Siang ini sinar bulan lebih terang dari biasanya. Angin sejuk menghempas kelopak bunga Camellia ke udara. Tak sedikit bunga Pieris menari mengikuti irama. Dengan sedikit suara desir ombak dari laut, membuat suasana menjadi sangat teramat damai.
Suasana ini… Membuat seorang pria muda dengan baju zirah perak menguap lebar-lebar menahan kantuk. Baju zirah dengan berhias emblem dan 3 rantai warna emas dipundak kiri, menandakan pangkatnya sebagai ksatria yang bisa terbilang cukup tinggi. Ia sudah berjalan bolak balik sebanyak ratusan kali di depan gerbang menara putih sambil menghitung berapa banyak kelopak bunga yang lewat didepan matanya.
"Tak terasa sudah 2 tahun aku melakukan ini… Apa aku akan terus disini seumur hidup?"
Gerutunya sambil menatap ke arah langit yang berwarna ungu dengan sentuhan biru gelap diujungnya. Serbuk bintang bertaburan berkelap-kelip ikut menambah romantisme diatas sana. Berlawanan dengan nuansa indah sang angkasa yang dilihatnya, ksatria itu justru kembali merasa gelisah. Ia sudah tahu tragedi macam apa yang sempat menimpa kerajaan Helar. Tapi hatinya masih terus merasakan ketidak adilan yang diterima oleh tuan putri.
Karena pria itu masih bisa mengingat dengan jelas, kenangan dimana putri itu tersenyum hangat pada para ksatria kerajaan sambil memberikan semangat dengan cara yang simpel. Gadis yang sangat polos, bagaimana bisa diasingkan sampai seperti ini? Apa tidak ada cara lain yang lebih manusiawi? Misalnya memanggil utusan dari gereja untuk meramal apa yang sebenarnya terjadi pada sang putri dan membantunya mencari solusi...
"Tidak. Raja Helar pasti sudah memikirkan banyak hal tapi tidak menemukan solusi apapun yang tepat. Mungkin juga... Raja Helar takut mengambil resiko bila sesuatu terjadi pada putrinya."
Ksatria muda itu menghela nafas panjang kesekian kalinya sambil menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Ia semakin risau mengingat bahwa selama dua tahun menjaga menara tersebut, Ia tidak pernah sekalipun mendengar suara ataupun melihat sosok sang putri lagi. Seperti sedang menjaga menara kosong, ksatria itu sesekali terbesit pikiran buruk…
"Apa sebenarnya pelayan menghabiskan sendiri makanan untuk tuan putri? Bagaimana jika pelayan itu sengaja bolak balik menara ini hanya untuk mangkir tugas? Tunggu sebentar, apakah rumor tentang tuan putri sudah meninggal dan dikubur didalam menara ini benar???"
Tapi akhirnya ksatria itu tidak berani sekalipun melangkah masuk kedalam menara untuk memeriksa, Ia takut mengingkari janji yang telah disepakatinya bersama Raja Helar.
Tiba-tiba mata pria itu berkedut ketika telinganya menangkap sebuah suara kecil yang merdu di ujung lamunannya. Terdengar begitu lemah dan menyayat hati. Butuh beberapa detik untuk menyadari bahwa suara itu adalah senandung yang berasal dari dalam menara putih. Semakin lama suara itu terdengar semakin jelas dan semakin mendekat. Lalu...
"Siapa namamu?"
Ksatria itu segera menolehkan pandangannya menuju asal suara.
Bagai sungai jernih yang berlikuk-likuk, helai rambut berwarna pale blonde melambai anggun tertiup angin, membingkai dengan sempurna wajah mungil yang bersih tak bercela. Dan dua pasang bola mata berwarna ungu cerah seperti kristal yang indah dan elegan menatap lurus pada mata ksatria yang berdiri kaku di halaman depan menara putih.
Athalliresia.
Ksatria itu terperangah berusaha membedakan kenyataan, Ia merasa bahwa dirinya tengah melihat seorang peri di dalam menara! Walau mereka berdua dipisahkan oleh jarak dari halaman menara sampai ke jendela menara lantai 3, ksatria muda itu bisa merasakan aura yang dingin dan kuat mengelilingi Athalliresia. Walau begitu, ada sirat kesepian dalam ekspresi Athalliresia. Bagaimana tidak? Selama dua tahun gadis itu terkurung sendiri didalam menara tanpa ada siapapun yang mengajaknya mengobrol.
Bibir berwarna pink gadis itu terbuka kembali, "Kau tidak mungkin tidak dengar kan?"
Ksatria itu terkesiap dan segera menegakkan kembali punggungnya, Ia mengepalkan tangan kanannya dan meletakkannya pada dada kiri.
"Salam kepada tuan putri Athalliresia! Saya Zadkiel Altair, ksatria termuda di kerajaan Helar. Selama dua tahun ini sayalah yang bertanggung jawab menjaga menara putih."
Tak menunggu lama, seulas senyum tipis terpampang diwajah Athalliresia. Gadis itu mengangguk lalu menopangkan dagunya diatas bingkai jendela.
"Berapa umurmu?"
"16 tahun." Jawab Zadkiel seperlunya, tapi tidak menghilangkan sikap hormat pada tuan putri dihadapannya.
Sekarang Athalliresia paham mengapa pria itu disebut sebagai ksatria termuda.
Ksatria kerajaan pada umumnya berumur kisaran 20-40 tahun. Dan yang tertua, sang kepala ksatria kerajaan, sudah berumur 47tahun. Di usianya yang masih 16 tahun, Zadkiel telah dipercaya untuk menjaga menara putih, atau lebih tepatnya menjaga seorang Atahlliresia dan mengusir siapapun yang mendekati teritori ini. Raja Helar tidak akan seceroboh itu membiarkan putrinya yang 'berbahaya' untuk pergi meninggalkan tempat ini sembarangan, begitu juga sebaliknya.
Athalliresia memejamkan matanya sebentar lalu membukanya lagi, memperlihatkan kilatan cahaya yang lembut pada bola matanya.
"Tolong ceritakan padaku kondisi diluar sana..."