Maafkan aku yang terlalu gegabah merindukanmu,
Yang selalu gamblang mencintaimu,
Dan aku yang terlalu jumawa memperhatikanmu.
Jangan menertawaiku pongah.
Aku ini mencintaimu.
-Author
.
Ujian kenaikan kelas selesai setelah dua minggu. Hubunganku dan Erza baik-baik saja. Bahkan Erza dan Ahza juga sudah mulai dekat kembali. Aku lega karena itu.
Hari ini, hari sabtu, Erza mengajakku pergi. Lebih lama dari biasanya, begitu katanya. Dan seperti biasa, dia tidak bilang mau mengajakku kemana. Setelah berpamitan dengan bunda dan ayah, Erza melajukan motornya pukul 7.
"Mau kemana?" tanyaku meskipun tahu pasti Erza tidak akan memberi tahu.
"Kemana saja asal berdua denganmu" dia tersenyum menatapku dari spion kiri.
"Tumben mengajakku pergi pagi sekali"
"Perjalanannya membutuhkan dua jam. Sekarang aku mempercepat motorku, agar lebih cepat sampai tujuan"
Dia memang sedikit mengebut, dan aku yang baru sadar dia mengebut langsung memegang jaketnya erat.
"Takut jatuh ya?" pekiknya menertawaiku.
"Tentu"
Selama perjalanan dia mengajakku berbicara hal-hal random, tentang ahmad yang mengerjainya, tentang bima yang semakin nakal, atau mengomentari bangunan-bangunan yang kami lewati.
Erza sudah berubah sekarang, berubah dalam hal positif tentunya. Dia sudah tidak baku dan kaku, dia juga banyak bicara sekarang.
Kupikir kami akan sampai. Aku melihat gunung dan bukit-bukit berjajaran rapi. Membentang luas berwarna hijau kesukaanku. "Waaahhhh"
"Indah sekali kan Kal?" tanya Erza ketika mendengar aku mengagumi pemandangan yang menyambut kami itu.
"Iya"
Masih saja aku terpaku dengan pemandangan itu, mungkin mulutku melongo tanpa kusadari. Erza sudah membawaku naik ke atas bukit. Desa-desa sekitar terlihat semakin menjauh. Semakin ke atas, semakin aku menyukainya.
Erza menghentikan motornya di bawah pohon besar yang siap menjadi payung berteduh untuk kami berdua.
"Bagus sekali dari atas Za" aku tersenyum lebar sekali, menunjukkan deretan gigiku.
Erza yang melepaskan helmku juga sedang tersenyum lebih lebar dari biasanya. "Aku senang kalau kamu suka Kal"
Aku menjauhi Erza sesaat setelah helm sudah terlepas dari kepalaku. Aku memotret pemandangan itu. Pemandangan pertama yang kulihat bersama Erza. Kenangan yang harus aku abadikan dalam ponselku selain hanya dalam hati dan pikiranku.
Erza mendekatiku, merapikan rambutku yang mungkin berantakan karena helm dan semilir angin. Aku mendongak, menatapnya yang masih saja tersenyum. Bola mata hitam itu sedang mengukir bayanganku. Aku menyukai itu.
"Sini, aku potret kamu dengan pemandangan indah itu"
Aku mengangguk-angguk semangat, memberikan ponselku pada Erza. Aku berpose membelakangi gunung tinggi, awan putih yang mengelilingi gunung dan matahari yang belum terlalu tinggi.
Aku mendekati Erza, melihat hasil fotoku sendiri.
"Bagaimana bisa kamu masih terlihat cantik meski bersanding dengan pemandangan yang paling indah itu?" aku mengalihkan pandanganku, yang semula melihat ponsel, sekarang aku memperhatikan seseorang yang sedang memujiku sekarang.
"Bagaimana bisa ciptaan Tuhan yang ter-indah ini menemukan ciptaan Tuhan yang paling indah itu?" Aku membalas pertanyaannya dengan pertanyaan lain.
Kami bukan melontarkan pertanyaan untuk mendapat jawaban, tapi untuk memuji satu sama lain.
"Papa yang memberi tahuku tentang tempat ini. Papa sering sekali kesini bersama mama. Saat masih berpacaran seperti kita. Untungnya, tempat ini masih ada. Makanya aku mengajakmu kesini. Supaya kamu melihat apa yang dilihat mama"
Perkataannya yang panjang itu membuatku mengharapkan takdir seperti papa dan mama. Takdir Tuhan yang tidak akan pernah berubah –jodoh.
