Chereads / L E Z A / Chapter 3 - Resmi Berpacaran

Chapter 3 - Resmi Berpacaran

Dalam dada anak muda,

Hiduplah benda besar

bernama jantung

Dia terus berdebar

dan membuatmu malu

-Choi Ban Do

'Go Back Couple Eps 04'

.

Hari minggu aku pergi ke ulang tahun bima setelah dipaksa oleh Erza. Pikirku, aku menitipkan kadoku malam itu. Tapi erza terus menolak dan memaksa ku untuk datang. Ada ahmad juga katanya. Bukannya aku tidak mau. Kalo aku kesana kan pasti aku bertemu orang tua Erza, itu membuatku malu dan gugup.

Bunda menyakinkanku malam itu.

Aku dijemput Erza sore itu. Dia yang mengundangku dan dia juga yang menjemputku, dasar aneh.

Disana sudah ada banyak anak kecil, juga ada ahmad dan geng nya. Kalau ada ahmad berarti ada Ahza. Iya, ahza yang kemarin mengajakku jalan. Mereka –ahmad, ahza dan geng nya- bergerombol di belakang, tertawa terbahak-bahak dan pastinya makan sepuasnya.

Erza mengantarku ke gerombolan anak laki-laki itu. Tapi sebelum sampai disana, erza kutahan. Apa dia lupa kalau ini ulang tahun adiknya? Aku kan belum menemui bima. Lalu Erza mengantarku ke dekat panggung mini yang sudah disiapkan.

"Bima sini" erza memanggil adiknya yang sedang duduk dan makan es krim itu. "Ada yang mau kasih kado tuh" lanjut erza setelah bima ada di depannya.

"Selamat ulang tahun bima. Ini kadonya". Aku mengusap rambutnya dan menyodorkan kado yang aku bawa.

Anehnya, erza tidak berbicara baku dengan adiknya. Bahkan dengan ahmad dan teman-teman yang lainnya. Tapi denganku dia seperti seseorang yang berbeda.

Bima mengambil kadonya dari tanganku, memberiku senyuman manisnya dan menanyaiku "Makasih. Namanya siapa?"

"Lea"

Dia melebarkan telapak tangannya menandakan ingin mengajakku high five. Aku membalasnya. Lalu dia berlari ke arah asalnya tadi. Sungguh lucu sekali. Melihat anak-anak kecil berlarian membuatku senang. Bagaimana tidak? Aku tidak punya adik.

"Bertemu mama mau?"

Ash! Sebenarnya aku belum siap. Ini pertama kalinya untukku. Dulu, bahkan sampai aku putus dengan doni, dia tidak pernah mengenalkan aku pada orang tuanya. Aku takut salah bicara nanti. Aku takut tidak disukai.

"Tentu saja" aku mencoba tersenyum meskipun sekarang jantungku tidak karuan.

Aku mengikuti Erza. Hari ini dia memakai kemeja berwarna biru dongker bercorak seperti bintang dengan lengan pendek. Dia masih saja terlihat tampan meskipun kulihat dari belakang.

Dengan hati yang berkecamuk, aku tetap saja memperhatikan erza.

Wanita cantik berjilbab yang sedang duduk di sofa dan memperhatikan sekelilingnya itu membuatku berpikir, apakah itu mamanya Erza? Tentu saja itu mamanya, saat ini kami sudah ada di hadapannya.

Dia berdiri, melemparkan senyumannya padaku, lalu kusalami. Kucium tangannya yang lembut dan wangi itu. Lantas dia bertanya "Siapa ca?".

Dia bertanya kepada anaknya yang dia panggil 'ca' itu. Aku hanya diam menunggu jawabannya.

"Kalea namanya ma. Dia menyukai bima, dan aku menyukainya"

Wanita cantik itu terkejut, melirikku yang tersipu malu. Kulihat dia juga menahan tawanya.

"Sudah berpacaran?" tanyanya yang kusambut dengan mata yang membelalak terkejut.

