Chereads / L E Z A / Chapter 2 - Kencan Kedua

Chapter 2 - Kencan Kedua

Rutinitas di hari senin, upacara.

Sekarang sudah hari senin. Dua hari setelah kencan pertamaku dengan Erza. Tapi hari ini dia tidak masuk sekolah. Kipikir akan telat, bahkan ketika upacara sudah dibubarkan dia tetap saja tidak ada di kelas. Kalau bolos, mungkin tidak. Dia rajin sekali masuk sekolah.

Duduk sendiri membuatku semakin kesepian.

Tumben sekali dia, batinku.

Guru yang mengabsen bertanya, "Kemana Erzani? Apa ada surat?". Aku menoleh pada teman-temanku. Mungkin saja ada yang tahu. Aku kan juga penasaran.

Ahmad mengacungkan tanganya, "Cedera buuuu... Suratnya menyusul".

Ha? Cedera? Bagaimana bisa? Baru saja aku bertemu dengannya. Aku celingak celinguk tidak mengetahui apapun. Di grup kelas pun tidak ada yang membahas itu. Teman-teman perempuanku juga seperti aku, terkejut mendengar jawaban Ahmad.

"Cedera karena apa?" Guruku penasaran. Aku lega bu sulis bertanya lagi, mewakilkan isi kepalaku dan juga temanku yang lain.

"Main bola bu" jawab ahmad.

Ah hanya main bola.

Teman-temanku menganggukkan kepalanya, sudah tidak penasaran.

Sejak kapan dia suka main bola? Yang kutahu saat disekolah, dia tidak pernah bermain bola kecuali saat berolahraga. Bahkan saat dipaksa ahmad dan feri, dia tetap saja menolak. Lebih memilih bermain game di kelas atau tidur sambil memakai earphone. Aku tidak memperhatikan dia, aku hanya tau apa yang dilakukan dia saat di kelas. Karena aku juga penghuni kelas bahkan saat istirahat. Sama sepertinya.

Aku yang masih penasaran ini, akhirnya menanyakan keadaannya via line. Tenang saja, aku tidak bermain saat jam pelajaran. Ini sudah jam istirahat. Sambil makan bekalku, aku membuka aplikasi line dan mengetikkan pertanyaan.

Lea: Cedera ya?

Erza: Iya kal

Erza: Siapa yang memberitahumu?

Dia gercep membalasku. Ah! Mungkin dia sedang gabut di rumah. Berbaring di tempat tidurnya sambil scroll ponsel-nya. Itu pikirku. Sok tahu sekali kan. Haha.

Lea: Ahmad ditanyai bu sulis tadi

Lea: Ternyata kamu juga main bola ya

Erza: Semua laki-laki bisa bermain bola Kal

Erza: Sedang istirahat ya kal?

Lea: Iya, seperti biasa.

Erza: Tugasnya banyak tidak, kal?

Lea: Tidak. Nanti kupinjami punyaku

Erza: Nanti? Kapan kal?

Ah iya, kenapa aku mengetik seperti itu. Kujawab apa ini yatuhannnnn. Haruskah aku ke rumahnya cuma untuk meminjami bukuku.

Lea: Tidak tahu

Erza: Kamu foto saja nanti

Erza: Terima Kasih

Tiba-tiba dita duduk di sebelahku, mengagetiku yang sedang meminum air. "Woii"

Uhuk Uhuk

Dita menepuk-nepuk punggungku. Dan menyuruhku untuk minum sekali lagi.

"Kenapasi dit?" Jawabku dengan suara yang masih terbatuk-batuk.

Dita mendekatkan wajahnya ke wajahku, membuatku memundurkan kepalaku dengan ekspresi terheran-heran. "Ikut kerumah Erza gak lu?" tanyanya sambil mengangkat alisnya.

"Jenguk ya?" tanyaku menyakinkan. Dita menganggukan kepalanya tanda mengiyakan pertanyaanku. "Semua anak-anak ikut gak?" tanyaku lagi memastikan ini suatu keharusan atau tidak.

Dia menghela napas dan sudah menjauhkan wajahnya dariku. "Gak semua sih le. Cuma pada nitip salam doang. Tapi kan lu sebangku sama dia, yakali gak ngikut lu. Deket kok rumahnya, palingan 30 menit doang. Entar gue bonceng deh lu. Gue anterin sampe rumah lu. Mana rumah lo?"