"Aku tidak menjanjikan apapun tentang masa depanmu bersamaku. Aku bahkan belum genap 17 tahun sekarang. Aku tidak tahu apakah pilihanku tetap sama atau akan berubah nanti. Jadi, tetaplah bersamaku saat ini. Tentang masa depan, biarlah jadi misteri dulu"
Senyumku pudar saat mendengar penjelasannya. Bukan karena aku tidak menyukai perkataannya itu tapi karena aku sedang memahaminya lagi. Memahami setiap kata yang dia ucapkan.
Dia memang pria yang blak-blakan. Terus terang tentang apa yang mungkin akan terjadi selanjutnya, tentang dirinya yang tidak ingin menyakitiku ketika dia tidak bisa memenuhi janjinya. Aku suka jika dia berani mengungkapkan itu.
Aku juga tidak mau menggenggam janji-janji yang aku saja juga tidak tahu nantinya akan terus bisa kuterima atau kulepaskan begitu saja. Apalagi kita yang masih remaja, masih banyak waktu untuk membuat perubahan.
"Kita masih remaja, nikmati saja masa-masa ini. Tidak perlu banyak berpikir. Nanti cepet tua" aku tertawa kecil dan mengalihkan pandanganku ke arah pemandangan yang sedari tadi membisu menyaksikan kami berdua.
"Pernah tidak mendengar pernyataan kalau pacarmu di umur 16 tahun itu akan berpengaruh?"
"Semoga saja aku berpengaruh baik untukmu. Tapi umurku masih 15 sekarang, jadi tidak berpengaruh untukku sekarang"
Dia menaikkan alisnya saat mendengar bahwa aku masih berumur 15 tahun. Iya, memang aku masih berumur 15 tahun. Aku lahir di akhir tahun, tepatnya bulan desember. Aku masuk sekolah memang lebih muda dari teman se-angkatanku. Mungkin beberapa juga seperti aku.
"Memang benar kata ahmad. Kamu ini sebenarnya masih TK"
Dasar ahmad!
Aku ini memang pendek, kuakui itu. Tapi juga tidak sependek anak TK. Ahmad itu memang begitu, asal bicara.
Aku memanyunkan bibirku, meliriknya dengan tatapan sarkas. "Yasudah, jangan berpacaran dengan anak TK" tentu saja aku pura-pura ngambek. Biar gak garing-garing banget kisah cintaku ini.
"Ngambek saja sampai nanti, tidak akan kularang"
Ishh
Aku mendengus sebal. Kali ini aku benar-benar ngambek. Kalau saja itu bukan Erza, pasti akan mencubitku gemas atau akan memasang wajah imutnya agar aku tidak ngambek lagi. Tapi dia malah menyuruhku ngambek sampai nanti, memasang wajah datar, dan tidak seperti yang kuharapkan.
Aku menjauh darinya. Duduk di batu besar yang kebetulan ada di bawah pohon. Aku mengistirahatkan punggungnku yang capek. Emm.. sebenarnya tidak capek. Hanya ingin mengekspresikan kalau aku ini sedang ngambek dengan Erza. Apa itu cukup?
Aku juga memalingkan wajahku saat Erza duduk tepat disamping kananku.
"Bagaimana bisa aku melarangmu kalau yang kamu lakukan itu bukanlah hal tercela Kal?"
Itu bukan pertanyaan yang harus aku jawab. Itu seperti ungkapan kepada diri sendiri. Jadi.... aku tidak akan menjawab, meskipun kalimat itu membuatku tersenyum sekarang. Biarkan aku menunggu kalimat-kalimat berikutnya.
Dan benar saja, dia mulai berbicara lagi.
"Kal, hari kedua masuk sekolah, sebenarnya aku ingin pindah tempat duduk. Aku takut kamu tidak nyaman sebangku denganku. Tapi hari ini, aku tidak menyesal tetap memilih dekat denganmu. Entah mengapa, aku berpikir kalau kejadian itu berpengaruh sekali dengan hubungan kita saat ini"
Ah! Aku ingat sekali bagaimana sikapnya saat pertama kali bertemu denganku. Kukira, dia yang tidak nyaman duduk sebangku denganku.
Aku menoleh kearahnya, menatap pahatan wajahnya yang terlihat dari samping. Menelisik apa yang kira-kira dia pikirkan hingga membuat alisnya itu mengerut.
"Dan hari dimana untuk pertama kalinya aku mengantarmu pulang itu, aku sudah tahu dimana rumahmu. Aku tahu jauh sebelum itu."
"Ha?" Aku terkejut. Waktu itu, dia menanyaiku dimana rumahku. Pandai sekali dia berbohong.
Dia juga terkejut dengan teriakanku hingga membuat bahunya otomatis terangkat. Dia menatapku sambil memundurkan kepalanya karena jarak kami yang terlalu dekat.
