Sesaat, Ryan menghela napas dalam memandang layar C-Pad di tangan sebelum memulai pertaruhan demi mendapatkan kepercayaan si kapten kapal antariksa dari penguasa Pangandaran.
Bip!
"Pak Dharma, Anda bisa mendengar saya?"
C-Pad di tangan Ryan bukanlah keluaran terbaru, jadi, avatar hologram yang muncul tidak terlalu bagus—lebih seperti televisi kuno yang kehilangan sinyalnya—mengingat Ryan tengah berada dalam perjalanan, meski Cinnong tidak menggeber laju chameleon tersebut dengan kencang.
Di dalam salah satu ruang mesin pesawat antariksa milik Penguasa Pangandaran, Dharma begitu kaget mendapati avatar seseorang yang sangat ia kenal di layar virtual alat komunikasinya di tangan kirinya itu.
"Ryan, apa yang kau lakukan?!" dan sejuta pertanyaan lainnya menyeruak di dalam kepala sang kapten dengan kenyataan Ryan berada dalam sistem komunikasinya itu.
"Pak, dengarkan saya dulu," ujar Ryan dengan bersungguh-sungguh. "Saya takut akan terlambat jika Bapak justru mendengarkan hal berikut ini nantinya," lanjutnya pula bukan saja karena memang seperti itulah adanya, namun juga demi sang kapten mau bersedia mendengarkan ucapannya tersebut. "Akan sangat terlambat…"
"Apa maksudmu?" hardik Dharma tak senang sembari menekan suaranya sendiri. "Kau menyusup ke jaringanku!"
"Dengarkan saya," pinta Ryan lagi sedikit tergesa-gesa. "Pindahkan pembicaraan ke earphone."
Dharma melakukan apa yang dipinta oleh Ryan. Ia jelas murka karenanya. Apa jadinya bila sistem keamanan jaringan induk kastil ini menemukan keberadaan mata-mata yang ditanamkan Ryan? Dan itu akan berakibat buruk untuk Dharma sendiri. Tidak-tidak-tidak, lebih tepatnya kehidupan keluarganya.
Dharma mengedarkan pandangan, mendapati beberapa sosok pekerja di beberapa sudut, juga robot-robot humanoid. Jadi, Dharma memutuskan untuk keluar dari ruangan mesin itu, mencari ruang yang lebih sepi. Langkah kakinya begitu tergesa-gesa di sepanjang lorong di dalam kapal luar angkasa tersebut. Ia menemukan satu ruangan, sepertinya kamar kecil itu berfungsi sebagai tempat penyimpanan berbagai berkas. Ratusan buku-buku tebal tertata rapi pada rak khusus.
"Kau sudah gila!"
Dharma kembali sengaja menekan suaranya, demi menghindari hal-hal yang tak diinginkan. Sepasang mata liar mengawasi keadaan di luar lewat kaca persegi yang tertanam di pintu.
"Dengarkan baik-baik," ujar avatar Ryan di layar virtual di tangan kiri sang kapten. "Maaf jika saya sudah menanam penyusup ke dalam gadget Anda," lanjutnya pula. "Tapi, percayalah. Tujuan kami—"
"Kami?" potong Dharma semakin tidak senang, "Jadi kau tidak sendiri!"
"Yaa, lima orang dihitung dengan saya," angguk avatar dari sosok Ryan yang entah dari mana dia menghubungi, pikir Dharma. "Sudahlah, lupakan itu. Ada yang lebih penting. Sang penguasa tidak berniat membawa istri dan anak Anda."
"Jangan membodohiku, Ryan!" rahang sang kapten bergerak-gerak menahan emosinya.
"Saya tidak sedang membodohi Anda," sahut Ryan dengan cepat. "Bapak tahu," lanjutnya lagi. "Penguasa jahanam itu sendiri yang mengatakan ini. Dia memang mengirim beberapa orang untuk menjemput anak dan istri Anda. Tapi percayalah. Dia—bajingan itu akan… maaf mengatakan ini, menjadikan istri Anda sebagai budak nafsunya."
"Kau jangan mengada-ada, Ryan," urat-urat darah menegang di kedua bola mata Dharma, juga di kedua pelipisnya itu sendiri. Tidak bisa ia ungkapkan betapa amarah menguasai dirinya saat ini. "Jangan membodohiku demi satu-dua kursi di pesawat ini, Ryan!"
"Anda sudah tahu jika gadget di tangan Anda sudah saya susupi semenjak sore tadi bukan?" balas avatar Ryan lagi. "Apa Anda tidak sadar, jika saya pun sudah menyusupi alat komunikasi penguasa jahanam itu?"
