sebenarnya aku takutkan.
Erza: Apa tidak bisa pergi denganku saja besok?
Erza: Kamu selalu bersama bunda.
Erza: Apa tidak mau menemaniku sekali saja?
Erza: Bagaimana kalau aku mengajak adikku? Asalkan kamu mau pergi denganku.
Apa sebegitu inginnya dia pergi denganku? Apa dia menyukaiku? Aku sempat berpikir seperti itu sebelum membalas pesannya.
Lea: Apa ada urusan penting denganku?
Lea: Tumben sekali.
Erza: Aku menyukaimu.
Tuhkan apa aku bilang.
Apa dia baper karena sebangku denganku?
Apa dia serius?
Sejak kapan dia menyukaiku?
Sejak pertemuan pertama?
Bagaimana bisa?
Bagaimana bisa dia menyukaiku tapi sering sekali menyuekiku, dia tidak banyak bicara denganku. Atau sejak saat menonton film? Ash!! Banyak sekali pertanyaan dikepalaku.
Line
Notifikasi itu berbunyi lagi saat aku sedang mencerna balasan Erza.
Erza: Aku tidak sedang mengajakmu berpacaran.
Erza: Jadi jangan terlalu banyak berpikir harus menjawabku apa.
Lea: Kenapa mengajakku pergi?
Erza: Sedang bosan.
Pria aneh memang. Dia bilang menyukaiku tapi tidak mengajakku berpacaran dan sekarang mengajakku pergi karena dia sedang bosan saja.
Aku ingin mengiyakannya tapi setelah mengetahui bahwa dia menyukaiku membuatku membayangkan akan seberapa canggungnya nanti.
Line
Erza: Bagaimana Kal? Jangan berpikir itu akan canggung.
Balasannya seolah membaca pikiranku. Iya atau tidak ya?
Aku ingin mengetahui cerita dia yang menyukaiku, tapi aku masih takut. Kalau nanti dia mengajakku berpacaran, apa jawabanku? Aku memikirkan itu. Ge-er sekali aku.
Lea: Jam berapa?
Erza: Jam 9 aku menjemputmu. Pastikan sudah minta ijin bundamu.
Malam itu aku susah sekali tidur, padahal biasanya hanya mencium bau bantal saja aku sudah tertidur.
Memikirkan berbagai hal mengenai Erza. Memikirkan perasaanku saat bersamanya di sekolah. Mengingat-ingat hal baik apa yang kulakukan hingga dia menyukaiku.
..
"Bundamu mana?"
Itu pertanyaan pertama Erza setelah berhenti di depan rumahku.
"Bekerja" Aku yang masih malu karena pernyataannya yang kemarin hanya mampu menjawabnya singkat setelah diam beberapa detik.
"Bagaimana aku bisa mendapat ijin bundamu?"
"Aku sudah ijin kalau pergi denganmu" Gugup sekali rasanya bertemu Erza.
"Ijin pergi denganku atau pergi dengan teman?"
"Denganmu"
Banyak sekali pertanyaannya. Aku kan bingung menjawabnya apa. Saking gugupnya.
Setelah semalaman aku berpikir, aku tidak punya perasaan apapun kepada Erza. Biasa saja. Tapi anehnya, bertemu dengannya hari ini membuatku senang.
Sudah 10 menit perjalanan dari rumahku, tapi dia tidak mengajakku berbicara sekalipun. Memang wanita. Tadi saat diajak berbicara tidak mau, sekarang tidak diajak bicara juga menyalahkan.
"Lihatlah disana" Dia menunjuk kios yang lebarnya mungkin sekitar 3 meter. "Aku berjualan baju disana. Usahaku dimodali ayah" Dia menjelaskan dengan sedikit berteriak karena jalanan sedang ramai pengendara. Mungkin takut aku tidak mendengarnya.
"Serius?" Aku tidak tahu harus menjawabnya apa, tapi memang itu mengejutkanku sekali lagi.
"Iya Kal"
Setelah 7 menit perjalanan dari kios Erza, dia berhenti. Memarkirkan sepedanya di depan toko buku yang sering aku kunjungi dengan bunda untuk membeli buku sekolah, novel atau sekedar membeli bolpoin.
Aku dan Erza sudah berada di dalam toko. Mataku melihat ke arah rak novel, banyak novel baru disana. Tiba-tiba suara Erza memecahkan konsentrasiku membaca beberapa novel dari kejauhan.
"Aku hanya akan membeli buku diary. Ayo kesana"
Erza meninggalkan aku yang masih ingin melihat novel-novel. Dengan berat hati aku meninggalkan novel-novel itu untuk mengejar seorang Erzani Putra yang sekarang sudah memilih-milih buku diary.
