Di suatu titik di dunia ini, terdapat sebuah pulau yang tak pernah bisa disentuh oleh kehangatan matahari. Hanya sebuah rembulan berwarna biru yang bisa menyinari pulau tersebut. Seperti namanya, pulau Corona de Dragón ( Mahkota Naga ) berbentuk memanjang dan berkelok terlihat seperti seekor naga putih yang berenang diatas samudera. Dan sebuah kerajaan Helar berdiri dengan kokoh penuh kebanggaan bagai mahkota diatas kepala naga tersebut.
Saat ini kanvas hitam terpecah oleh awan kelabu yang lembut diantaranya, terbentang begitu luas di atas cakrawala menyembunyikan seluruh keajaiban dunia di bawahnya.
"Hahh… Hahh…"
Hembusan nafas yang tersenggal-senggal terdengar sayup-sayup di bagian salah satu lorong istana Helar. Seorang pria dengan setelan baju lusuh dan agak terkoyak tengah berlari tergopoh-gopoh dari sesuatu yang mengerikan. Wajah pria itu pucat pasi, matanya terbuka sangat lebar serta kakinya yang kurus penuh dengan luka. Ia berusaha mencari jalan untuk bangun dari mimpi buruk ini dengan setengah nyawa. Ketika akhirnya pria itu menemukan secercah cahaya bulan yang menembus dari jendela besar di ujung lorong, Ia mempercepat larinya hendak melompat kabur melalui jendela itu.
Kenyataan tidak pernah sesimpel yang Ia bayangkan. Harapan sederhana pria itu sirna secepat kilat.
Suara ketukan antara sepatu kaca dan lantai beton istana yang saling beradu memecah keheningan dari balik tirai kegelapan dalam lorong tersebut. Semakin lama terdengar semakin dekat, seraya sebuah sosok mungil seorang gadis perlahan muncul dengan anggun seolah baru saja terlahir dari kegelapan itu sendiri.
Dengan spontan pria itu membalikkan tubuh ringkihnya lalu memandangi gadis itu dengan tatapan kosong. Keringatnya tak lagi mengalir. Tapi berubah menjadi sebuah butiran kristal es yang menempel pada permukaan dagingnya.
"Sudah kubilang, jangan buat aku repot."
Sang gadis berdecak kesal lalu mengacungkan jari telunjuknya yang lentik kearah pria dihadapannya. Mungkin dari luarnya pria itu tampak normal sekarang, hanya mematung karena ketakutan.
Tapi apa yang sebenarnya sedang terjadi adalah ratusan bunga es tumbuh dan mekar di dalam tubuhnya. Merambat melalui nadinya dan membekukan seluruh organ tubuh, darah hingga ke dalam tulang.
Setelah melihat pria malang itu seutuhnya telah berubah menjadi patung es, gadis itu menjentikan jarinya. Lalu dalam sekejap patung es itu pecah berkeping-keping. Butirannya melayang diudara berkelap-kelip memantulkan sinar rembulan yang sejak tadi dengan tenang menonton pertunjukkan ini.
"Seperti biasanya kamu sangat luar biasa, Athasia."
Sesosok pria dengan tinggi berkisar 187cm berdiri bersandar di dinding lorong sambil bertepuk tangan. Pada wajah yang tirus dan tampan itu, terpajang sebuah senyuman hangat dan manis menyambut keagungan teman masa kecilnya.
"Kiel… Buang omong kosongmu dan tolong panggilkan Dallas kemari. Lantai lorong ini kotor! "
Balas Athalliresia Helar dengan nada datar sambil menunjuk kearah puing-puing es diatas lantai. Walaupun gadis itu baru saja 'membunuh' seseorang, wajahnya tetap menunjukkan ketenangan tanpa rasa bersalah sedikitpun.
Seperti yang telah dikabarkan oleh masyarakat, putri sulung dari kerajaan Helar memiliki kekuatan sihir dengan elemen yang sangat langka, yaitu elemen 'Es'. Disamping itu seolah menumbalkan hatinya demi kekuatan langka ini, Athalliresia tak lagi memiliki perasaan seorang manusia normal pada umumnya.
Tanpa langsung mengikuti perintah gadis dihadapannya, Zadkiel Altair menghela napasnya sambil berucap dengan nada penuh kekhawatiran, "Walaupun dia seorang penyusup dan kamu menggunakan kekuatanmu sembarangan seperti ini… Bisa-bisa yang mulia raja Helar mengurungmu lagi di dalam menara putih. Tolong percayalah pada ksatria kerajaan."
Merasa tergelitik oleh ucapan Zadkiel, Athalliresia menyilangkan tangannya didepan dada dan menatap pria berbaju zirah hitam emas itu dengan tatapan mengejek.
"Hmmm… Kurasa aku bertindak jauh lebih cepat dibandingkan ksatria kerajaan Helar. Bagaimana mungkin kau bisa menangkap seekor tikus atau bahkan melindungiku, Kiel?"
Zadkiel terdiam dalam kekalahan, Ia tahu benar bahwa dia tidak akan pernah bisa menang berdebat dengan gadis mungil yang cantik itu. Zadkiel tersenyum dan menaruh tangan kanannya diatas dada kiri lalu berkata, "Baiklah, aku akan segera memanggil Dallas."