Dharma hening sejenak, ingatannya kembali ke sore tadi. Saat berada di dalam ruang kerja sang penguasa. Benar, meski samar, Dharma bisa mengingat. File tidak biasa yang muncul sesaat setelah sang penguasa menggebrak meja kristal tersebut. Dan emosi Dharma kian meningkat, ia sangat yakin kali ini, Ryan tidak sedang membodohi dirinya.
"Jadi, ghost-file itu ulahmu?" sebelah alis sang kapten terangkat.
"Bingo..." seru avatar Ryan itu lagi, terkekeh pelan. "Dengar Pak Dharma," lanjutnya kemudian. "Saat ini saya—kami berlima dalam perjalanan menyelamatkan anak dan istri Anda. Anda bisa mengetahuinya nanti jika menelepon mereka. Jangan sekarang. Sang penguasa pasti akan menggunakan Program Kamuflase untuk menggantikan suara dan avatar istri Anda. Dan itu, akan mengganggu koneksi saya."
"Kalian bisa menyelamatkan anak dan istriku?" sepasang mata sang kapten menyipit, dipenuhi aura membunuh yang nyata.
Kekesalan dan amarah yang sebelumnya sudah ada percikkannya di dalam hati terhadap si penguasa tambun itu, majikan sang kapten sendiri, dan kini semakin membesar saja. Menggelegak hingga ke ubun-ubun kepala.
"Kita lihat saja nanti," angguk avatar Ryan tersebut. "Sementara, bisakah Anda mempercayai kami?"
"Aku bertaruh untuk itu," sahut Dharma dengan yakin.
Tidak ada alasan lain bagi Dharma untuk tidak mempercayai Ryan. Toh, selama ini baik Ryan atau pun Cinnong tidak pernah memberi kesulitan bagi dirinya, kecuali soal permintaan dua kursi di pesawat sebelumnya itu.
"Apa yang bisa aku lakukan?"
Di atas chameleon Ryan mengulas senyum pada Cinnong, itu artinya sang kapten sekarang berada di pihak mereka.
"Sekarang, saya ingin Bapak standby di ruang kokpit," ujar Ryan sedikit memberi instruksi pada Dharma. "Tunggu sampai kami bisa menyelamatkan anak-istri Anda, saya akan memberikan instruksi selanjutnya."
"Baiklah. Dan hei…" ujar avatar Dharma pada C-Pad di tangan Ryan. "Tolong cincang bajingan yang berani mengasari anak dan istriku, paham?"
"Permintaan dikabulkan," Ryan memutus pembicaraan. Dan mengalihkan koneksi jaringan ke keempat rekannya. "Kita udah mendapat lampu hijau guys," jemari tangan kanannya begitu lincah memainkan layar virtual. "Sebentar lagi kita akan bertemu dengan orang-orang suruhan penguasa tambun itu. Kita sergap mereka di sini,"
"Roger that," Yuma yang berada paling depan membanting setir chameleon ke kanan, berhenti di antara puing-puing bangunan yang berayun mengikuti irama ombak.
Cinnong mengambil posisi di sisi kiri, bersembunyi di balik sampah yang menggunung. Sementara Boris dan Naomi juga di sisi kiri.
"Ada empat chameleon," Ryan memberikan rincian yang ia dapat dari C-Pad di tangan, "Dua di depan, satu di tengah, satu lagi di belakang. Anak dan istri Kapten berada di chameleon ketiga, di tengah."
Hening sejenak, chameleon ketiganya dalam posisi standby tanpa penerangan dan bunyi mesin sama sekali.
"Yuma," ujar Ryan memberikan instruksi. "Jatuhkan chameleon paling belakang,"
"Beres Bos," sahut Yuma sembari mengaktifkan PSG di tangan. Senjata pelontar laser di tangan laki-laki tersebut dua kali lebih besar dari ukuran yang digunakan rekan-rekannya.
"Boris, Naomi," lanjut Ryan memberikan perintah. "Kalian pindah ke kanan, jatuhkan chameleon terdepan di sisi itu,"
"Roger," sahut Boris, chameleon tunggangannya perlahan berpindah posisi ke sisi kanan, terpaut sepuluh meter di belakang Yuma.
"Gue dan Cinnong," ujar Ryan lagi. "Bagian chameleon terdepan di sisi ini. Dan Yuma, begitu lu berhasil menjatuhkan yang paling belakang, pastikan lu bisa menghentikan chameleon ketiga tanpa harus terbalik. Lu paham maksud gue?"
"Lebih dari cukup," sahut Yuma.
"Here it go…"