Dita memang pandai berbicara. Banyak sekali yang ingin dia bicarakan, seperti tidak akan kehabisan kata-kata. Tidak sepertiku yang selalu takut salah untuk berbicara. Bahkan aku sampai selesai merapikan tempat bekalku dan memasukkannya ke dalam tas saat dia sedang berbicara.

"Iya aku ikut."

Menjenguk sambil memberikan catatanku padanya, pikirku. Lagian rumahku kan juga dekat dengannya. Aku bisa jalan kaki dari rumahnya. Aku mengiyakan ajakan dita juga karena aku tidak ingin dipaksanya dengan tingkah-tingkah sok imut khas dita. Lebih baik cepat-cepat mengiyakannya.

Line dari Erza tidak kubalas, karena bel masuk sudah berbunyi saat dita baru selesai mengajakku bicara.

Sebelum menjenguk Erza, kami semua membeli buah-buahan di market menggunakan uang yang kita kumpulkan bersama. Tidak banyak yang ikut. Hanya ahmad dan satu geng-nya berisi 6 orang, dita, rina, lia, putri dan aku. Setidaknya sudah mewakilkan teman satu kelas.

Aku sempat berbicara dengan dita. Kata dia, Erza cedera saat main bola bersama ahmad hari minggu. Mereka memang sering bermain bola bersama. Tidak hanya ahmad, tapi juga teman laki-laki ku yang satu kelas denganku. Mereka sedang bertanding dengan kelas sebelah kemarin minggu. Dan tiba-tiba Erza jatuh karena kakinya tertendang kaki lawan. Begitu kata dita.

Dita tidak mengetahuinya langsung. Dia dapat cerita itu dari ahmad.

Rumah Erza mewah sekali. Teman-temanku saling ber-wah melihat rumah Erza. Kecuali ahmad yang mungkin sudah sering kesini. Rumah mewah dengan kaca besar dari lantai satu hingga dua. Mungkin setinggi 10 meter. Perkiraanku sebagai seorang anak teknik bangunan.

Pagarnya pun ada dua, sebelah kanan dan kiri. Bahkan ada satpam yang menjaganya. Aku sering melihat rumah ini saat sedang bersepeda keliling komplek. Memperhatikan desainnya yang sedikit kuno. Kata ayah, aku bisa belajar dengan memperhatikan desain-desain rumah atau gedung-gedung disekitar kita. Jangan asik jalan dan berbelanja saja.

Aku tidak menyangka kehidupan mewah yang dimiliki Erza. Kupikir hanya sepertiku. Dia memang orang yang sederhana saat melihat cara berpakaiannya. Barang-barangnya pun juga tidak semahal orang-orang tajir pada umumnya. Satu lagi, dia juga berjualan baju di kios yang dia tunjukkan padaku waktu itu. Mungkin dia sedang belajar bisnis. Positive thinking saja.

Kami langsung dipersilahkan masuk oleh salah satu art di rumah Erza. Iya salah satu. Kulihat ada beberapa art lainnya disana. Kami langsung menuju kamar Erza.

"Samlekom.." Ahmad mendahului.

Erza yang kulihat sedang duduk menghadap jendela membelakangi pintu masuk itu terkejut dengan kedatangan kami. Kami memang sengaja memberi kejutan ini.

"Eh.. Kenapa kesini mad? Waalaikumsalam. Masuk masuk" dia mempersilahkan masuk.

"Anak-anak mau jengukin lo"

"Patah kaki lo?" saut dita.

"Gak lah. Duduk di ranjang sini gapapa, atau ada kursi tuh."

Aku melihat samping kiriku. Ada kursi di meja belajar Erza. Langsung aku duduki, karena disini adalah tempat paling nyaman. Dekat pintu dan jauh dari Erza.

Erza menyelonjorkan kakinya ke ranjang. Kakinya diperban tebal sekali, bukan perbannya yang tebal tapi lilitannya yang banyak.

Aku memperhatikannya yang sedari tadi ditanyai bermacam-macam oleh teman-temanku. Apalagi ahmad dan dita yang banyak sekali pertanyaan aneh. Mereka itu memang pantas sekali kalau berdua, sama-sama banyak bicara.

