Macan tutul salju itu mungkin masih sangat muda. Perkiraan terbaik di benak si gadis cilik, makhluk menggemaskan itu baru berusia enam-tujuh bulanan. Macan tutul salju yang merangkak di atas meja itu kini, memang tak seputih leluhurnya. Warna putih di tubuhnya telah berubah kekuningan, bahkan di beberapa sisi begitu kumal.
Meski begitu, Ely masih bisa merasakan kelembutan dari bulu-bulu tebal di tubuh makhluk lucu dan imut-imut tersebut. Anak macan tutul salju mengerang halus, lalu menjilati jari serta telapak tangan di gadis kecil.
Ely terkikik pelan. Geli ada, senang apalagi. Ia lantas mengangkat anak macan tersebut, dan mendekap ke pelukannya dengan kelembutan dan penuh perhatian.
Yang menjadi tanda tanya besar dalam kepala si gadis cilik, adalah fakta bahwa kucing besar itu masih hidup. Zaman sekarang, ini adalah hal yang mustahil. Dari mana kedua montir itu mendapatkannya? Terlebih, tubuh anak macan tersebut cukup berisi. Artinya, kedua montir tersebut belum menjadikan anak macan ini sebagai satu dari sekian banyak pilihan bahan makanan untuk mereka konsumsi.
Ups, tunggu dulu…
Seolah menyadari satu hal, Ely mengedarkan pandangannya. Lalu bergegas memeriksa setiap lemari yang ia temui, bahkan setiap benda yang berbentuk kotak. Tapi Ely tidak menemukan apa yang menjadi tujuan pencariannya. Gadis cilik keluar dari kamar itu, meneruskan langkah ke kamar satunya lagi.
"Kejutan," seru Ely dengan sangat bersemagat. Lalu mengumbar senyum, dan tertawa-tawa sembari ditekan sedemikian rupa agar suaranya itu tidak menggema kemana-mana.
Di dalam kamar itu ternyata masih ada seekor lagi anak macan tutul salju yang Ely sangat yakin adalah kembaran yang ada dalam pelukannya. Namun, itu hanya bonus. Pencarian sesungguhnya, adalah bahan makanan yang cukup melimpah di dalam kamar itu sendiri.
Gadis cilik masih tertawa-tawa pelan berusaha mengumpulkan semua makanan yang berserakan. Di lantai, di atas kursi, di atas meja, di dalam lemari kecil itu.
Anak macan yang tengah menguyah makanan di bawah bangkit, dan mendekati si gadis cilik. Lantas bermanja di bawah kedua kaki Ely. Seakan mengeong layaknya seekor kucing dewasa, yang satu itu menengadah menatap Ely meminta perlakuan yang sama dari gadis cilik tersebut.
Jika kedua anak macan ini saja tidak menjadi makanan—bahkan dengan tubuh yang gemuk—tidak bisa tidak, pasti kedua montir yang merangkap pemburu hadiah tersebut punya persediaan makanan yang melimpah. Begitulah yang tadi dipikirkan Ely, dan dia menemukannya.
Tapi setelah mengumpulkan semuanya, Ely merasa jika harus membawa semua makanan itu sekaligus rasanya mustahil. Selain merasa tidak mampu, Ely juga tidak ingin melepaskan kedua anak macan dalam pelukannya itu. Jadi, gadis cilik melangkah turun dan menemui Aldi di bawah.
Sepasang alis tebal Aldi terangkat tinggi. Dari mana tuh bocah sialan dapat anak macan?
"Bahagia banget," celetuk Aldi sembari meneruskan usahanya—memasang windshield baru yang ia temukan di areal bengkel, berhubung Aldi tidak memiliki kemampuan untuk itu, ia terlihat hanya sedang mencocokkan posisi pelindung itu saja. Tidak lebih. "Kesambet setan mana kamu?"
"Banyak makanan di lantai atas," dengus Ely acuh tak acuh dan lantas menaiki chameleon begitu saja. Duduk manis di bangku belakang bersama kedua ekor anak macan tutul salju.
Kesal karena tidak mengerti cara memasang pelindung itu, Aldi membuangnya begitu saja. Bertolak pinggang memandang Ely. Dan ia tahu pasti apa maksud ucapan dan tingkah Ely barusan.
"Hahh… bocah sialan," gerutu Aldi sembari memutar tubuh, menuju ruangan yang dimaksudkan Ely. "Bikin susah aja kau itu."
"Ingat," sahut gadis cilik tanpa berpaling, "Jatahmu cuma sepertiga. Aku cukup baik, bukan?"
