Sekarang.
Matahari berada diambang pintu mega-mega. Malam akan segera tiba, giliran rembulan melakukan tugasnya. Aku duduk didepan rumahku, bersiap memberikan salam perpisahan pada sang rawi.
Kerikan jangkrik disekitar rumahku mulai terdengar samar, telah dimulai adu tangkas keperkasaan. Bersahutan, tak mengenal ruang. Sudah dipastikan gelap akan jadi milik mereka. Tak diberikannya sunyi mengusai sekitaranku.
Kerikan para jangkrik-jangkrik jantan itu terdengar nyaman dan menenangkanku. Melantun merdu ditelinga, menendang jauh rasa kesepianku karena ditinggal Umak. Begitulah aku menyebut ibuku.
Rumah kayu sederhana yang ku punggungi saat ini, itulah istana termegahku. Ukurannya sangat kecil, dua ekor sapi dewasapun, mungkin akan saling bertengkar dan berebut tempat tidur jika berada didalam sana.
Baru dua pekan saja aku tinggal di rumah ini. Ruangannya sangat-sangat terbatas, hanya terdapat kamar tidur untuk aku dan Umak. Dapur disisi belakang. Beserta ruang tamu jadi satu dengan ruang keluarga.
Belum lagi banyak kayunya yang sudah rapuh. Atap hanya menggunakan seng, sering mengganggu kala hujan mengguyur. Belum lagi kebocoran yang sangat merepotkan. Dinding disisi kiri luar pun papanya seperti pernah terbakar. Tanganku sering menghitam karena salah berpegangan saat bermain disana.
Aku hanya tinggal berdua bersama Umak. Sampai saat ini aku pun belum tahu, apakah dirumah ini, adalah tempat dan tanah kelahiranku dahulu, atau tempat ini hanya persinggahan sementara. Yang jelas ribuan tanda tanya sering mengambang disekitar kepalaku.
Pertanyaan-pertanyaan itu kerap hadir. Karena, aku merasa ada yang aneh dengan tempat tinggal baruku ini. "Ah..." Pungkasku dalam hati. Bodoh sekali aku!!! Fikiran-fikiran itu yang kerap timbul, disetiap aku merasa kesepian. Aku terus mencoba menegur fikiran-fikiran bodohku itu, yang kerap mengada-ada, berburuk sangka menilai tempat tinggalku yang baru ini.
Tak hanya dirumah ini, aku dan Ibuku yang tinggal berdua. Bahkan juga didesa ini, hanya ada kami berdua. Tidak ada orang lain lagi kecuali kami. Aku merasa sangat asing ditempat baru dan aneh ini. Mungkin itulah satu-satunya alasan yang membuat aku masih keheranan dan sering memunculkan pertanyaan-pertanyaan aneh dan beragam menyoal tempat ini.
Emm..., kenapa, hanya kita berdua yang tinggal disini?. Apakah Ibu sedang merahasiakan keberadaan kami?. Jangan-jangan rumah masyarakat yang sebenarnya berada dibalik hutan, disebrang sungai itu? Apa sebenernya yang ada disana? Kenapa ibu sering meneuju kesana? Kami Terasingkan? Di asingkan? Sengaja mengasingkan diri? Atau, jangan-jangan ibu adalah seorang buronan masyarakat?
"Aah...!!!" Teriakku dalam hati. "Cukup Tika!" Aku kembali membentak pada diriku sendiri. Lagi-lagi dengan cepat aku terfikirkan pertanyaan-pertanyaan bodoh itu lagi. Pertanyaan yang selalu membawaku untuk terus berburuk sangka pada ibu.
Tidak! Semua itu hanya pertanyaan konyolku, dan tak mungkin Ibu melakukan suatu kejahatan hingga harus mengasingkan diri seperti ini. Pasti Ia memiliki alasan tertentu mengenai hal ini dan apapun alasannya pasti sangat kuat. Dan apapun yang terjadi, baik, maupun buruk. Dia tetaplah wanita yang paling berharga untukku. Dia sangat menyayangiku, aku pun juga sangat menyayanginya.
Aku tak sampai hati, jika harus bertanya hal-hal seperti itu padanya. Aku tak mau menyakiti perasaanya. Apalagi pertanyaan itu hanya hadir saat aku merasa kesepian seperti ini. Jika ia telah ada disisiku aku baik-baik saja dan tak sedikit pun pertanyaan aneh itu kan muncul.
Ditambah lagi ia adalah seorang wanita yang membesarkanku, mengajariku apa saja, dan yang pasti aku lahir berasal dari rahimnya. Aku percaya dan sangat sayang padanya. Maka aku tak akan bertanya soal fikiran-fikiranku itu, takut melukai hatinya.
Biar aku simpan saja dalam-dalam pertanyaan konyolku itu. Toh, selama aku bersama Ibuku, hidupku sudah cukup lengkap dan bahagia, tak perlu lagi aku berfikir, apa? Kenapa? Bagaimana? Siapa? Dan semacamnya itu.
Aku memang selalu sendirian disaat seperti ini. Ibuku selalu saja pergi dari rumah, saat matahari di sepertiga senja. Entah, ia pergi kemana. Dan aku tak tahu apa yang ia lakukan di luar sana. Yang pasti dia akan selalu pulang dengan membawa banyak sayur-sayuran, terkadang juga daging sapi atau rusa untuk santapan kami. Ia pula sering pulang saat larut malam, saat aku telah tertidur lelap.