"Bagaimana kamu bisa tahu rumahku? Aku kan tidak pernah memberi tahu siapapun sebelum itu"
"Memang begitu Kal. Menyukai seseorang itu akan membuat kita tau segalanya. Bahkan hal-hal sekecil dan sesepele apapun pasti tau".
Aku memicing, "Kamu menguntitku ya?".
Dia mengalihkan pandangannya, tertawa remeh mendengar pertanyaanku.
Dari dulu, perempuan adalah manusia yang paling jago stalker. Perempuan manapun. Seharusnya aku yang stalker dia, tapi malah kebalikannya. Apa dia sedang dirasuki jiwa perempuan tukang stalker saat itu? Haha.
Aneh-aneh saja aku ini.
"Memangnya aku ini tidak ada kerjaan. Tentu saja itu hanya kebetulan."
"Kamu ini memang pria aneh."
Iya, dia itu pria yang aneh. Tadi katanya tahu segalanya, dan baru saja dia bilang itu hanya kebetulan. Tidak ada yang namanya kebetulan setiap hari, apalagi dengan orang yang sama. Bukan aneh, plinplan lebih tepatnya.
"Aneh bagaimana Kal?"
"Kaku, baku, tidak banyak bicara, tidak bisa ditebak, suka menculikku, suka nulis diary, tertutup, dan satu lagi.... senang sekali membuatku tak karuan"
Aku sempat menggantungkan kalimatku. Ingin mengatakan 'hobi membuatku jatuh cinta', tapi tidak jadi. Hmmm.. karena.. Ah aku tidak tau.
Yang baru saja kukatakan itu sudah mewakili banyak hal. Dia menciptakan perasaan-perasaan baru yang selama ini tidak pernah aku temui. Tidak bisa kujelaskan satu-persatu. Perasaan itu sulit sekali kuungkapkan dalam ucapan, gerakan, maupun tulisan.
Serumit itu perasaanku.
"Apa sampai sekarang aku masih kaku denganmu?"
"Kadang"
"Kalau bicaraku tidak baku, tidak akan seromantis ini"
"Apa yang mem—"
"Kamu juga sulit ditebak Kal"
"Meneb—"
"Penculik tidak akan minta ijin dulu Kal"
"Ih"
"Buku diary ku itu ya tentang kamu Kal"
"Ha?"
"Semua orang pasti tertutup, apalagi tentang rahasia"
"Tapi kan –"
"Dan satu lagi, tak karuan bagaimana maksutmu Kal"
"Sud—"
"Sudah kok bicaranya"
Ash! Dia menyebalkan sekali sekarang. Ingin sekali aku memakannya detik ini juga. Untung saja aku bukan psikopat gila, jadi tidak jadi kumakan. Dia juga tersenyum manis sekarang, jadi termaafkan.
Eh meskipun termaafkan, masih saja aku sebel dengannya. Sejak kapan dia banyak bicara dan semenyebalkan itu. Siapa yang mengajarinya? Eumm.. Pasti ahmad pelakunya. Ahmad kan banyak bicara.
Aku diam, menyembunyikan separuh wajah ke kedua tangan yang terlipat diatas lututku.
Suara angin yang berlalu lalang itu mendominasi, gemuruhnya keras sekali ditelingaku saat ini. Masih saja dia tak berbicara selama 1 menit lebih.
Aku menoleh kearahnya sedikit, melirik apa yang sedang dia lakukan hingga tidak bicara lagi setelah selalu memotong jawabanku. Mata kami bertemu, segera aku mengerjap dan menolehkan kepalaku seperti semula.
Sialan! Dia sedari tadi hanya memperhatikanku?
Dia tertawa pelan, aku mendengarnya. Sesaat kemudian, aku menurunkan kakiku, menegakkan tubuhku, duduk seperti sebelum aku marah padanya. Bukan marah, hanya sebal saja.
Aku tertawa setelah menatapnya yang masih tertawa kecil menertawaiku.
"Kenapa tertawa?" Tanyanya dengan nada sarkas setelah mengubah raut wajahnya menjadi datar.
Tanganku otomatis memukul lengannya dengan keras. Dia mengaduh sambil memegangi lengannya.
"Ayo pulang!" Aku berdiri, bergegas menuju motornya, dan segera mengambil helm ku yang tergantung di spion.
Dia masih saja duduk ditempatnya, mengacuhkan aku yang sudah marah karenanya. Sungguh-sunguh menyebalkan. Aku juga diam saja disamping motor maticnya itu, menunggu dia menghampiriku.
