Chereads / SC45 - When the Terra Falling Down / Chapter 24 - Selamat Tinggal Pecundang

Chapter 24 - Selamat Tinggal Pecundang

"Ryan," seru Kapten Dharma pada perangkat di telinganya itu. "Apa yang terjadi!?" lewat monitor di hadapannya, sang kapten sedikit bisa melihat kejadian di belakang sana. "Ryan…?"

Para robot membidik Ryan, Cinnong, Yuma, Yuan, dan Xian. Tiga di antaranya melompat turun, berdiri mengitari Ryan dan rekan-rekannya.

"Ryan…?!" seru Dharma lagi dengan wajah menegang pasi. "Goddamnit, answer me…!"

Teriakan sang kapten pada earphone di telinga Ryan tak mungkin untuk digubris pria tersebut. Ada hal lain yang lebih kritis untuk ia pikirkan detik ini.

Blaaarr…!

Satu chameleon yang ditunggangi robot meledak, tiga meter di hadapan Ryan. Sontak itu membuat pria tersebut membungkuk melindungi wajah dan tubuhnya, begitu juga dengan Yuma dan yang lainnya. Berturut-turut tiga chameleon lainnya terhempas ke tanah. Sebagian terkena laser biru dari senjata PSG seseorang, lainnya ditembus peluru besar dari senjata kelas berat.

Satu chameleon datang mendekat dengan kecepatan tinggi, mengalihkan perhatian tiga robot yang berusaha menghabisi Ryan dan rekan-rekan.

Baru saja ketiga robot menoleh ke chameleon yang datang menghampiri, dua tembakan shotgun memecah kepala dua robot. Sedang satu lainnya terpental dan terhempas jauh, ditabrak moncong chameleon itu sendiri. Begitu sang robot akan kembali bangkit, satu laser biru pendek melesat, sang robot menggelinjang sesaat dan terempas lagi ke tanah. Diam tak bergerak.

Chameleon asing berhenti mendadak tepat di hadapan Ryan dan rekan-rekan.

"Butuh bantuan?" ujar si pengemudi chameleon yang tidak lain adalah Aldi bersama Ely.

Aldi unjuk seringai pada semua orang di hadapannya itu. Ia menoleh sesaat pada Ely, seolah memerintahkan untuk tetap diam di tempat duduknya. Ely memahami itu.

Aldi turun dari atas tunggangannya, lantas tanpa menunggu jawaban—setidaknya dari Ryan—ia langsung mencoba mengangkat chameleon yang menindih sebelah kaki Yuma.

Meski sedikit curiga, namun Ryan tak menghiraukan itu. Berdua dengan Aldi, bangkai chameleon mampu mereka angkat hingga Yuma bisa dengan mudah membebaskan kaki yang terhimpit.

"Go!" ujar Ryan, sementara Cinnong bersama Yuan dan Xian telah memasuki palka.

Dengan menahan sakit, Yuma melompat begitu saja ke atas bangku belakang chameleon. Disusul oleh Ryan yang bertindak sebagai pengendara. Tidak menunggu datangnya serangan lanjutan, Ryan menggeber tunggangannya. Chameleon meraung, setengah terangkat dan melesat memasuki palka.

Begitu pula dengan chameleon yang ditunggangi Aldi dan Ely, menyusul memasuki palka. Begitu chameleon milik Aldi memasuki pesawat, pintu kembali bergerak menutup.

"Ryan?" Dharma merasa harus menghadiahi pria tersebut dengan tamparan keras di pipinya. "Rya—"

"Mulai saja peluncurannya, Kapten," dengus Ryan mengatur napas. "Semua selamat, dengan tambahan dua penumpang—hmm empat, kurasa."

"Bangsat!" maki Kapten Dharma mengembuskan napas kekhawatiran, meski kekhawatiran lainnya jauh lebih besar lagi. "Kau membuatku jantungan, Ryan!"

"Sorry," kekeh Ryan yang ditanggapi dengan seringai di wajah keempat rekan karibnya.

"Semua kalian…" suara sang kapten terdengar lewat interkom. "Berpeganganlah pada sesuatu!"

Mendengar perintah tersebut, mereka yang berada di palka segera bergegas. Sebagian menuju kursi darurat di dinding sisi kanan, lainnya di sisi kiri. Mengikat diri dengan sabuk pengaman dan masker oksigen.

"Kalian siap?" ucap Dharma, sekaligus menyatakan jika pesawat akan segera tinggal landas.

"Aye, Captain…" sahut Fraya mewakili semua orang.

