Chapter 2 - prolog

Di desa Yue, yang berarti desa bulan. Bukan berarti desa yang berada dibulan, tapi desa yang dilimpahi keberkahan dari Dewi Bulan. Orang-orang disana percaya, jika Sang Dewi akan muncul saat bulan menunjukkan wajahnya yang sempurna. Seperti saat bulan purnama kedua, yang selalu disebut blue moon atau pun saat gerhana bulan total tiba.

Dewi bulan akan turun kebumi, untuk membagikan berkahnya. Membuat beberapa makhluk rela keluar untuk menyerap dan merasakan berkah yang ia sebarkan. Begitu pula dengan para insecta dan hewan malam, mereka menyambutnya dengan  suara dan keindahan mereka saat terkena sinar sang rembulan.

Saat sang Dewi turun, bunga-bunga yang kuncup akan mekar. Menyebarkan semerbak aroma harumnya, untuk menyambut kedatangannya. Dan saat itu pula, para penduduk disana selalu melakukan ritual bulan purnama, dengan menerbangkan dan menghanyutkan lentera, berharap apa yang menjadi harapan mereka itu menjadi nyata. Dan kesuburan selalu melimpahi tanahnya.

Desa yang dilimpahi dengan tanah yang subur. Dengan tumbuhnya macam-macam tanaman obat-obatan yang langka maupun yang biasa, yang  selalu ada disetiap pelosok desa, juga perairan yang mengalir dengan jernihnya. Membuat siapapun betah tinggal di sana.

Desa yang di bentengi dengan pegunungan yang menjulang, bentangan laut dan juga Padang pasir yang luas. Membuat mereka terisolasi dari dunia luar, hingga suatu hari, ada salah satu dari mereka yang nekat keluar, dan membawa orang asing ke desa tersebut. Membuat mereka perlahan dikenal dan diakui oleh dunia luar.

Para penduduk yang di karuniai dengan tubuh dan rupa yang indah nan menawan, juga pemikiran yang luas, membuat mereka tersohor sampai ke wilayah lain. Banyak tabib-tabib hebat yang terlahir di sana. Netra sebiru lautan, dan kulit seputih saljunya sangat kontras dengan warna rambutnya yang hitam legam. Seperti halnya bulan purnama kedua yang bersinar.

Sayangnya, para wanita di sana tak bisa melahirkan lebih dari dua sampai tiga orang anak. Setiap ada satu orang dewasa meninggal, tak berselang lama pasti akan ada bayi yang terlahir dipenjuru yang lainnya. Dan jumlah pria dan wanita di sana sama, seolah mereka telah ditakdirkan untuk saling melengkapi satu sama lain. Mereka menyebut fenomena itu sebagai reinkarnasi keseimbangan dari sang Dewi.

Hingga pada akhirnya Desa itu banyak dikunjungi para pendatang baru. Bukan hanya mengincar ilmu dan tanah mereka, tapi juga gadis-gadis muda untuk menjadi ibu dari anak-anak mereka. Pergeseran budaya adat kebiasaan bisa mereka terima tapi tidak menggoyahkan keyakinan mereka pada Sang Dewi.

Apalagi para wanita yang terlahir disana selalu menjadi incaran para bangsawan dari luar daerah, banyak sekali dari mereka yang menjadi permaisuri dari penguasa dan para petinggi wilayah lain. Jika mereka tak bisa mendapatkannya dengan cara baik-baik, maka para gadis disana terkadang menghilang jika ia menolak lamaran dari pria pendatang baru. Dan tak lama pasti akan tersiar kabar jika gadis yang menghilang itu sudah menikah.

Tapi berkah sang Dewi masih tetap terasakan oleh para penduduk lokal maupun para pendatang baru yang kini menetap di sana.

Sama seperti saat ini, sang bulan telah menampakkan wajahnya meski mentari belum pergi, para penduduk telah ramai memenuhi lapangan tempat mereka berdoa, altar persembahan telah mereka siapkan untuk menyambut malam yang sangat langka, karena akan terjadi gerhana bulan yang telah ditunggu sejak lama.

Para penduduk sedang melakukan persiapan ritual untuk menyambut gerhana bulan. Saat mentari benar-benar telah terbenam, kegelapan pun datang. Lentera-lentera dinyalakan, karangan bunga dan dupa-dupa mereka persiapkan sebagai bahan penghormatan bagi Sang Dewi Bulan.

Tapi tidak bagi seorang gadis yang kini berlari menjauh dari kerumunan, netra sebiru lautan itu menatap awas pada semua orang yang ditemuinya. Ia diam-diam menyelinap ketempat yang lebih gelap untuk menyembunyikan tubuh rampingnya yang terbalut hanfu putih dengan hiasan rambut mewah yang terbuat dari emas dan permata. Dengan rangkaian bunga di kedua lengan dan kaki nya.