Kukira, part ini akan benar-benar romantis seperti dalam novel-novel favoritku. Duduk berdua di bawah pohon, tertawa bersama, mendengarkan kata-kata romantis yang dilontarkan pasangan dan mengenangnya sebagai salah satu hari yang indah bersama. Tapi nyatanya, dia tidak mendekatiku selama 10 menit aku berdiri disini.
Dia asik memainkan jemarinya, menikmati panas matahari yang mulai terik, dengan sesekali bersenandung kecil diiringi angin yang semakin lama semakin membuat perutku mules.
Aku jongkok setelah tak kuat lagi berdiri. Sebenarnya bukan capek, tapi lebih tepatnya karena aku mau menangis sekarang. Aku jongkok, melepaskan helm yang sedari tadi kupegang, menyembunyikan wajahku di lipatan tangan yang menangkup kakiku.
Iya, aku menangis sekarang. Bagaimana bisa dia mengacuhkan aku begitu lamanya?
Dasar pria aneh!
Tiba-tiba lenganku hangat, tangan Erza yang kekar itu memegang lenganku. Dia menarik lenganku pelan, membuyarkan lipatan yang menutupi wajahku. Tentu saja aku masih menunduk, wajahku kini penuh dengan air mata. Mungkin wajahku sudah merah sekarang.
"Jangan pernah jadi wanita yang mudah marah" suara rendahnya itu makin membuatku terisak. Apa maksudnya mengatakan itu? Aku kan hanya ingin perhatiannya.
"Bukannya aku tidak ingin memberi perhatianku padamu. Tapi sifat itu akan membuatmu egois nantinya. Jangan seperti tokoh dalam novel yang sering kamu baca itu, mereka egois, tidak pernah mendengarkan penjelasan pria dan hanya mementingkan tangisannya yang akan membuatnya makin tersiksa"
Dia mengangkat lenganku agar aku berdiri. "Lain kali, tunggu penjelasanku dulu, lalu kamu boleh egois kalau saja aku menyakitimu. Tapi kupastikan, aku tidak akan menyakitimu" lanjutnya.
Apa yang dia katakan, sepenuhnya memang benar. Bunda juga mengajariku hal-hal seperti itu. Jadi dari tadi dia hanya mengetesku? Dia hanya ingin tahu sifatku?
Aku mendongakkan kepalaku menatapnya, sambil mengusap air mataku, aku bertanya "Apa kamu memang semenyebalkan itu?"
"Apa kamu memang secantik itu saat menangis?" dia malah balik menanyaiku. Ah! Bukan pertanyaan jika kudengar dari cara bicaranya, dia sedang menggodaku.
..
..
Hari ini selasa, tiga hari setelah kencan ketigaku bersama di bukit. Sekolah diliburkan satu minggu setelah ujian akhir semester.
Karena aku sedang bosan di rumah, pagi ini aku bersepeda keliling komplek, siapa tau ketemu Erza. Eumm.. Aku ini sedang bosan atau hanya ingin bertemu pacar sih.
Dia itu memang kangen-able. Padahal baru semalam aku video call-an dengannya berjam-jam. Membicarakan konten-konten youtube kesukaanku, membicarakan game-game kesukaannya, dan sesekali berbicara dengan bima yang senang sekali karena akan masuk sd beberapa bulan lagi.
Erza itu tampan –ya meskipun aku baru sadar-, kaya raya, keluarganya harmonis dan juga dia tidak sombong. Sempurna sekali hidupnya. Aku tidak iri, hanya saja aku bingung. Bagaimana bisa seseorang bisa sesempurna itu?
Aku bilang dia sempurna karena hanya melihatnya dari sisi paling luar. Pasti ada saja kekurangan manusia, jika dilihat dari sisi yang mendalam.
Sejenak memikirkan kesempurnaan Erza, aku sudah mendekati rumahnya sekarang, tinggal beberapa meter lagi. Rumahnya yang super mewah itu sudah terlihat dari jauh. Mencolok sekali.
Aku berniat berhenti di depan rumahnya dan menelponnya agar menemuiku. Tapi aku sudah melihatnya dari arah berlawanan. Dia memakai celana olahraga hitam dan kaus biru, berkeringat banyak sekali. Rupanya dia sedang jogging.
Aku melambaikan tanganku kearahnya, tapi larinya dia percepat langsung masuk rumah tidak menghiraukan aku. Wajahnya yang sempat kuperhatikan itu berekspresi cemas dan buru-buru. Aku baru menyadari.
Sepertinya bukan hal yang baik.
Aku masuk rumahnya lewat gerbang yang terbuka lebar sekali. Segera menghempaskan sepedaku ketika mendengar suara riuh dari dalam rumah. Aku diam sejenak di depan pintu rumahnya yang dibuka penuh, memutuskan apa aku harus masuk atau tidak.
Brengsek!