Saat teman-temanku sibuk tertawa dan mengerjai doni yang menghabiskan banyak camilan. Erza memergokiku yang sedang memperhatikannya lamat-lamat. Jangan tanya kenapa aku memperhatikannya, siluetnya indah sekali dari sudut ini.

Aku mengerjap beberapa kali, tapi tetap saja aku menatapnya. Dia tersenyum miring melihat tingkahku.

Sialan! Aku kan jadi malu dan salah tingkah. Aku memutar kursi, membuatku tidak menghadapnya lagi, memainkan ponselku agar tidak terlalu kentara kalau sedang salah tingkah.

Mataku menjelajah ke meja belajar Erza, tidak kotor, hanya sedikit berantakan. Di sudut kanan aku melihat buku diary yang dia beli bersamaku. Keduanya ditumpuk, paling atas ada buku diary lagi berwarna hitam polos. Rajin sekali menulis diary, batinku.

Kamarnya itu tidak seperti yang aku kira. Temboknya polos sekali, tidak ada tempelan poster atau foto. Di nakas tepat sebelah ranjangnya, ada dua foto berukuran mungkin selebar kertas A5 berpigora. Sepertinya itu foto masa kecilnya, yang satu sendiri, satu lagi bersama mama dan papanya.

Di meja belajarnya selain buku diary dan buku pelajaran, juga ada laptop dan stick game.

Pukk Pukk

Aku terkejut saat seseorang menepuk bahuku dua kali, membuyarkan lamunanku yang menerka-nerka pria seperti apa dia itu. Aku menoleh.

"Mana catatanmu Kal? Aku pinjam"

Pria yang sedang berdiri di depanku menggunakan bantuan tongkat besi itu membuatku tercengang. Aku kan bisa menghampirinya, kenapa harus dia yang menghampiriku.

Aku berdiri setelah beberapa detik tercengang sekaligus terkejut. "Duduk saja disini". Aku memegangi gagang kursi itu, mempersilahkan Erza duduk. Aku tidak tega melihatnya menggantungkan kaki kirinya yang cedera itu.

Tanpa basa-basi dia duduk, mendongakkan kepalanya menatapku yang berdiri tepat di depannya. Manik hitam yang sedang melukiskan bayanganku itu sangat indah, sungguh mahakarya.

"Mana catatamu Kal?" Pertanyaannya membuat lamunanku buyar seketika.

Ah sial! Kenapa aku salah tingkah seperti ini.

"Oh.. Sebentar". Aku membuka tasku, mengeluarkan beberapa buku yang sudah kusiapkan khusus untuk Erza.

..

..

Ujian kenaikan kelas akan dilaksanakan dua minggu lagi. Tapi sekarang yang kulakukan adalah menonton drama korea seharian. Mumpung hari sabtu. Kalian harus tau, aku ini tipe pelajar yang jarang sekali belajar. Kalau tidak ada PR ya kenapa harus belajar. Tips-nya, di sekolah kalian harus bener-bener paham dan bisa. Tidak perlu mengulang berkali-kali. Tambah stres dan semakin gak paham.

Line

Notifikasi itu sering sekali terdengar sejak lima hari yang lalu. Aku tidak tahu kenapa dia sering sekali menghubungiku. Entah hanya chatting atau bahkan menelponku malam-malam sebelum tidur.

Ahza: Lea lagi ngapain?

Ahza, teman laki-laki yang sekelas denganku. Dia tinggi tapi masih lebih tinggi Erza, dia juga cukup terkenal di kalangan cewek-cewek se-angkatanku. Bahkan teman-teman perempuanku pernah mengatakan kalau mereka pernah menaksir ahza saat pertama kali masuk kelas. Dia memang cukup tampan, tapi bukan tampan kesukaanku. Visualnya seperti tokoh utama novel bad boy dan perlakuannya manis seperti playboy. Kurang lebih seperti itu.

Lea: Nonton drama korea

Aku tidak menyukainya, tapi anehnya chatting dengan dia membuat sedikit merasa nyaman.

Line

Line

Notifikasi itu berbunyi dua kali. Kupikir hanya ahza, ternyata satu lagi dari Erza. Dan sebelum membuka chat dari ahza, aku membuka chat erza

Erza: Ada waktu? Bisa kupinjam waktumu?

Dia juga sudah berbicara lebih banyak denganku. Setelah tiga hari tidak masuk sekolah. Dan untuk kedua kalinya, dia mengajakku pergi. Aku takut jika nanti hanya mengelilingi kota sambil berdiam diri.