Erza dan buku diary adalah hal yang menurutku tidak cocok. Dia yang menurutku cocok memegang bola itu malah suka menulis diary.
Ini pertama kalinya aku melihat pria yang rajin menulis diary, aku yang perempuan saja tidak pernah menulis diary. Paling cuma bikin status yang kata-katanya menjiplak dari quotes-quotes terkenal.
"Suka menulis diary?" Tanyaku yang penasaran. Memperhatikannya yang masih bingung memilih buku berwarna biru atau merah.
"Dari dulu aku memang suka menulis. Entah itu keseharianku atau hanya sekedar menulis tidak jelas." Jelasnya sambil menatapku.
Matanya yang menenangkan dan senyumannya yang tidak pernah layu itu membuatku terpaku. Sejak kapan dia mempunyai itu semua. Aku baru menyadari betapa manisnya disaat seperti itu.
Jangan mengatakan aku mulai menyukainya. Aku hanya senang melihatnya seperti itu.
"Kamu suka warna apa Kal?" tanyanya. Dia masih memegang kedua buku itu dan memperlihatkan padaku. Menanyakan pilihanku diantara keduanya. Padahal kesukaan warna hijau, tapi tidak ada di pilihannya.
"Warna biru bagus, tapi warna merah tidak kalah bagusnya." Kurasa jawabanku itu membuatnya semakin bingung mana yang harus dibeli.
Dia memutar badannya menghadapku. Aku menunduk berpura-pura melihat buku di rak bawah. Aku tidak mau menatap matanya yang sedang menatapku. Aku takut nanti jadi salah tingkah. Bahkan sudah beberapa detik, dia masih saja belum bicara apapun. Aku menunggumu Za, batinku.
Dia berjalan melewatiku tanpa berkata apapun. Dan masih saja membawa kedua buku pilihannya tadi. Aku berbalik menatap punggungnya. Dia tinggi, pundaknya pun terlihat lebar sekali, dari belakang pun dia terlihat tampan dengan jaket denim.
Dia menghentikan langkahnya dan berbalik menatapku. Mataku melebar, terkejut karena dia memergokiku saat memperhatikannya. Dia memberi isyarat lewat tangannya untuk memanggilku. Aku yang mengerti maksudnya langsung mendekatinya.
"Apa?" Tanyaku saat sudah sejajar dengannya.
"Kenapa kamu diam saja disana? Aku kan ingin kamu memilih buku novel"
"Memilih untukmu?"
"Untukmu tentunya. Aku tidak suka membaca novel."
Aku bingung, harus senang karena dia membelikanku novel atau harus senang karena dia tau kesukaaanku. Aku mendongakkan kepala dan tersenyum padanya. Wajahnya yang datar itu membuatku berhenti tersenyum. Canggung sekali karena dia tidak membalas senyumanku.
Pria aneh. Dia sering sekali tersenyum padaku. Tapi aku tersenyum sekali saja, dia seperti itu. Apa dia tidak berdebar melihat senyumanku seperti aku melihat senyumannya? Katanya dia menyukaiku. Mengacuhkan dia dengan berlama-lama memilih novel. Biarkan saja dia menungguku, itu hukuman dia karena membuatku malu. Aku berjanji, tidak akan tersenyum padanya lagi.
Setelah aku benar-benar capek memilih novel yang sebenarnya sudah menjadi pilihan awalku itu, aku menuju kasir. Masih mengacuhkan Erza yang sedari tadi di belakangku tanpa berkata apapun.
Menyodorkan buku ke kasir dan mencari dompetku di dalam tas. Erza yang juga menyodorkan dua bukunya itu mulai membuka mulut.
"Tunggu aku di parkiran saja, biar aku saja yang membayar bukumu."
"Tidak usah." Kataku.
Penjaga kasir masih diam memperhatikan kita berdua. Mungkin dia masih bingung untuk menjadikan satu pembayaran atau sendiri-sendiri sesuai permintaanku.
"Sudah sana pergi!"
Aku cemberut tapi tetap saja menuruti perkataan Erza yang mengusirku itu.
Setelah pergi dari toko buku, motor melaju kembali menuju....
Aku tidak tau kemana dia membawaku.
Jalanan ramai pengendara, padahal ini jam kerja. Apa orang-orang tidak punya kerjaan. Panas sekali, sudah hampir jam 12. Dan sudah setengah jam kami diperjalanan.
"Mau kemana?" Tanyaku sambil memajukan kepalaku suapaya dia bisa mendengarnya. Aku sudah bosan sekarang. Berkendara dengannya tanpa berkata apapun ditambah ini sudah panas sekali. Suara adzan pun sudah menggema dimana-mana. Kalau aku sedang di rumah, pasti sudah di marahi ayah karena belum juga mengambil air wudhu.