Erza menghadapkan tubuhnya kearahku, lalu dia bertanya "Mau berpacaran denganku?".

Aaaaaaa

Ingin sekali aku teriak detik ini juga. Hatiku rasanya ingin meledak. Senyum yang kutahan sedari tadi juga memaksa untuk terukir di wajahku.

Bagaimana bisa dia mengajakku berpacaran di depan mamanya. Aku kan tidak bisa menolaknya. Ah! Tapi meskipun hanya berdua, aku juga tetap tidak bisa menolaknya.

Aku tersenyum menatap mama Erza, menganggukkan kepalaku saat dia membalas tatapanku. Dia mengusap pucuk kepalaku dan tertawa. "Lucu sekali kalian".

"Dia resmi jadi pacarku sekarang"

Erza memamerkannya pada mama.

"Yasudah, sekarang mama tinggal. Acaranya dimulai sekarang saja. Oh ya jangan lupa kenalin ke papa juga."

Wanita itu tersenyum sekali lagi sebelum meninggalkan kami berdua.

Ulang tahun bima berlangsung meriah. Bima terlihat bahagia menerima kado dari teman-temannya, bermain game bersama temannya, lalu makan bersama. Aku, erza, ahmad dan yang lainnya hanya duduk di paling belakang sambil menertawakan tingkah anak-anak kecil itu atau lawakan ahmad yang selalu saja berhasil.

Aku juga bertemu papa Erza yang sama baku dan kakunya seperti Erza. Terlihat tampan, gagah dan selalu tersenyum. Ayahku tidak kalah meski begitu.

Ah iya!

Saat dia mengantarku pulang, dia juga memperkenalkan dirinya pada bunda dan ayahku. Bukan lagi sebagai temanku, tapi sebagai Erza yang sudah berpacaran denganku. Bunda sudah tidak terkejut lagi, karena aku selalu curhat pada bunda. Kalau ayah, dia hanya selalu membalas dengan senyumannya yang khas.

Malam itu, aku belum tidur, duduk di meja belajarku sambil menonton NCT Daily kesukaanku. Aku memang suka KPOP tapi tidak sefanatik fans lainnya. Kamarku hanya tertempel satu poster NCT DREAM era Chewing Gum, tidak punya lightstick dan album. Aku hanya penikmat lagu, konten, dan visual tentunya.

Line

Aku tahu itu pasti Erza. Dan benar saja saat sudah kulihat namanya di layar ponselku.

Erza: Pasti sudah tidur

Sok tau sekali dia.

Lea: Sok tau kamu

Erza: Sudah tengah malam

Erza: Kenapa belum tidur?

Lea: Belum mengantuk

Erza: Tutup saja matamu

Erza: Pasti akan tertidur Kal

Lea: Ada apa denganmu?

Lea: Kenapa chat tengah malam?

Erza: Sedang tidak bisa tidur dan ingat kamu

Erza: Kamu tidur saja sekarang, besok sekolah

Lea: Iya, aku akan tidur

Erza: Selamat malam Kal

Lea: Selamat malam za

Setelah mengucapkan selamat malam, aku benar-benar bisa tertidur sekarang. Memang ajaib sekali ucapan selamat malam darinya, seperti menyihirku.

Pagi ini, aku berangkat ke sekolah dengan hati yang lebih bahagia dari biasanya. Bertemu dengan Erza yang sekarang sudah menjadi pacarku. Aku terus menghayalkan masa-masa indah di sekolah bersama Erza, seperti yang diceritakan pada novel-novel yang kubaca.

Duduk di bangku, melepas tas hijauku, membaca novel online dan menunggu Erza. Sudah tidak sabar aku menemuinya.

Setelah membaca selama 7 menit, seseorang di ambang pintu itu menarik perhatianku. Dia menuju kearahku. Iya, itu pacarku. Dia yang mengunci pandanganku sedari tadi itu kusambut dengan senyuman yang kuusahakan paling manis pagi ini.

"Selamat pagi" dia duduk tepat disampingku, melepas tas ransel hitamnya dan tetap menatapku.

