Bersamaan dengan itu langit yang cerah tiba-tiba menjadi gelap, saat Matahari Bumi dan Bulan berada pada posisi sejajar disitulah sebuah keajaiban datang. Menjadikannya nyata, warna merah itu membawanya turun kebumi untuk menemui takdirnya. Memasuki tubuh seorang gadis yang terkulai tak berdaya, dibawah tebing curam yang tak tersentuh oleh siapapun kecuali oleh cahaya bulan yang kini memerah.
Satu jalan takdir yang tak bisa dihindarinya, menjalani kehidupan layaknya manusia pada umumnya. Sendirian di tempat asing, tanpa ada siapapun yang memberikannya petunjuk, membuatnya hampir putus asa.
Binatang buas, juga para siluman hidup berdampingan disana, mereka memiliki tempat masing-masing sebagai wilayah kekuasaannya. Hanya karena sebuah anugerah langit, sebuah kemampuan alami yang muncul pada dirinya. Bisa memanipulasi pikiran sesuatu yang mengancamnya, juga proses regenerasi sangat cepat pada tubuhnya, membantunya bertahan hidup di tempat tersebut.
Bertarung untuk bertahan hidup, juga mendapatkan kehormatan dan kekuasaan, diantara para bintang dan juga siluman. Karena disana berlaku hukum rimba, jika kau berhasil mengalahkan para pemimpin dari semua makhluk yang tinggal di sana maka kau bebas melakukan apapun semaumu, dan menjadi pemimpin mereka.
Entah apa yang menjadi kesalahannya, hingga membuatnya dihukum sedemikian rupa, dibuang kedunia fana, dan dibiarkan merasakan penderitaan para makhluk fana. Padahal ia tak pernah melakukan kesalahan apapun saat turun kebumi, kecuali saat itu. Saat di mana ia turun ke padang pasir memberikan pertolongan pada makhluk fana yang saat itu hampir sekarat, ia memberikan berkatnya hingga makhluk fana itu kembali seperti semula.
Dan kini Sang Dewi, terjatuh pada tempat dimana tak ada siapa pun yang pernah menyambanginya. Berkelana selama berbulan-bulan lamanya untuk keluar dari tempat tersebut, tapi tak bisa. Tak ada ingatan sang gadis yang ia ingat dalam pikirannya, bahkan ingatan dirinya pun sebagian menghilang, membuatnya menetap disana, menunggu ada seseorang yang datang ketempat tersebut.
Tempat itu seperti mengurungnya. Hingga suatu hari, saat mentari pagi menyebarkan kehangatannya, netra itu menemukannya. Seorang manusia sekaligus pria pertama yang ia lihat saat netra itu terbuka.
Pria yang selalu ada saat sang purnama menampakkan wajahnya dan menyebarkan sinarnya ke tempat tersebut. Sang gadis selalu melihatnya dari kejauhan, yang diam-diam mengamati apa yang pria itu lakukan diatas bukit yang bermandikan sinar sang rembulan. Tapi saat pagi tiba pria tersebut selalu menghilang entah kemana.
Mata itu selalu tertutup, saat sinar perak sang rembulan menyapa kulitnya, yang membuatnya seperti mutiara yang memantulkan cahaya.
Netra sebiru lautan dan semerah darah, sang gadis berbinar indah kala mentari pagi menyapa tempat ia bermalam. Di bawah pohon plum yang kini berbunga lebat. Sang gadis bisa melihatnya dalam jarak lumayan dekat. Ada debaran di dadanya, pada detik itu pula, sebuah harapan muncul. Sang gadis mengklaim bahwa pria itu mungkin akan menjadi takdirnya, tujuannya, juga masa depannya.
Pria yang dengan seruling giok ditangannya. Mata itu tertutup rapat kala seruling itu didekatkan ke bibir tipisnya, angin yang membawa simponi merdu nan menenangkan, surai hitam legam panjangnya melambai kala angin musim semi menyapannya. Yang membawa ribuan kelopak bunga plum seolah mengerubunginya, ingin menyentuhnya.
Wajah damai penuh ketenangan, hidung mancung juga rahang kokohnya sangat indah. Sebuah pahatan semesta yang sempurna. Seperti dewa yang turun ke bumi untuk membuat para bunga bersemi, dan membuat debaran tanpa henti.
Jubah sutra berlambangkan kepala serigala dengan simbol bulan sabit dikeningnya tersulamkan benang emas dan perak, nampak gagah kala angin menyingkirkan helai rambut hitam legamnya yang terikat.
Seperti sebuah keanggunan dan keagungan yang hanya ada pada dirinya. Kelopak mata yang tertutup dengan bulu mata lentiknya, membuatnya ber-angan seindah apa netra itu ketika kelopak mata itu terbuka?
