Langkah Kayla terhenti ketika ia melihat Gabriel pulang bersama Airin. Cewek itu sengaja memanas-manasinya dengan memeluk tubuh Gabriel. Haruskah Kayla menarik Airin sampai terjatuh ke bawah? Tentu perlu sekali. Ketika Kayla akan melangkah dengan mengepalkan tangannya. Namun, langkahnya terhenti karena ada dimas yang menyegatnya dengan motor beatnya.
"Kayla, pulang bareng gue yuk." tawar Dimas, cowok itu mengenakan motor beat warna hitam.
"Eum, tapi," Kayla memicing,
"Bales aja, sama gue sini." potong Dimas, mengerti apa yang akan Kayla lakukan. Dimas mencoba membantu, rasanya pasti nyesek sekali.
Kayla mengangguk, lalu menangkring di atas motor milik Dimas. Ketika Dimas menyalakan mesin, Kayla melirik ke arah sebrang sana. Gabriel sama sekali memperdulikannya, cowok itu ngacir bersama Airin. Ia mengerucutkan bibir, lagi-lagi merasakan nyeri di hatinya. "Huft, sabar Kayla."
Sesampainya di depan rumah, Dimas langsung berpamitan pulang pada Kayla. Tapi, cewek itu menahannya. "Dimas, tunggu!" panggil Kayla, cowok itu menoleh dan memandang ke arahnya.
"Kenapa?" tanya Dimas.
"Lo nggak ada masalah kan sama Gabriel? Kenapa lo ngelakuin ini? Gue malah takut kalau persahabatan kalian jadi renggang." jelas Kayla mengkhawatirkan persahabatan mereka, ia tahu betul bagaimana sifat Gabriel.
"Nggak akan ada masalah apa-apa kok, liat aja kalau dia marah-marah. Gue hajar dia!" balas Dimas begitu yakin.
"Gue takut, Dim," lirih Kayla menunduk, air matanya seakan ingin jatuh lagi. Tapi, ia harus berusaha lebih tegar lagi di hadapan Dimas.
"Gue salut sama lo," ucap Dimas begitu lembut, cewek itu mendongak polos. "Kenapa?" tanya Kayla menunjukkan wajah cengo.
"Lo itu cewek paling kuat yang pernah gue temui, meski Gabriel selalu bersikap dingin sama lo. Sering marah sama lo, tapi lo nggak pernah marah dan tetap tersenyum ceria. Seakan lo nggak pernah mempermasalahkan semua itu. Gue yakin, lo adalah orang yang memiliki banyak masalah."
"Gue nggakpapa kok, Dim. Gue akan menghadapi rintangan dan masalah beban yang gue jalani sekarang. Jangan musuhi Gabriel ya, maaf. Gue harus masuk, terimakasih Dimas." Kayla mengulum senyum, lalu membuka gerbang dan masuk.
Di situlah Dimas juga merasakan betapa rapuhnya di posisi Kayla, ia tahu kalau sebenarnya Gadis itu menyimpan banyak masalah hidup. Ingin rasanya membantu dan mengulurkan tangan untuk Kayla. Tapi, Dimas tidak boleh egois ada hati yang harus ia jaga.
Ketika Dimas memutar balik motornya keluar komplek, ia bersalipan dengan Gabriel. Tentu, cowok pemilik netra pekat itu langsung menyuruh Dimas berhenti. Lancang sekali mengantarkan tunangan sahabatnya sendiri. Dimas berhenti, memandang Gabriel penuh tajam. Seolah ingin menerkam mangsa. Padahal mereka sahabat yang akur dan selalu baik-baik saja.
Jarak mereka hanya berjarak 1 meter, Dimas ingin mengatakan yang Kayla rasakan sekarang. Ia tahu, Kayla sangat membutuhkan Gabriel. Penyemangat Kayla satu-satunya hanya Gabriel. Bodohnya, Gabriel tidak mengerti dan tidak memahami perasaan Kayla.
"Gue mau bicara sama lo," ucap Dimas, mengawali percakapan antara mereka, Gabriel masih menatapnya tanpa ekspressi.
"Apa? Mau ngebelain cewek munafik itu?" kata Gabriel, Dimas benar-benar panas mendengarkan perkataan cowok itu.
"Dasar egois! Lebih baik lo tarik kata-kata yang pernah lo ucapin ke Kayla! Sebelum lo nyesel." ucap Dimas
"Tau apa lo tentang hidup dia, nyesel? Ck, lebih baik lo pulang daripada kesabaran gue habis."