"Selamat pagi za"

Ini hari pertamanya mengucapkan selamat pagi untukku, dan hari pertamaku membalas ucapannya itu. Berpacaran dengannya sungguh sederhana. Semua perempuan pasti mengharapkan hal-hal romantis dari pacarnya, tapi saat dengannya, aku tidak menuntut banyak hal darinya.

Karena aku hanya menyukai seorang Erza. Tanpa menuntut bagaimana sikapnya padaku, apa yang dia berikan, atau hal-hal yang seharusnya dilakukan pasangan. Aku menyukainya karena itu Erza. Aku tidak bisa bagaimana cara menjelaskannya pada kalian.

..

..

Sudah dua minggu berlalu, sejak aku berpacaran dengan Erza.

Dia selalu mengantarku pulang, dan tentunya mengajakku sholat ashar terlebih dahulu di sekolah. Chatting dengannya sebelum tidur juga menjadi rutinitas tambahan. Mengucapkan selamat pagi di sekolah dan selamat malam di telepon.

Tidak ada yang istimewa.

Bahkan kami tidak malam mingguan seperti yang lainnya. Padahal sebelum berpacaran denganku, dia memaksa ku untuk pergi dengannya di hari sabtu yang katanya punya banyak waktu.

Kalian ingat ketika dia menceritakan toko baju usahanya itu? Ternyata bukan dia sendiri yang berjualan disana. Dia memperkerjakan 2 orang disana. Aku juga sering memperhatikan toko itu saat lewat, tokonya selalu ramai pembeli.

Hari ini, hari pertama erza menjemputku untuk pergi ke sekolah. Karena hari ini adalah ujian kenaikan kelas, aku masuk jam 8 dan pulang jam 10.

Pulang sekolah, aku tidak langsung pulang. Dita mengajakku ke rumahnya. Dan tentunya dengan Erza, ahmad dan gengnya. Rina, lia dan putri juga ikut. Aku tidak tahu sejak kapan kami ber-12 ini jadi dekat.

Rumah dita yang tidak seluas rumah Erza itu serasa penuh sekali karena kami. Kami disuguhi banyak sekali makanan, tapi hanya doni yang sedari tadi berkutat dengan makanan. Aku duduk di sudut sofa panjang yang diisi geng perempuan. Sebelah kiriku ada sofa single yang diduduki ahza.

Kalau kalian mau tau dimana Erza. Dia sedang duduk dikarpet menghadapku. Semua anak laki-laki duduk di karpet kecuali Ahza yang ada si sebelah kiriku. Dan Bayu yang ada di sudut kanan.

Sssstttt!!

Kami yang sedari tadi tertawa karena lelucon ahmad dan doni, tiba-tiba terdiam ketika Ahza menyuruh kita berhenti berbicara.

"Napa woeee" teriak ahmad memecah keheningan.

Ahza tidak menghiraukan ahmad. Dia mengambil sesuatu di saku celana, lalu menyodorkannya padaku. Telapak tangannya menengadah, ada gantungan kunci berbentuk bunga mawar disana.

Aku mengerjap tidak tau maksud Ahza.

"Mau gak jadi pacar gue?" suara ahza yang berat itu membuatku terkejut.

Dia menembakku tepat di depan pacarku. Memang mereka belum tau kalau aku berpacaran dengan Erza. Kata Erza, tidak ada yang perlu dipamerkan kepada mereka. Aku dan Erza tidak ingin ada yang menganggu hubungan kami atau bahkan merusaknya.

Tapi ketika kami tidak menunjukkan hubungan, tetap saja ada yang membuat masalah.

Ternyata ini alasan ahza selalu mendekatiku dan rajin menghubungiku. Aku tidak pernah berpikir akan menjadi seperti ini.

Aku tidak berani menatap Erza yang mungkin sudah emosi saat ini, berbeda dengan teman-temanku yang tertawa pelan dan membisikkan agar aku menerima ahza.