Karena aku masih bingung menjawabnya, kubaca chat dari ahza dulu.

Ahza: Jalan yuk! Mumpung masih sore.

Ini kenapa dua-duanya ngajakin sih? Aku menghela napas berat. Jika disuruh memilih, aku memang akan memilih erza. Karena rupanya aku juga menyukai erza, entah sejak kapan. Aku juga sudah pernah jalan dengan erza. Kencan pertamaku dengannya minggu lalu. Apa hari ini akan menjadi kencan keduaku?

Oke aku memilih erza.

Lea: Gak bisa za. Aku ada janji.

Itu balasanku untuk Ahza. Ash! Nama mereka hampir sama.

Setelah itu aku langsung membalas chat dari Erza.

Lea: Tentu.

Erza: Selesai sholat magrib kujemput.

Erza: Jangan lupa sholat.

Dasar aku! Diingetin sholat saja sudah baper begini. Apalagi diimami nanti. Ah! Membayangkannya saja sudah membuatku malu tak karuan. Dulu, saat aku masih pdkt dengan doni pun juga merasakan seperti. Selalu senang dan menyanjung-nyanjung sikap doni kepada temanku. Tapi saat sudah putus, aku bahkan tidak mau mendengar kabarnya.

Begitulah kebanyakan perempuan.

Menunggu magrib rasanya lama sekali, padahal sedang tidak puasa.

Aku sedang menyiapkan baju sekarang, supaya erza tidak menunggu lama. Sederhana saja. Memakai jeans hitam dan sweeter hijau tosca. Rambut akan kuikat dan menyisakan sedikit rambut depan, aku tidak punya poni. Tidak usah memakai sepatu, memakai sandal saja sudah cukup. Jangan lupa slingbag berwarna hitam.

Aku tidak mau memberi kesan yang tidak natural. Semua perempuan pasti akan berdandan saat bertemu dengan doi, tapi aku tidak mau seperti itu. Memangnya mau kondangan, pikirku.

Setelah sholat magrib aku buru-buru ganti baju, memakai bedak dan lipbalm. Tidak lupa menyemprotkan parfum.

Line

Tuhkan Erza sudah datang, batinku saat masih menuruni tangga. Membuka pintu dan berlari menuju pagar. Benar saja, Erza sudah ada di depan rumahku sambil tersenyum menatapku yang terengah-engah.

"Pamit dengan bunda tidak? Ada ayah juga" aku menawarinya. Sebenarnya aku sudah mendapat ijin, tapi aku ingat minggu lalu. Saat Erza meminta maaf pada bunda karena tidak meminta ijin terlebih dahulu.

"Tentu saja."

Setelah berpamitan dengan bunda dan ayah. Kami berangkat.

Keadaannya seperti waktu pertama kali, dia diam saja sudah hampir 10 menit perjalanan. Padahal tujuanku bertemu dengannya ya ingin mengobrol banyak dengannya. Aku menarik napas, menyiapkan nyali untuk bertanya duluan.

"Mau kemana?"

Dia menoleh terkejut. "Ah. Membeli hadiah untuk bima. Dia berulang tahun besok."

Ya begitulah erza. Tidak pernah mengabariku dulu. Kalau aku tahu bima berulang tahun, pasti aku sudah mencarikan kado dari kemarin dengan bunda. Aku kan tidak pernah memilih kado sendirian kecuali ditemani bunda. Bahkan kado untuk doni pun bunda yang memilihkan.

"Kenapa baru bilang? Tau begitu aku sudah membelikannya kado dari kemarin."

Aku memang menyukai bima, dia lucu dan juga lebih tampan dari erza. Haha.

"Kenapa harus membelikannya? Aku kan tidak memintamu."

Ah, benar juga kata erza. Dia kan tidak meminta kado dariku. Lagi pula siapa yang mengundangku ke acara ulang tahun bima. "Aku kan pernah bilang kalo aku menyukainya".

"Harusnya menyukaiku saja" gumamnya pelan tapi aku masih bisa mendengarnya.

"Aku juga menyukaimu" gumamku menirukan dia.

Dia terkejut, melihatku dari spion kiri. Aku tidak tahu akan mengucapkan hal seperti itu. Spontan saja. Lagipula itu kenyataannya. Menyukainya memang hal baru yang kulakukan belakangan ini. Memikirkan dia, memperhatikan apapun yang dilakukannya, merasa senang saat dekat dengannya dan terkadang aku merindukannya.