Ingin menyapanya, tapi ia tak tau bagaimana? Tangannya ingin meraihnya, tapi ia tau itu tak akan mudah. Hingga akhirnya, pria itu lenyap dari pandangannya, tanpa menoleh kepadanya, menuju lembah terjal dengan kuda dan seseorang yang sudah menunggunya, pria itu menaikinya.
Sang gadis akhirnya berbalik dan berlalu pergi dengan rasa kecewa, karena ia tak berani setelah sekian lama melihat pria tersebut. Tanpa tau jika pria yang ingin diraihnya menoleh dengan seutas senyum dibibir tipisnya.
"Mmm.... Menarik."
"Ada, masalah tuan?" tanya pria disampingnya, nampak heran dengan kelakuan tuannya, karena ia baru pertama kali menemani tuannya ke daerah Pegunungan Yaopin di desa Yue.
"Tidak."
Ekor mata pria itu melirik arah pandang tuannya, ia nampak terkejut saat melihat punggung seseorang dengan rambut hitam kemerahan panjang yang tergerai di puncak bukit sana. "Mengapa ada wanita dipegunugan berbahaya seperti itu? Apa, Tuan mengenalnya?"
Sang Tuan hanya tersenyum miring sebagai jawabannya. "Entahlah, bukankah seminggu lagi akan diadakan pengangkatan putra mahkota yang akan resmi menjadi kaisar, di kekaisaran Shamo?"
"Ya, Tuan. Tapi bukannya, putra mahkota menginginkan gadis dari Desa Yue sebagai permaisurinya? Dan tuan pasti akan memimpin pasukan untuk menjemput calon ratu masa depan itu."
"Kenapa harus aku? Bukankah seharusnya dia saja yang menjemputnya secara resmi? Ck!"
"Mungkin hanya Anda yang dia percaya untuk melakukan tugas seperti itu, bukankah hanya menjemput sajakan?"
"Merepotkan. Bukankah lebih baik jika dia menjadikan Tuan Putri kekaisaran Shamo itu menjadi permaisurinya, bukankah akan lebih menguntungkan dua belah pihak, tuan putri kekaisaran Shamo pun menginginkan menikah dengan putra mahkota bukan?"
"Apa tidak terbalik ya, Tuan? Bukankah, putra mahkota itu seharusnya..... "
"Diamlah!"
"Apa Anda akan hadir disana, dipenobatan itu?"
"Tentu saja, bukankah aku harus memenuhi undangan keponakanku itu, sebagai tamu kehormatan karena telah menaklukkan negeri gersang di wilayah Timur?" Ada semirak menakutkan dan miris diakhir kalimatnya.
"Tuan, apa Anda tidak berniat mengambil apa yang seharusnya Anda dapatkan?"
"Ayolah, hentikan saran serakahmu itu! Aku tak tertarik dengan hal seperti itu. Lagi pula sekarang aku hanya orang biasa, bukan?"
Pria di sampingnya hanya menghela nafas pasrah dengan semua yang dilakukan tuannya, ia telah bersama tuannya itu sejak tuannya itu beranjak usia lima tahun. Menjadi kesatria pelindung sekaligus teman dan keluarganya Setelah keluarga sang tuan dibantai habis saat terjadi perebutan takhta yang dilakuakan oleh pangeran pertama di kekaisaran Taiyang.
"Lalu kapan Anda akan meminang seorang gadis tuan? Bukankah akan menjadi masalah jika yang mulia kaisar atau pun Putra Mahkota menyuruh Anda menikahi Putri salah satu birokrat atau pun bangsawan?" Jun, sang pengawal ia masih setia dengan mengeluarkan semua yang ada dipikirannya dan tak bisa melihat situasi disekitar tuannya.
Tuannya tiba-tiba menghentikan laju kudanya, begitupun dengan Jun, ia mengikuti apa yang dilakuakan tuannya. Tuannya turun lalu berjalan anggun dengan senyum manisnya, yang membuat pengawal itu merinding sekaligus beringsut mundur.
"Berapa usiamu sekarang, Jun?"
"Sa... saya dua puluh lima tahun, tiga tahun lebih tua dari pada Anda, Tuan Yhong Sheng," ucapnya tergagap.
"Sepertinya kau terlalu lama hidup dibumi, ya, hmm? Bagaimana jika aku mencoba mengantarkanmu agar kau hidup dilangit?" Masih dengan senyum manisnya, ia memegang bahu kesatria pelindungnya.
"Tu... Tuan, saya tidak akan bicara sembarangan lagi. Sa... Saya hanya bercanda Tuan." Tubuh sang pengawal kaku, ia bahkan menahan nafasnya.
"Kembalilah, terlebih dahulu. Urusanku belum selesai disini." Sang Tuan kembali menaiki kudanya, ia kemudian berbalik memacu kudanya kearah yang berlawanan.
"Apa, Anda membuang saya, Tuan?"
"Pergilah sebelum aku benar-benar membuangmu!"
"Tuan, Yhong Sheng?!"
To Be Continued....