Chapter 4 - Bebas

"Mengambil apa yang menjadi milikku?Kenapa rasanya seperti sedang mendengar lelucon?" gumam Yong Sheng, ia menarik tali kekang kudanya.

Laju kuda itu semakin cepat, melompati akar-akar pohon yang merebak di lantai hutan yang menuju bukit. Yhong Sheng, pria dengan pedangnya yang selalu berlumuran darah. Seorang panglima perang terhebat yang dimiliki kekaisaran Taiyang, arah timur Desa Yue yang berbatasan langsung dengan pegunungan Yaopin.

Hanya dalam beberapa tahun masa berperang, dia sudah berhasil menyatukan benua tengah dalam genggamannya. Membuat Kekaisaran Taiyang menjadi pusatnya.

Pasukan yang dikomandaninya berhasil merebut beberapa kerajaan besar maupun kecil, semua tunduk dihadapannya. Membasmi para musuh tanpa ampun, apa lagi saat ia berusia sepuluh tahun, untuk pertama kalinya ia membunuh. Menjadi seorang pemberontak bagi negaranya, menggulingkan pemerintahan pangeran pertama, saudaranya, yang semena-mena pada rakyatnya.

Dukungan rakyat dan juga beberapa fraksi yang masih setia pada kaisar terdahulu, ayahnya, dan beberapa bangsawan yang tak puas dengan pemerintah pangeran pertama. Membuat Yong Sheng melakukan niat yang selama ini ia pendam, dan membunuh para pemberontak yang menghabisi keluarganya. Menyapu bersih para pengkhianat dan juga para calon pengkhianat yang ada dalam aliansinya.

Seharusnya Yong Sheng duduk di kursi tertinggi takhta, tapi ia tak menginginkannya, karena baginya pembunuh berdarah dingin seperti dirinya tak pantas jika menempati kursi seorang kaisar. Jadi ia membiarkan putra angkat sang Ayah menduduki posisi tersebut, dan memberikan setiap kemenangan perangnya pada kekaisaran.

Ia hidup hanya menggunakan insting, mengalahkan lawan bukan hanya dengan pedang tapi juga dengan menghancurkan mental para musuhnya. Provokasi, ketakutan dan juga keyakinan.

Meski yang menjadi kaisar di kekaisaran Taiyang adalah kakak keduanya tapi semua otoritas dan kebijakan kekaisaran, selalu dia diskusikan dan harus mendapatkan persetujuan dari Yong Sheng, itu adalah ketetapan yang ditetapkan oleh pangeran kedua sebagai syarat dirinya mau maju dan menduduki tahta. Syarat yang hanya diketahui oleh mereka berdua.

Mungkin orang lain mengira jika Yong Sheng hidup hanya untuk balas dendam, karena ia tak menginginkan tahta. Tapi sebenarnya tidak, ia hanya ingin membersihkan pondasi kehidupannya, juga baginya siapapun yang duduk dikursi tahta asalkan bisa membuat rakyat sejahtera itu cukup baginya.

Tak butuh penghormatan yang harus dielukan atau pun dihormati tanpa tahu bagaimana wajah seseorang ketika ia menunduk.

Dan kini, ia merasa jika keputusan yang ambilnya sudah benar. Yong Sheng, ingin menjalani kehidupan layaknya orang biasa, bukan seorang bangsawan atau pun anggota kerajaan yang kehidupannya sudah diatur oleh seseorang, tapi ia ingin sebuah kebebasan menuju kebahagiaan hidup yang sebenarnya.

Seperti halnya yang dikatakan ibundanya dulu, saat mengikuti festival musim panas terakhir bersamanya, melihat canda-tawa tanpa henti dan tanpa rasa canggung para penduduk. Tawar menawar harga di pasar juga anak-anak kecil yang berlarian, membuat lengkungan di bibir ranumya terbit, tatapan ibundanya menjadi berbinar, binar bahagia bercampur iri karena mereka merasakan kebebasan itu, tak luput dari mata polos Yong Sheng kecil.

"Jika ibu bisa memilih, ibu ingin hidup seperti mereka. Dan ibu pun tak akan membiarkan anak-anak yang ibu lahirkan saling membunuh ataupun saling menyingkirkan."

"Membunuh? Menyingkirkan? Bukankah, kita saling menyayangi?" Mata polos Yong Sheng Kecil berbinar penuh tanya.