"Gak bisa"

Suaraku berat, rasanya ada yang mengganjal tenggorokanku. Situasi ini membuatku ingin lari, tapi tidak bisa. Aku takut Erza marah, aku takut emosi Erza meluap saat aku pergi. Jadi kupaksa tubuhku ini tetap diam dan menolak Ahza didepan Erza.

"Kenapa? Gue banyak kurangnya ya?" suara Ahza sedikit meninggi.

"Emang gue nya aja yang gak bisa nerima lo. Gue gak ada perasaan sama lo. Gue ----"

"Kita pulang saja Kal"

Itu suara Erza. Dia berdiri dari duduknya, meraih tasnya dan juga tasku, lalu menggandeng pergelangan tanganku. Aku hanya bisa menurut saja. Sebelum sampai keluar dari pintu, ahza mencengkram pergelangan tangan Erza yang sedang memegangku semakin erat.

"Ngapain lo ngerusak momen gue? Punya masalah lo sama gue?" ahza sudah emosi. Dagunya diarahkan maju, tanda menantang Erza.

Aku melepas genggaman Erza, dan juga melepas cengkraman ahza di pergelangan tangan Erza yang memerah. Mereka berdua tetap mengunci pandangan satu sama lain.

Ahmad yang kukode dengan tatapan, segera melerai mereka, dibantu dengan feri. Menjauhkan Ahza dari jangkauan Erza. Aku pamit pada dita dan buru-buru mengajak Erza keluar dari rumah itu.

Erza melajukan motornya menjauhi rumah dita. Sekarang, keheningan menguasai kami. Aku melamun di bawah terik matahari yang tidak kuhiraukan saat ini. Memikirkan kejadian yang akan menyebabkan permusuhan diantara keduanya membuatku pusing.

Ternyata rencana kami menyembunyikan status, tidak semudah yang diharapkan. Erza juga belum mengumumkannya di depan temanku bahkan saat emosinya memuncak seperti tadi. Seperti novel-novel yang kubaca. Kenyataannya, Erza dan aku bukanlah karakter dalam novel itu.

Saat pikiranku sibuk memikirkan banyak hal, kami sudah sampai di depan rumahku. Aku turun dari motor, melepas helm lalu kuberikan Erza yang juga melepas helmnya.

"Mau mampir?" tanyaku melupakan kejadian yang baru saja terjadi.

Dia menggeleng-gelengkan kepalanya, dan melemparkan senyumannya padaku. Senyuman yang selalu terukir disana. Tanpa berkata-kata, kami berdua saling menatap lamat-lamat, menjangkau perasaan satu sama lain.

Aku tidak pandai membaca ekspresi, tapi kuharap dia sedang tidak menyesal sekarang. Kuharap dia selalu bisa menahan emosinya seperti tadi.

Tidak perlu banyak bicara untuk membenarkan diri sendiri, dan juga tidak perlu banyak tingkah untuk membenarkan orang lain.

"Dhuhur sudah terlewat, aku pamit pulang. Jangan lupa sholat dan nanti hubungi aku setelah belajar". Dia melajukan motornya setelah aku mengangguk-angguk mengiyakan.

Malam itu aku curhat dengan bunda. Tentang awal mula ahza mendekatiku sampai pada kejadian di rumah dita. Bunda tidak bisa menasehatiku yang bagaimana. Dia cuma berpesan kalau aku harus bicara baik-baik dengan mereka berdua.

Seperti perintah Erza, aku menghubunginya setelah selesai belajar. Aku tidak berani membahas kejadian itu duluan. Aku menunggu diamembicarakannya. Tapi sampai sepulang sekolah pun dia tidak membahasnya.

Mereka –Erza dan Ahza- tidak menampakkan emosinya lagi. Hanya saling menjauhi. Aku sedikit tenang melihat suasana itu. Setidaknya mereka tidak berkelahi hanya karena aku.