Ia tak mengerti apapun, ia didandani sedemikian rupa oleh orang-orang yang baru ia lihat. Dan saat hari mulai gelap ia digiring keluar ke area lapangan tempat mereka melakukan ritual penghormatan pada sang dewi bulan.

Untuk pertama kalinya ia keluar dari apa yang mereka sebut rumah, tapi baginya itu adalah neraka, tempat yang gelap meski cahaya mendominasi, tempat tersunyi meski banyak orang yang menyambangi.

'Aku harus lari!' gumamnya, seolah rapalan mantra yang terus terucap disetiap langkahnya, saat hatinya meragu. Setiap gerak dan langkah yang ia lakukan seolah pertunjukan bagi orang-orang yang berlalu lalang.

Dia adalah gadis tercantik di Desa, tapi entah mengapa meski ia tak pernah keluar dari rumah, tapi banyak sekali orang yang mengenalnya. 'Mungkin karena aku anak dari kepala Suku Yue,' pikirnya.

Gadis yang kini baru beranjak usia lima belas tahun itu jiwanya terguncang sejak kecil, pengekangan, kesepian juga kebencian yang ia dapatkan sejak ia merasa ada keanehan pada dirinya dan rambut yang hitan kemerahannya, juga iris merah dan biru di kiri dan kanan matanya membuatnya berbeda dengan para penduduk Desa Yue. Ia merasa semua itu harus ia akhiri dengan menjauh, lari dari tempat ia dibesarkan.

Ia pernah mendengar seorang gadis menyuruhnya lari di dalam mimpinya saat ia berusia tujuh tahun, dengan sebuah kalimat yang selalu terngiang dipikirannya, "Jika kau ingin melihat sisi luar kolam maka kau harus keluar dari kolam tersebut, jangan berharap menjadi ikan, jadilah seperti capung, karena kau tak membutuhkan seseorang untuk menuntunmu menuju kebebasanmu. Karena ada aku yang akan membimbingmu sampai ke tempat dimana seharusnya kau berada. Beranilah gadis kecil karena berkatku selalu menyertaimu."

Dan saat ini ia akan melakukannya, berlari menjauh dari mereka menuju rimbunnya hutan Zuzhou dipegunungan Yaopin tempat yang dilarang dimasuki karena para penduduk percaya jika tempat itu adalah tempat kutukan sesuai namanya, Zuzhou yang berarti kutukan.

Semakin ia masuk semakin cepat juga langkah yang ia ambil, tanpa menghiraukan orang-orang yang berteriak menyuruhnya berhenti. Tapi saat ia memasuki area hutan para penduduk berhenti mengejarnya, seolah keputusasaan telah menghampirinya.

Semakin kedalam semakin gelap pula tempat tersebut, bahkan bulan yang kini sedang menampakkan wajahnya pun tak bisa menembus rindangnya dedaunan. Bahkan hewan malam pun seolah berhenti bernyanyi saat langkah kaki terburu-buru itu memasuki area tersebut.

Di hutan yang gelap nan pengap itu kini hanya terdengar derap langkah kaki yang menggema dan deru nafas yang terengah tak beraturan. Netra jernihnya tak bisa melihat apa yang dia injak dan kemana arah ia berlari, tapi tubuhnya merasakan ada seseorang yang menatapnya tajam membuat punggungnya dingin dan langkahnya menjadi tak pasti. Hingga akhirnya, ia terjatuh, tubuhnya menggelinding, membentur bebatuan yang tajam.

Rasa sakit, penderitaan, kesepian juga tatapan tajam orang-orang Desa Yue, berkelebat di pikirannya. Penderitaan itu seolah, menertawakannya, dan mengatakan, 'Sejauh apapun kau berlalri kau tetaplah akan mati.'

Gadis itu tersenyum miris, kepalanya sangat berat, ia memaksakan kelopak matanya tatap terbuka, agar netra sebiru lautannya dan semerah darahnya, dapat memandang langit yang menggelap, bintang-bintang yang menggantung dilangit sana seolah siap berjatuhan kearahnya. Dan entah karena apa, ditempat ia terdampar langit sangat jelas, seolah melingkupinya, dan ia bisa menggapai dengan tangan kosongnya.

Senyuman indah terbit, saat  cahaya merah mulai terlihat dilangit yang menggelap, ia menutup matanya, sebuah rapalan tulus dari hatinya mengalir begitu saja, "Wahai Sang Dewi, jika kau ada, tunjukkanlah kuasamu atas ku dan desa Yue. Bimbing ragaku dengan berkahmu dan semayamkan jiwaku dalam kehangatan peluk berkatmu."

Sebelum akhirnya kesadarannya menghilang.

To Be Continued....