"Tentu saja, kita saling menyayangi, Yong Sheng putra bungsuku pangeran ke tujuh, oh tidak pangeran ke delapan. Dengarkan ibu, tentukanlah jalan hidupmu sendiri, apa pun yang terjadi di masa depan, hiduplah tanpa harus mengikuti lekukan gunung jika kau bisa menembus lurus. Temukan kebahagiaanmu, carilah seseorang yang bisa membuatmu merasa hidup dan menghidupkanmu."

Itu adalah kata yang diucapkan sang ibunda, sebelum akhirnya kegelapan malam itu datang juga tragedi pembantaian itu terjadi. Menjadikannya kegelapan yang abadi, kegelapan juga rasa sakit yang selalu menelannya hingga ia lupa jika ia masih ada di bumi. Rasa benci juga sesal yang menggelayuti hati selalu menghantui malam-malamnya tanpa henti.

Karena sang ibunda memilih mempertaruhkan nyawanya demi dirinya dan membiarkan ujung pedang itu menyentuh lehernya ditangan anak pertamanya.

Sebenarnya ia berperang bukan hanya untuk memuaskan hasrat membunuhnya, dan juga menyatukan satu benua saja, tapi ia pun mencari obat untuk orang yang dikasihinya yang kini terbaring lemah dikediamannya.

Dan sebuah teka teki datang dimimpinya, membawa langkahnya menuju pegunungan Yaopin. Seorang pria dimimpinya, mengatakan jika apa yang dicarinya ada antara gelap dan terang, terang yang tak pernah dinanti, tapi akan selalu datang untuk menuntun jalan bagi para pencari.

Membawa langkahnya menuju pegunungan Yaopin, bertepatan dengan gerhana bulan itu datang. Membuatnya nyaman saat terkena sinar bulan, seolah berkah yang disebarkan sang dewi bulan berpusat di sana, ditempat tergelap dan juga tertingi. Dan tubuhnya seperti menyerap semua energi ketenangan dan ketentraman di sana.

Dan kini sebuah rasa ketertarikan muncul pada seseorang, ia tau jika suatu saat nanti ia akan bertemu orang yang selama ini selalu mengawasinya dari dalam kegelapan hutan Zuzhuo, dan menampakkan wujudnya saat ia sedang bermandikan cahaya bulan. Dan kini ia melihatnya, tentu saja ia tak akan melepaskannya, bukan?

***

Gadis yang kini sedang berjalan perlahan menuju air terjun yang diikuti beberapa hewan kecil yang berlarian dibekangnya. Dan entah mengapa, setiap ia melihat pria itu, seolah selapis demi selapis penghalang yang menghalangi pandangannya berangsur menghilang.

Menuju jalan keluar yang ia inginkan, semakin terpampang nyata dihadapannya. Aliran sungai yang dulu ia lihat hanya bermuara didanau pun kini ia bisa melihat jelas aliran sungai yang mengalir seperti akar pohon yang bercabang. Bahkah aliran sungai yang bermuara dilautan pun terlihat jelas dari tempatnya ia berdiri.

"Aneh sekali, padahal aku sering kesini, tapi mengapa aku baru melihatnya sekarang?" gumaman suara lembut sang gadis beradu dengan suara gemercik air terjun dibawahnya.

"Saya pun baru melihatnya, Nona. Sejak dulu saya hanya tinggal didalam hutan Zhozou, memangsa dan dimangsa itu hal biasa, dan kini setelah Nona ada disini, rasanya kami terbebas dari mereka para pemangsa." Kelinci putih disampingnya, berdiri dengan kedua kaki belakangnya.

"Sejak kapan alam ini berubah?" gumamnya.

"Alam tidak berubah nona, hanya saja ada sesuatu yang membatasi pandangan Anda saja. Dan sekarang penghalang itu sudah memudar," ucap seekor burung kenari terbang disampingnya yang membawa bunga Yaopin berwarna putih dan kemerahan di setiap ujung kelopaknya lalu menyerahkannya pada gadis itu. Bunga khas pengunungan Yaopin.

"Terima kasih," ucap sang gadis, lalu ia memetik kelopaknya, yang kemudian ia memakannya dengan anggunnya.

"Nona, apa kau masih tak ingat dengan namamu? Karena biasanya para manusia punya sebutan masing-masing." Burung kenari penasaran, ia sering memasuki kawasan penduduk desa untuk mencari makanan yang disukainya. Setiap manusia memiliki nama masing-masing, tapi dirinya heran mengapa manusia selalu menyebutnya burung kenari meski mereka banyak?

"Aku tak tau, lagi pula aku tak ingat apa pun," gadis itu diam, tapi otaknya bekerja keras. "Apa mungkin aku harus turun gunung agar ingatanku kembali?"

To Be Continued.....