Seperti biasa, dia mengantarku pulang dan kebiasaan saat sudah sampai di depan rumah, mengobrol. Dia selalu mengajakku mengobrol sebentar tanpa masuk rumah. Ya karena aku di rumah sendirian. Tidak baik di dalam rumah bersama pria yang bukan muhrim.

"Aku sudah berbicara dengan Ahza" ucapnya sesaat setelah melepas helmnya. Dia menatapku tanpa ekspresi. Sepertinya bukan tanpa ekspresi, hanya saja aku tidak bisa membaca ekspresi apa yang sedang dia utarakan dalam wajahnya itu.

Aku masih diam, menunggu penjelasannya berlanjut.

Dia menaikkan satu sudut bibirnya sedikit, tatapan itu juga berubah menjadi sendu. Dia membuka mulut lagi. "Aku dihajar oleh Ahza, aku tidak tau kalau dia se emosi itu".

Jleb

Serasa ada bom yang jatuh mengenaiku. Apa yang kutakutkan itu, ternyata terjadi tanpa sepengetahuanku. Dan pria yang ada di depanku ini malah tersenyum sekarang. Memang pria aneh.

Dia menunjukkan telapak tangannya padaku. Ada banyak luka kecil disana. Goresan-goresan yang membuat kulit paling luar sedikit mengelupas.

Aku memegang telapak tangan kiri itu dengan kedua tanganku yang lebih kecil darinya. Memandangi luka-luka yang sudah agak mengering. Menyelami pikiranku yang sedang menerka-nerka bagaimana cara mereka bertengkar.

"Pria memang seperti itu Kal. Kalau belum bertengkar fisik, ya mana bisa mereka berbaikan. Aku sudah berbicara dengan Ahza kalau aku berpacaran denganmu. Dia juga meminta maaf padaku. Tidak usah khawatir" jelasnya panjang.

Aku tidak tahu apa sebenarnya isi otak pria. Bagaimana bisa dia bicara seperti itu? Apa mereka tidak bisa tidak pakai fisik? Bagaimana bisa dia bicara kalau itu wajar?

Pria dan wanita itu memang berbeda. Mereka juga sering salah mengartikan apa yang dimaksud pasangannya. Karena itu, aku coba memahami apapun tentang Erza. Wanita itu memang seperti itu, kata bunda. Tidak hanya pria saja yang harus memahami semua maksud wanita. Harus seadil itu.

"Mau kerumahku?" dia menanyai karena tidak mendengar jawaban apapun dariku.

Aku sudah tidak mood sekarang. Aku menggeleng-gelengkan kepalaku menolak tawarannya. "Mau istirahat saja" akhirnya aku membuka mulutku setelah lamanya berdiam diri. Bukan berdiri diri, mendiamkan diri tepatnya.

Aku tidak mau memarahi Erza atau menenangkannya. Biar dia berpikir sendiri. Aku juga akan melakukan hal yang sama. Biar kita menyelami pikiran masing-masing yang entah apa isinya. Aku pun tidak apa sebenarnya yang sedang aku pikirkan sejak tadi.

Dia menggenggam tanganku yang sedari tadi masih memeganginya. "Jangan lupa sholat dan belajar. Aku tidak mau nilai mu menurun nanti. Salam buat bunda".

Aku masuk kerumah sesaat setelah menjawab salamnya. Dia masih menatapku punggungku yang mungkin sedang terlihat lesu. Memperhatikanku hingga hilang dibalik pintu utama rumahku.

Dari dalam, aku mendengar suara motornya yang semakin menjauh.

Tidak usah terlalu galau, nambah bikin banyak masalah baru.

Begitu kata bunda. Bunda memang benar, terlalu berpikir tentang banyak hal membuatmu sadar tentang banyak kesalahan. Jika permasalahan itu selesai, biarkan dia selesai juga di pikiranmu. Sebesar apapun masalahnya, simpan saja di dalam hati tanpa mencampurnya dengan emosi apapun. Jika masalah belum terselesaikan, rapikan saja dulu di hati dan pikiranmu, suatu saat nanti akan ada jawabannya tanpa kamu paksa untuk datang.