"Jadi… ternyata benar."
Dharma mengangguk, kedua tangan berada di sisi pinggang. Menghela napas dalam, sekali lagi memandang pada wanita itu—Fraya, 28 tahun—sebelum beralih kepada enam lainnya di dalam ruang kokpit besar tersebut.
"Apa tidak terlalu cepat," sambung wanita itu lagi. "Mempercayai orang-orang tersebut semudah itu saja?"
"Kamu akan mengerti seperti apa mereka, Fraya," sahut Dharma, kembali memandang keenam lainnya. "Jika kalian sudah bertemu dengan mereka. Pasti."
Kapten Dharma—sebelumnya—telah mengumpulkan beberapa orang yang dapat ia percaya, dan bisa diajak untuk menjalankan rencana dari Ryan dan kawan-kawan. Dan tentu saja, semua mereka berada dalam kriteria yang sama, zona di mana pandangan—sebut saja—tidak menyukai para penguasa berengsek, utamanya Penguasa Pangandaran yang notabene-nya pemilik dari pesawat luar angkasa di mana mereka berdiri sekarang itu.
Sejauh ini, baru keenam orang itu yang bisa dikumpulkan Dharma. Yaa, ia akan bisa leluasa lagi untuk mengajak yang lainnya andai saja robot-robot sialan itu tidak berkeliaran di dalam kapal antariksa itu sendiri.
Fraya, dan Guntur—laki-laki berusia 40 tahun, adalah orang-orang yang memiliki keahlian di bidang mesin pesawat, pada keduanya lah Kapten Dharma mempercayakan kondisi mesin-mesin besar di dalam kapal tersebut. Keduanya memiliki beberapa orang bawahan yang kapan saja siap untuk diperintahkan.
Lalu ada seorang pria muda bernama Hyker, berusia 29 tahun, seorang yang memiliki kecakapan yang bertanggung jawab pada FMS—Flight Management System. Dengan dandanan sedikit nyentrik namun juga cuek, padanya lah Kapten Dharma mempercayakan kursi utama kemudi pesawat.
Kemudian ada Indra, laki-laki berusia 31 tahun, dan Jenie—perempuan usia 26 tahun, merupakan dua orang yang bertanggung jawab di bagian logistik pesawat. Dan terakhir, Kamal, laki-laki 42 tahun, dokter kepala untuk pesawat antariksa itu sendiri.
"Ini," ujar Dokter Kamal, "tindakan yang sangat berisiko. Mengudeta pesawat ini."
"Aku pikir itu sepadan," timpal Guntur dengan sorot mata yang menegang. "Jika Kapten saja dikhianati penguasa tambun itu, bayangkan apa yang akan dia lakukan terhadap keluarga kalian?"
"Baiklah," ujar Indra setelah keheningan beberapa detik. Dan melangkah ke arah pintu utama ruang kokpit di belakang Kapten Dharma. "Aku, sudah pasti ikut," sepasang mata mengawasi keadaan di luar pintu kaca. "Entah dengan kalian?"
Sang kapten menatap satu per satu wajah ketujuh orang tersebut. Yaa, meski ada satu-dua yang terlihat begitu berat—lebih tepatnya, cemas—untuk mengikuti langkah kudeta yang telah disampaikan sang kapten sendiri, namun pada akhirnya mereka semua sama menyetujui. Seperti yang disampaikan Guntur, tidak mungkin tidak, hanya mereka saja yang akan dibawa, dan keluarga mereka… akan menghilang entah ke mana.
Bukan tidak beralasan, selama ini tidak satu pun kebaikan yang bisa ditiru dari diri para penguasa—lebih-lebih si Penguasa Pangandaran tersebut. Yaah, mereka yang ada di dalam ruangan kokpit itu sama sangat jelas mengetahuinya. Dan kejadian dengan keluarga sang kapten, hanyalah pemicu dari kekesalan yang sudah menumpuk di dalam diri masing-masing mereka.
Jadi, daripada harus menyesal kemudian, lebih baik berjudi untuk mendapatkan sedikit kemungkinan.
"Kurasa kalian sudah paham situasi ini, bukan?" semua kepala mengisyaratkan setuju pada Kapten Dharma. "Jika kalian masih memiliki seseorang di luar sana," sang kapten mengaktifkan gadget di pergelangan tangan kirinya, mengutak-atik virtual screen. "Kabarkan pada mereka, agar menunggu di titik yang sama. Bersama anak-istriku. Aku akan mengirimkan koordinatnya ke gadget kalian."
Bip!