Aldi mendengus kencang, terlebih Ely sengaja membuat senyuman yang mengesalkan di mata Aldi.
"Huu…" seru laki-laki itu pula.
***
Rombongan Ryan terus meluncur cepat dengan tiga chameleon mereka, menuju kawasan Sidamulih—masih berada di bawah otoritas pemerintah Pangandaran. Itu, berjarak lebih-kurang dua puluh kilometer dari mana Ryan dan kawan-kawan bertolak—Tanjung Sodonglandak. Tapi itu terlalu lama jika harus menempuh jalur darat, belum lagi risiko pengawasan ketat pemerintah Pangandaran. Masih lebih bagus bila yang menghadang adalah manusia, yang mereka khawatirkan justru robot-robot humanoid yang ditugaskan sang penguasa. Jadi, memilih jalur laut di malam seperti ini dan akan tiba lebih cepat, itu lebih baik. Toh, tujuan mereka bukan untuk berbaik-baik dengan pemerintah.
Ryan duduk di bangku belakang chameleon yang dikendarai Cinnong. Naomi berboncengan dengan Boris, sementara Yuma mengendarai chameleon seorang diri saja.
"Kenapa lama sekali kau itu?"
Ryan terkekeh pelan, lebih terdengar seperti dengusan, menanggapi sindiran Boris. Komunikasi berlangsung hanya lewat perantara earphone di telinga masing-masing mereka. Tapi Ryan tidak memedulikan itu, ia terus saja mengutak-atik C-Pad di tangannya.
Sore tadi, Ryan telah berhasil menyusupkan mata-mata ke dalam gadget yang dibawa Dharma—bahkan Ryan mampu menyusup ke dalam jaringan sang Penguasa Pangandaran—dan tentu saja dengan itu Ryan bisa berselancar ria memasuki jaringan gadget di tangan istri atau pun anak perempuan dari sang kapten, Dharma.
Ryan memang mampu mengetahui keberadaan kediaman Dharma, namun yang membuat ia kesulitan bukanlah soal itu. Akan tetapi posisi GPS dari gadget di tangan istri Dharma lah yang menyulitkannya. Dan Ryan tahu pasti, istri dan anak sang kapten telah dibawa oleh orang-orang suruhan sang penguasa.
"Sabar, Lae," sahut Ryan sesaat kemudian. "Mereka dalam perjalanan. Kebetulan sekali mereka melewati jalur laut," lanjutnya, lantas menoleh ke arah belakang, temannya yang berkulit hitam-manis. "Oii, Yuma…"
"Yo?" sahut Yuma di belakang sana.
"Lebih baik menggunakan PSG. Aku tidak mau mengundang pihak-pihak lainnya," sambung Ryan. "Kalian paham?"
Tiga kepala sama mengangguk, begitu juga dengan Cinnong. Gadis yang berasal dari Tanah Mid-Celebes—dulu bernama Sulawesi Tengah—itu, menoleh sesaat kepada Ryan di belakangnya.
"Yan, keknya lebih baik lu kasi tau Pak Dharma soal ini," ujar Cinnong menimpali.
"Lu bener," sahut Ryan.
"Kita mungin bisa menguasai tuh rombengan," sahut Naomi, "Jika Pak Dharma berada di pihak kita. Yaa, kalau lu tau apa yang gue maksud,"
"Lu ngeremehin gue?" Ryan tertawa.
Tentu saja laki-laki itu paham, tujuan semula untuk menjatuhkan pesawat antariksa, kenapa tidak menguasainya saja? Itu kedengaran jauh lebih baik. Menyelamatkan hidup mereka. Dan Ryan, hanya butuh sedikit sentuhan untuk menguasai jaringan pesawat antariksa tersebut, dengan bantuan sang kapten kapal tentunya.
Sementara Ryan sedang akan menghubungi Kapten Dharma, Yuma memacu chameleonnya lebih dulu. Pria keturunan Papua ini bertindak untuk melindungi chameleon yang dikendarai Cinnong. Di bangku belakang chameleon-nya, Yuma membawa serta senjata-senjata kelas berat, lebih daripada cukup jika mereka harus mengikuti rencana awal.
Di posisi belakang, Naomi mengaktifkan kunci senjata PSG-nya, menyetel kekuatan voltase hingga maksimum. Tidak ada ampun bagi anjing-anjingnya pemerintah, begitu pikir wanita yang satu ini. Lebih-lebih jika mereka membawa satu-dua robot, bisa jadi masalah serius.