Dia memang bukan seperti laki-laki lain pada umumnya. Tidak banyak bicara saat bahkan menyukaiku, tidak banyak hal yang dilakukannya untuk membuatku jatuh padanya. Dan semua itu yang membuatku jatuh padanya. Memang aneh alur percintaan kita. Tidak ada yang istimewa seperti novel romansa yang selalu aku baca di buku ataupun novel online.

Mungkin ada beberapa cerita sepertiku, tapi ini memang benar-benar yang paling sederhana. Tanpa usaha dan kata-kata manis. Mungkin yang paling manis sejauh ini hanya 'aku menyukaimu'. Hanya itu.

Dia diam dan tidak menjawabku sampai kami sampai di sebuah parkiran mall yang cukup besar. Dia jadi pendiam sekali bahkan saat sudah berada di toys store. Aku memperhatikannya sejak tadi, wajahnya yang sedang tidak ada ekspresi itu membuat senyum di bibirku terukir sejak tadi.

Dia berhenti di rak tinggi yang penuh dengan robot-robot avengers.

"Bima suka avengers?" tanyaku penasaran. Kalau bima memang suka, aku juga akan membelinya.

Dia tersentak dengan pertanyaannya. Kupikir dia sedari tadi melamun hingga tersentak seperti itu. "Eh.. Iya Kal"

"Karakter apa yang dia suka? Aku juga akan membelikannya" tanyaku lagi sambil menatap matanya yang sedari tadi tertunduk berpura-pura melihat robot di rak bawah.

Matanya berkedip-kedip lalu menatapku dan lagi-lagi dengan senyuman seperti biasanya. Sungguh, ada berbagai keindahan yang Tuhan berikan di wajahnya itu. Aku membalas senyumannya.

Seketika pipiku menghangat. Bukan karena tersipu malu, itu efek dari tangan Erza yang menempel di pipi kananku. Ibu jarinya bergerak, mengusap lembut di bawah mataku.

Woeeee!!

Jantungku berdetak lebih cepat dari biasanya, mungkin suaranya juga akan terdengar di keheningan antara aku dan Erza saat ini. Badanku pun rasanya juga sudah terpaku dan kaku sekarang. Erza menghentikan segalanya kecuali rasaku yang mungkin detik ini akan semakin bertambah.

Saat aku sedang sibuk mengatur irama jantungku, Erza perlahan-lahan melepas tangannya. "Terlalu berat untuk dilepaskan" gumamnya setelah mengalihkan pandangannya.

Sudah kedua kalinya dia bergumam tapi tetap saja aku mendengarnya. Memang sengaja.

Dia mengambil robot Hulk sambil berkata "Bima menyukai hulk. Pilih saja mana yang ingin kamu beli!"

Aku yang tidak tahu mana yang bagus dan kurang bagus, hanya memilih yang paling menarik perhatianku. "Ini saja".

Setelah membeli kado dari bima, kami berkeliling. Dan lagi-lagi dia diam seperti biasanya. Aku yang berada di satu langkah lebih depan darinya, memundurkan langkahku menjajarinya. Ku beranikan diri menggandeng tangan kirinya. Tangan kanannya memegang kado untuk bima, dariku pun juga dia bawa. Dia menatapku dan otomatis aku mendongakkan kepalaku agar bisa membalas tatapannya. Dia tersenyum tipis dan sedikit menahannya agar tidak lebih lebar lagi.

"Tidak usah dilepaskan kalau terlalu berat" membalas gumamannya yang tadi. Tapi aku tidak sedang bergumam.

Dia mengalihkan pandangannya ke depan. Menggenggam tanganku lebih erat. Berjalan berdua dengannya memang semenyenangkan ini, meskipun hanya dengan sedikit berbicara, seperti khasnya.

"Apa novelmu sudah kamu baca?" Dia menghentikan langkahnya di dekat railing, menghadapkan badannya kearahku, tanpa melepaskan tautan tangan kami berdua.

"Sudah. Ceritanya sama saja dengan yang lainnya. Tapi tetap saja aku suka" jawabku sambil sesekali menengok ke lantai bawah. Aku tidak bisa menatapnya yang sedang menatapku itu. Aku tersipu malu sekarang.