"Satu lagi," lanjut Kapten Dharma setelah mengirimkan koordinat lokasi kediamannya kepada ketujuh orang tersebut. "Akan sangat bagus lagi jika lebih banyak yang mengikuti langkah kita."
Ketujuh yang lain sama memahami itu. Mencari, dan mengajak kalau-kalau masih ada yang sepemikiran dengan sang kapten. Bila nanti menemui—katakanlah—seorang penjilat bokong penguasa, well… sepertinya mereka sudah tahu langkah apa yang akan mereka ambil untuk mengantisipasi itu.
Fraya dan Guntur lebih dulu meninggalkan ruang kokpit, keduanya tidak punya kepentingan lain di sana. Tidak seorang pun yang mereka miliki di luar. Jadi, lebih baik mengajak beberapa orang rekan teknisi kapal ini demi misi sang kapten, demi diri mereka sendiri juga pastinya. Baik Fraya maupun Guntur, sama sunggingkan seringai di wajah. Keduanya mengenal beberapa rekan yang sepemikiran.
"Sepertinya ini sedikit mudah," ujar Fraya.
Guntur terkekeh, "Kurasa begitu."
Di ujung lorong yang bercabang empat, Guntur melirik Fraya sesaat sebelum memberikan sedikit kode, dan memilih lorong di depan—lorong yang akan membawanya ke ruang mesin terbawah pesawat tersebut. Sementara Fraya mengambil lorong sisi kiri, terus menaiki undakan anak tangga.
Fraya berada di ruang mesin teratas sisi belakang. Beberapa rekan yang bertemu pandang dengannya—isyarat mata, segera mengikuti langkah wanita itu. Perlahan saja, demi menghindari mata robot-robot pengawas.
Begitu juga yang terjadi di ruang mesin bawah. Beberapa orang mengikuti Guntur sang kepala mekanik ke ruangan turbin. Di sana, suasana cukup bising dengan suara-suara mesin. Guntur berlaku waspada, dirasa aman, ia menceritakan ajakan Kapten Dharma. Beruntung, setengah lusin mekanik yang mengitari Guntur, sama bersedia mengikuti rencana sang kapten.
Sementara itu, Indra mengajak dua orang rekannya, membisikkan sesuatu. Dua wanita itu sama tercengang, hanya sesaat, sebelum keduanya mengangguk. Bertiga mereka kembali ke ruang kontrol logistik—berada di lambung tengah, di antara ruang mesin teratas dan ruang mesin utama di bawah. Di sana Jenie sudah menunggu dengan tiga rekan lainnya. Sepertinya wanita yang satu itu juga berhasil meyakinkan tiga rekannya tersebut.
Mengikuti instruksi dari Indra—sementara tiga robot pengawas hilir-mudik di ruangan yang sama—enam orang bagian logistik sama melaksanakan tugas. Memeriksa setiap kebutuhan keselamatan mereka nanti, memastikan suplai makanan dan minuman. Lewat monitor besar di hadapan masing-masing, mereka sama menunggu sinyal dari Kapten Dharma untuk mengaktifkan kunci setiap ruang kebutuhan hidup mereka itu nanti.
Di dalam ruang kokpit. Sementara Kapten Dharma dan Hyker sama menunggu sinyal dari Ryan dan kawan-kawan, Dokter Kamal sibuk menginstruksikan kepada istri dan kedua anaknya—yang berada tak jauh dari kawasan Pangandaran—untuk segera menuju rumah Kapten Dharma di daerah Sidamulih via gadget di lengan kirinya.
"Kuharap, kita tidak akan menyesali ini," ujar Kamal menghela napas yang terdengar begitu berat.
Tidak ada reaksi di wajah Kapten Dharma menanggapi ucapan Dokter Kamal yang ditujukan pada dirinya itu. Meski dalam benak, ia mengamini harapan dalam kecemasan di diri sang dokter. Dharma mengalihkan pandang kepada Hyker, pemuda itu justru terkekeh menanggapi. Mungkin saja bagi Hyker, rencana kudeta ini tak lebih dari permainan hingga ia terlihat begitu sangat santai, pikir Dharma.
"Aku akan melihat-melihat di infirmaryroom," lanjut Dokter Kamal sembari melangkah ke pintu keluar. "Mungkin saja ada yang bisa kulakukan di sana."
Dharma melepas pandangan keluar, di balik kaca tebal anti-peluru itu, Dharma memerhatikan setiap pekerja—setiap robot yang ada. Ketenangan tak biasa ini, sebentar lagi akan tersulut api yang membumbung, Dharma menghela napas lebih dalam.