Erza sedikit menoleh dan berkata "Sholat dulu ya Kal."
"Iya, aku tunggu kamu"
"Kamu tidak sholat?"
"Sedang berhalangan"
Tanpa menjawabku, dia menghentikan motornya di depan sebuah masjid yang lumayan besar. Dia tergesa-gesa karena imam sudah takbir.
Yang kutahu, dia memang rajin beribadah. Sekolahku selesai pukul 14.30. Biasanya aku langsung pulang. Kalau Erza masih menunggu adzan dan sholat di sekolah. Aku melihatnya beberapa kali ketika bunda belum menjemputku. Aku rajin sholat, tapi selalu saja kutunda. Terkadang sampai ayah memarahiku.
Matahari terik sekali siang itu. Meneduh di pohon besar dan bermain ponsel. Pria yang kutunggu sejak tadi mengagetiku. "Kal"
"Eh.." Aku mundur beberapa langkah karena terkejut.
"Sudah. Ayo pulang Kal"
Pulang? Dia mengajakku pergi hanya untuk membeli buku? Bahkan tanpa banyak bicara? Apa gunanya aku mengelilingi kota hanya untuk berdiam diri? Kalau tahu seperti ini, pulang saja setelah membeli buku.
"Mampir dulu ke toko kue bundaku." Aku mengusulkan sesuatu, menyelamatkan kesan pertama kencanku dengannya.
Ah kencan?
Aku berkencan dengannya?
Tidak apa-apa jika aku menyukainya. Meskipun sedikit aneh. Pikirku.
"Dimana tempatnya? Apa kamu tahu jalannya jika dari sini?"
"Tidak tahu. Alamatnya aku tahu."
Betapa menyesalnya aku sudah mengajaknya ke toko bunda. Aku malu diejek bunda. Dulu, waktu aku berpacaran dengan Doni, bunda selalu mengejekku. Bukan yang negatif, hanya mengejekku karena senyum-senyum sendiri setelah bertemu dengan doni. Bunda juga selalu mengadu pada ayah, mengadukan doni yang membelikan es krim atau memberi kejutan ulang tahun waktu itu. Bunda memang seperti itu. Aku tidak marah, hanya saja aku malu.
"Pernah kesini?" Aku menanyai Erza sambil membuka pintu toko.
"Tentu saja. Bima sering sekali membeli roti disini."
"Siapa bima?"
"Adikku yang waktu itu bertemu denganmu di market"
"Oh namanya bima" tegasku meyakinkan.Aku ingat sesuatu. Kata Erza, dia akan membawa adiknya juga hari ini. "Kenapa tidak jadi membawa adikmu?" Aku menagihnya. Omong-omong aku sudah duduk di dekat jendela, berhadapan dengan Erza.
Pria itu tersenyum menatapku.
Mukaku datar. Membalas perbuatannya di toko buku tadi. Semoga saja dia sadar.
"Kenapa baru menuntut aku sekarang? Padahal dari tadi kamu nyaman-nyaman saja berdua denganku. Apa sekarang kamu sedang tidak nyaman denganku?" Dia masih saja memperlihatkan senyumannya. Sedangkan aku yang mendengar jawaban itu malah jadi salah tingkah.
Katanya dari tadi nyaman berdua dengannya. Sebenarnya tidak. Rasanya seperti jalan bareng tapi sendiri-sendiri. Kalian tau kan maksutku? Berarti dari tadi dia nyaman-nyaman saja jalan denganku tanpa banyak bicara denganku.
"Aku ha-"
"Lea" Itu bundaku yang memanggil. Memotong penjelasanku untuk pertanyaan Erza. Untung saja bunda datang, jadi aku tidak lagi menjelaskan pada Erza. Aku bahkan tidak tahu mau menjelaskan yang seperti apa.
Sebelum aku menjawab bunda. Erza sudah berdiri, menyalami bundaku dengan mencium tangan bunda. Senyum yang tidak kusukaiku masih saja terukir di wajahnya. Bukan tersenyum denganku, tapi dengan bunda.
"Temennya Lea ya?" Bunda bertanya dengan tangannya yang masih dalam posisi bersalaman.
"Iya bun. Maaf tadi saya mengajak Kalea pergi tanpa meminta ijin."
Bunda terlihat terkejut dan mengangkat alisnya. Entah terkejut karena Erza memanggilnya bunda atau karena Erza meminta maaf. Aku mengangkat bahu saat bunda menatapku beberapa detik.
Akhirnya mereka sudah melepaskan tangannya yang bersalaman.
"Santai saja disini. Pesan kopi atau coklat panas sana di mbak-mbak kasir itu. Gratis untuk kamu. Atau mau pesan yang lain boleh. Bunda masih punya banyak pesenan. Ajak temenmu pesan ya Le"