"Ngomong sama batu, ya percuma." Dimas kembali ke motor, menghidupkan mesin saat akan melaju. Gabriel menonjoknya di bagian sudut bibir. Hampir saja Dimas terjengkang,
Gabriel langsung pergi begitu saja meninggalkan Dimas. Perasaan cowok itu antara marah dan cemburu.
****
"Papa mau berangkat lagi?" tanya Kayla, baru saja masuk ke dalam rumah. Melihat Marcel sudah berbalut kemeja dan jass hitamnya. Ia mulai gelisah, karena sang papa harus pergi bekerja lagi. Aleta pasti akan kembali seperti dulu lagi.
"Papa harus kerja lagi, 2 bulan sekali papa pulang," jawab Marcel,
Kayla memeluk erat tubuh Marcel, "Papa jangan terlalu lama di sana, Kayla butuh papa di sini. Cuma papa yang ngertiin Kayla." rengek Kayla tidak begitu jelas karena sambil menangis. Aleta melirik anak itu, mendengar ucapan Kayla barusan membuatnya emosi.
"Kamu belajar yang rajin, papa janji, setelah perusahaan kita normal kembali. Papa akan memulai bisnis di jakarta. Papa sayang kamu, jaga diri kamu baik-baik ya nak!" pesan Marcel sembari mengelus punggung putrinya. Ia memang tidak bisa jauh dari Kayla tapi demi pekerjaan ia harus rela.
"Papa..." isak Kayla semakin jadi, tak mau disiksa lagi oleh ibunya. Ia perlu sang papa di sini,
"Papa harus berangkat, nanti bisa terlambat." sahut Aleta, mencoba merenggangkan pelukan Aleta dan Marcel.
"Papa jangan pergiiii,"
"Nggal boleh nangis, inget kata Kak Andrei, Kayla harus jadi anak yang mandiri." ucap Marcel menyeka air mata Kayla,
Anak itu hanya mengangguk kecil, lalu menggandeng lengan Papa nya menuju teras. Begitu juga Aleta tersenyum bahagia di tinggal sang suami. Ia bisa mantap-mantappan lagi sama selingkuhannya. Njir! Istri tidak tahu diri, jika suatu saat ia ketahuan. Hanya Kayla lah yang bisa membantunya.
Ketika Marcel masuk ke dalam mobil, Kayla tidak ingin melambaikan tangannya dadah. Anak itu masih menangis karena tak mau di tinggal sang papa. Setelah ini ia akan mendapatkan perilaku tidak mengenakan dari ibunya. Kayla menatap mobil menuju keluar gerbang, setelah jauh Kayla menundukkan kepala nya.
Ini lah saatnya Aleta beraksi, rambut Kayla dijambaknya seraya berjalan masuk ke dalam rumah. Kayla meringis kesakitan, lalu dihempaskan ke lantai. Wanita itu berkacak pinggang dengan menatap penuh kebencian. "Heh, lo ngomong apa tadi? Cuma papa yang ngertiin lo? Ck, seakan lo mau lapor semua kan? Ha!" Aleta menendang lutut Kayla begitu kasar memakai sepatu heels.
Aleta menjambak dan mendongakkan kepala Kayla agar menatap ke arahnya,"Bersihin seluruh rumah ini! Dan jangan makan sebelum selesai. Ngerti, lo!" hempassan itu sampai kepala Kayla terkena pinggiran meja. Sakit,
"Aw, sakit ma."
Bruukk, Aleta menendang lengan Kayla sampai gadis itu merasa sangat kesakitan. Luka lebam beberapa minggu yang lalu belum juga sembuh. Dan sekarang ditendang lagi, Kayla tak bisa apa-apa, apapun yang ibu nya lakukan ia harus pasrah. "Sekali lagi lo ngomong macam-macam, habis lo sama gue!" peringat Aleta, kemudian pergi meninggalkan Kayla.
Kayla meraih kedua lututnya, memeluk diri sendiri sudah menjadi penguat untuk Kayla. Jika diizinkan, ia menginginkan Gabriel yang memeluknya dan menyelamatkannya dari rumah ini. Hikss, itu hanyalah sebuah hayalan yang tak akan mungkin terjadi. Nyesek! Menangis bukan solusi untuk menyelesaikan masalah, tapi membuat kita sedikit lega. 🌚
****