Penguasa tambun mencapai kediaman Dharma, dikawal sedikitnya empat robot humanoid dengan warna tubuh berbeda dari robot-robot lainnya. Sayang, belum lima detik ia berada di sana, mesin-mesin pesawat menderu semakin kencang, termasuk dua mesin utama di sisi kiri-kanan lambung. Dan detik selanjutnya, pesawat yang disiapkan sang penguasa tambun demi keselamatan ia dan keluarganya, melesat tinggi. Meninggalkan debu-debu yang mengepul berterbangan menutupi pandangan sang penguasa.

"Terkutuk kau Dharma…!"

Namun, lengkingan tinggi suara sang penguasa Pangandaran tertutup deru dari mesin pesawat itu sendiri.

"Selamat tinggal—" gumam Kapten Dharma setengah tak terdengar, ia tujukan pada sang penguasa tambun yang diselimuti kepulan debu, lewat monitor di hadapannya, "—babi gendut."

Tiba-tiba teriakan Hyker memenuhi ruang kokpit. Teriakan yang mewakili perasaannya, juga perasaan semua mereka yang berada di dalam Spacecraft 45 tersebut. Kegembiraan. Teriakan yang akhirnya sambung menyambung dari satu mulut ke mulut lainnya, bahkan hingga ke palka di mana Ryan dan yang lainnya berada.

Aldi mengedipkan sebelah matanya pada Ely, menegaskan janjinya sebelum ini pada bocah perempuan itu. Dua tiket, didapat.

Dharma hanya bisa terkekeh menanggapi. Ia berpaling kepada Oryza. "Kebocoran?"

Perempuan muda itu tersenyum cerah, "Negative."

"Bisa kau stabilkan badan pesawat?" Dharma menepuk pundak Hyker. Pria itu mengangguk menerima perintah. "Aku tidak ingin mereka yang di bawah terpanggang," lanjut sang kapten. "Dengar...!" teriaknya, yang ditujukan untuk semua penumpang di setiap ruangan.

Di ruang logistik, Indra melepas pelukannya dari Jenie, sama fokus mendengar perintah sang kapten. Begitu juga dengan kelima rekan wanita mereka lainnya.

"Pesawat akan distabilkan untuk lima belas menit," lanjut suara sang kapten lewat interkom.

"Hei-hei-hei..." seru Boris di palka bawah pada bocah-bocah yang kegirangan. Juga, beberapa orang dewasa. "Dengarkan apa kata Kapten itu dulu... baah!"

"Kalian yang masih berada di palka bawah, ruang mesin... logistik, infirmaryroom... segeralah ke kabin penumpang di lambung tengah. Pastikan tidak ada yang tertinggal..."

Begitu badan pesawat melaju lurus secara horizontal ke arah utara, semua orang bergerak ke ruangan yang dimaksudkan sang kapten. Ryan, Boris, serta Aldi memindahkan chameleon mereka. Menyusun dan mengikat kendaraan tersebut di sisi depan ruang palka.

Ely sedikit kerepotan sebab seekor anak macan tutul salju menjauh darinya, hingga Aldi harus turun tangan mengamankan satwa langka tersebut.

"Kita masih berada di ketinggian—" Dharma menelisik monitor di hadapan Oryza. "—Lima puluh kilometer di atas permukaan laut. Stratosfer. Aku tidak ingin kalian kepanasan sebab beberapa saat lagi kita akan menggunakan hypersonic. Tapi sebelumnya aku juga tidak ingin kalian mati membeku memasuki lapisan mesosfer..."

Hampir semua orang telah berada di kabin penumpang. Mereka yang belum terbiasa dengan hal berbau antariksa mendapat bantuan dari anak buah Kapten Dharma. Masing-masing duduk dalam kecemasan, beberapa di antaranya telah mengunci tubuh menggunakan sabuk pengaman berbentuk X, melintang di dada.

Dokter Kamal memeluk haru istri dan kedua buah hatinya.

Yuan dan Xian sama tersenyum memandang mereka. Bagi keduanya, mengetahui Dharma baik-baik saja, meski lewat suaranya di interkom, itu sudah merupakan sesuatu yang baik.

Dua anak macan tutul salju mendapat perlakuan khusus, meski Ely sempat protes namun dua orang pria segera membawa anak macan tersebut ke sebuah bilik di sisi belakang, di sana kedua anak macan masing-masing ditempatkan dalam sebuah kandang khusus dari kaca.

"Fraya, Guntur," seru sang kapten lewat interkom.

Baik Fraya yang berada di anak tangga ruang mesin atas, maupun Guntur yang berada di ruang mesin bawah sama menghentikan langkah mereka, diikuti beberapa orang rekan teknisi.

"Pastikan tidak ada alat-alat dan robot-robot yang akan membahayakan penerbangan menembus orbit Bumi," titah sang kapten pada keduanya.

Guntur dan Fraya bergegas mengajak rekan mereka masing-masing, kembali memeriksa kondisi kedua ruang mesin utama pesawat tersebut.